Friday, March 30, 2012

Humor Pesantren, antara Ketegangan dan Harmoni Santri-Kyai

—-
“Kyai, apakah akhirat sekarang sudah ada?” Tanya santri.
“Sudah”
“Kalau neraka?”
“Sudah”
“Kosong atau isi?”
“Isi”
“Isinya siapa?”
“Isinya ya orang macam kamu !”

***
Dialog di atas tidak pernah terjadi di pesantren. Di dunia pesantren Kyai adalah sosok sentral kharismatik, bijak, berilmu, dan dihormati. Sementara santri adalah murid yang terhadap Kyai bukan saja pencari ilmu tetapi juga pengharap berkah.

Santri – kata Dawam Rahardjo dalam bukunya Pesantren dan Pembaharuan– adalah siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri untuk memperoleh kerelaan dari Kyainya. Gus Dur mengatakan kerelaan inilah yang dimaksud dengan berkah. Di hati santri, Kyai hadir sebagai sosok agung, beraura suci, teduh, wibawa, dan nyaris tak tersentuh.

Terminologi ini menempatkan santri sebagai medium ketundukan tata nilai  pesantren kepada kyai yang merupakan herarki kekuasaan tertinggi. Inilah tawadu-positioning yang tidak mudah dijelaskan dan sering disalahpahami sebagai kultus. Posisi diametral kyai-santri ini lalu memunculkan tensionalitas (ketegangan), keengganan, dan bahkan keterhimpitan, yang tentu saja dialog seperti di atas tidak memiliki ruang di dalamnya.

Namun Tuhan tidak membiarkan manusia tertekan di situasi yang sebenarnya baik-baik saja. Diberinya imajinasi. Satu anugerah dan bekal yang memungkinkan manusia survive ketika terdesak, kreatif ketika terhimpit, dan mengubah ketegangan relasi kyai-santri seperti di atas menjadi kerenyahan.

Menurut Darminto Sudarmo, Redaktur Majalah HUMOR, humor dibagi dua, yaitu tak sengaja dan disengaja. Humor tak sengaja menyangkut semua kejadian faktual lucu yang berkaitan dengan tokoh atau peristiwa. Humor sengaja, sebaliknya, adalah hasil kreasi. Bisa digolongkan sebagai buah karsa, karya dan cipta manusia.

Ada beberapa jenis humor kreasi.
Pertama, guyon parikena. Isi leluconnya bersifat nakal, menyindir, tetapi tidak tajam bahkan cenderung sopan. Dilakukan oleh bawahan kepada atasan atau orang yang lebih tua dan dihormati, atau kepada pihak lain yang belum akrab. Santri melakukan ini kepada santri lain, santri baru, paling banter pada kakak santri yang jadi pengurus. Tidak pernah pada guru apalagi Kyai.

Kedua, satire dan sinisme. Sama-sama menyindir atau mengkritik tapi muatan ejekannya lebih dominan. Bila tak pandai-pandai memainkannya, jurus ini bisa sangat tidak mengenakkan. Kecenderungannya memandang rendah pihak lain. Lelucon ini lebih banyak digunakan pada situasi konfrontatif. Targetnya, membuat lawan atau pihak lain mati kutu bahkan cemar. Di pesantren ini khusus antar santri. Tidak ada yang berani mencoba ke Kyai. Karena kalau sudah begitu tidak lagi disebut guyon.

Ketiga, plesetan. Orang Barat menyebutnya imitation and parody. Isinya memlesetkan segala sesuatu yang telah mapan atau populer. Ia menjadi semacam alat eskapisme kesumpekan. Terobosannya lewat pintu tak terduga dan ini cukup mengundang surprise. Istilah ‘ahli hisab’ (pakar hitung ilmu falak) jadi perokok, ‘ulil albab’ (cerdik pandai) diplesetkan menjadi ahli lobi, dan sebagainya.

Keempat, slapstick. Orang terjengkang, kepala dipukul tongkat, dan hal-hal bernuansa fisik. Lelucon ini cukup efektif memancing tawa. Contohnya film kartun Tom and Jerry. Di pesantren, guru ngaji galak biasa jadi bahan lelucon ini.

Santri penakut belajar membaca Quran kepada guru ngaji galak.
“Ihdinas syirootol mus-ta-kiim terbata ia mengeja surat Al Fatihah.
“Salah. Mustaqiim..” ralat guru.
“Musta-kiiim”
“Mustaqiim. Qiim. Pakai Q!”
“Mustakiiim..Mustakiim”
Guru berang. Dipuknya santri dengan tongkat rotan.
“Saqit! Saqit Paq Qyai !”

Kelima, olah logika. Lelucon bergaya analisis. Sering disinggung oleh Arthur Koestler dalam teori bisosiatifnya. Lelucon ini banyak digemari masyarakat tertentu, terutama kalangan terdidik.

“Kita harus mewaspadai bahaya provokasi dan provokator!” teriak santri dalam sebuah latihan pidato.
“Apa bedanya?” Tanya santri lain.
“Provokasi tingkat propinsi, provokator tingkat pusat.”

Keenam, superioritas-interioritas. Lelucon yang muncul karena melihat cacat, kesalahan, kebodohan, pihak lain. Perhatikan dialog dua orang tuli berikut.

“Darimana, Kang? Dari mancing ya?”
“Nggak. Dari mancing kok
“Oalah, saya kira dari mancing”

Ketujuh, kelam. Sering juga disebut black humor atau sick joke. Lawakan petaka, kengerian, kematian, bencana, sadisme dan sebangsa itu.

Keluarga orang yang sakit keras mengundang Pak Kaum dan orang-orang utuk membaca Yasin. Di tengah-tengah membaca Yasin si sakit meraih tangan Pak Kaum, susah payah hendak menyampaikan sesuatu. Mulutnya dipasangi selang oksigen. Pak Kaum lantas memberi kertas dan pulpen. Begitu wasiat selesai ditulis, ia memasukkan saku, melanjutkan bacaan Yasinnya. Si sakit akhirnya meninggal. Dalam sambutan pemakaman Pak Kaum membacakan wasiat yang tadi dikantongnya. Betapa kaget, ternyata bukan wasiat tapi hanya sederet pesan pendek: Pak, Pak, jangan duduki selangku!.

Kedelapan, seks. Bukan seks dalam arti gender atau jenis kelamin, tetapi yang menjurus porno, seperti senggama, onani, ciuman dan sebagainya yang diceritakan vulgar. Karena sifatnya yang ringan tidak perlu berpikir lelucon ini efektif mengundang tawa.

Kesembilan, apologisme. Ini bukan untuk melucu, tetapi berlindung di balik lelucon. Semacam senjata. Upaya pembenaran yang tergolong “pengecut” karena ketidakberdayaan mempertanggungjawabkan lontaran, pernyataan atau perbuatan yang ternyata tak memiliki argumen. Untuk menetralisir, karena biasanya enggan mengakui kesalahan, lalu berkilah, “Ah, hanya guyon kok.”

***
“Kita tertawa”, kata filsuf Jerman Schopenhaeur, “bila secara tiba-tiba menyadari ketidaksesuaian antara konsep dan kenyataan”. Menurut Teori Bisosiasi yang dirumuskan Arthur Koestler dan berasal dari filsuf-filsuf besar seperti Blaice Pascal, Immanuel Kant, Herbert Spencer, dan Schopenhaeur ini, humor timbul karena orang menemukan hal-hal yang tidak diduga, atau kalimat dan kata, yang menimbulkan 2 asosiasi: belokan mendadak (unexpected turn), dan asosiasi ganda (puns).

Fenomena humor bisa pula dijelaskan dengan Teori Inhibisi gagasan Sigmund Freud, filsuf Charles Bernard Renouvier, Auguste Penjon, dan John Dewey. Kita, kata Freud, banyak menekan pengalaman tidak enak atau keinginan tak terwujud ke alam bawah sadar dan bergabung di sana dengan kesenangan bermain masa kecil. Bila tekanan ini kita lepaskan dalam bentuk yang bisa diterima masyarakat, kita mengalami inhibisi. Kita merasa senang karena lepas himpitan dan ketegangan. Dalam konteks pesantren, suasana kaku, kikuk, tegang antara Kyai-santri dilepas dan berubah akrab bahkan lucu. Banyak contoh bisa disebut.

Teori lainya adalah Superioritas. Kita tertawa karena merasa punya kelebihan (superioritas) dari yang kita tertawakan. Obyek tertawa kita tempatkan sebagai rendah ‘menggelikan’. Orang tertawa, menurut Plato, bila menyaksikan sesuatu yang janggal. Orang juga geli melihat orang lain keliru dan cacat, kata Aristoteles.  “Ketika tertawa”, kata Henry Bergson, “kita diam-diam bermaksud merendahkan”.

Teori ini menjelaskan tradisi guyon gasakan antar santri yang terkadang sangat ‘kejam’ karena boleh memperolok kekurangan apapun bahkan cacat tubuhnya. Seolah dilombakan seperti debat terbuka, guyon begini ditonton oleh banyak santri, dan baru berhenti setelah ada yang kalah, marah atau jengkel lantaran tidak tahan diolok. Konon ini salah satu bentuk latihan mental sebelum terjun ke masyarakat.

Humor adalah energi budaya yang kandungan pengertiannya amat rumit. Humor dapat muncul dari persinggungan budaya, bahasa, bahkan simbol-simbol religi, dapat pula karena kenaifan atau kejujuran karena salah perhitungan dan lain-lain, semua membuktikan bahwa efek kelucuan bisa dicapai oleh banyak sekali jurus. Tidak peduli itu terjadi di kantor, sawah, rumah, pasar, bahkan pesantren dan seminari.

from netsains.net

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More