Negara-negara
barat (Amerika Utara dan Eropa Barat) selama ini menjadi tujuan utama
untuk studi. Berdasarkan statistik, Amerika Serikat, Inggris, Australia,
dan Jerman masih merupakan tujuan utama bagi mahasiswa asing untuk
studi. Keempat negara tersebut adalah negara barat (Tiga, jika kita
menghitung Australia sebagai British Commonwealth, yang kepala negaranya
Ratu Inggris). Namun, tahukah anda? Akhir-akhir ini terjadi peningkatan
jumlah mahasiswa asing juga ke negara-negara asia timur? Tahukah anda,
bahwa China adalah negara memiliki jumlah publikasi internasional bidang
bioteknologi paling banyak di dunia? Tahukah anda, bahwa mulai banyak
ilmuwan dari negara barat, yang justru memilih untuk bekerja di
negara-negara asia timur?
Bangsa-Bangsa Asia Timur: Kebangkitan menuju nomor satu
Saya
mendefinisikan Asia Timur sebagai bangsa yang secara geografis berada
di asia timur, yaitu Jepang, China, Taiwan, dan Korea. Kendala bahasa
adalah nonsens jika kita termotivasi. Bahasa-bahasa asia timur juga
sudah mulai populer, bahkan bahasa mandarin sudah diajarkan di sekian
banyak sekolah menengah. Film-film asia timur, seperti film Korea, sudah
sangat populer di tanah air. Sementara itu, di Korea Selatan, Hongkong,
Taiwan atau Jepang, mereka sudah menawarkan kelas internasional dalam
bahasa inggris. Hal ini penting, sebab mahasiswa tidak harus berfokus
menggunakan bahasa lokal dalam konteks akademis, namun cukup menggunakan
bahasa inggris yang memang sudah dipelajari sejak sekolah menengah.
Sekarang, juga sudah banyak orang Eropa atau Amerika yang bekerja di
negara asia timur, sehingga kemungkinan berinteraksi dengan mereka juga
besar. Satu hal yang memang jarang diinformasikan ke publik, bahwa
negara-negara asia timur pun juga telah berhasil memperoleh nobel dalam
bidang sains. Lulusan negara-negara asia timur pun tetap dapat
berkompetisi di pasar global, dan tetap dapat bekerja di tanah air
ataupun negara barat lain. Saya memiliki data ‘Trends in biotech
literature 2009-2010′ yang menunjukkan betapa China dan negara asia
timur lain sudah mulai setara dengan barat dalam kualitas riset.
Silahkan mention akun twitter saya, dan jurnal tersebut akan saya kirim.
Kedepannya,sangat
mungkin tidak ada lagi hegemoni barat atau timur. Semua bekerja sama
dan dunia menjadi multipolar. Juga demikian dalam kependidikan. Studi ke
asia timur akan menjadi salah satu pilihan utama, karena menawarkan
kualitas yang sama dengan barat, dan menawarkan situasi ‘feels at home’
karena minimnya ‘cultural shock’. Kendala bahasa tidak akan terlalu
bermasalah, karena popularnya bahasa/budaya asia timur di Indonesia.
Berdasarkan informasi mutakhir, GDP China adalah nomor 2 dunia. Kekuatan
ekonomi China sudah secara praktis mengalahkan negara barat lain,
dengan US sebagai perkecualian. Hal ini secara langsung menjadikan studi
ke China menjadi opsi menarik, karena funding riset mereka juga
sangatlah besar. Satu hal yang merupakan nilai tambah, adalah menguasai
bahasa Mandarin. Sebagai salah satu bahasa resmi PBB, maka menguasai
Bahasa Mandarin akan membuka peluang untuk bekerja di badan dunia.
Menguasai Bahasa Mandarin akan membuka cakrawala pergaulan, karena
merupakan akses komunikasi kepada lebih dari 1 milyar orang penuturnya.
Pemerintah RRC juga telah mendirikan Institut Konfusius, yang merupakan
pusat budaya China. Indonesia pun juga telah memiliki institut tersebut,
dan informasi mengenai pendidikan RRC dapat diperoleh disana. Jepang
juga telah memiliki Japan Foundation, yang berfungsi sama dengan
Institut Konfusius. Sementara itu, berhubung ada permintaan dari market,
beberapa universitas mulai membuka program studi sastra korea. Iklim
studi yang ideal adalah tempat yang memiliki kualitas riset bagus, dan
minimnya potensi ‘cultural shock’. Negara-negara asia timur menawarkan
keduanya. Kemiripan budaya antara Indonesia dengan China, Korea, atau
Jepang merupakan salah satu faktor yang mesti dipertimbangkan dalam
meminimalkan ‘cultural shock’.
Positioning Indonesia
Indonesia
sebaiknya konsisten dengan kebijakan ‘outbreeding’. Kebijakan ini,
selama ini telah diterapkan berbagai PTN/S, dalam rangka menyekolahkan
staff pengajarnya ke luar negeri. Apa maksudnya ‘outbreeding’? Ia adalah
kebijakan untuk menyekolahkan staff ke seluruh dunia, dan tidak
terkonsentrasi ke satu negara saja. Seluruh dunia juga berarti
menyekolahkan ke dalam negeri juga. Kuliah di dalam negeri pun bukan
berarti ‘kurang prestisius’, karena ternyata peringkat dunia beberapa
perguruan tinggi lokal juga sudah bagus. Kebijakan ‘outbreeding’ ini
sebaiknya konsisten, dalam arti tidak menganakemaskan lulusan dari satu
negara tertentu, namun memandang semua setara. Tujuan diberlakukannya
kebijakan ini adalah supaya ilmuwan Indonesia memiliki latar belakang
pendidikan yang heterogen, sehingga diharapkan supaya mereka dapat
saling bekerja sama, sambil membawa perspektifnya masing-masing.
Diversitas perspektif akan sangat menguntungkan dalam pendidikan/riset,
sebab akan semakin banyak opsi pilihan yang bisa diambil dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Namun, walaupun sejauh ini
secara kebijakan kependidikan, Indonesia masih terhitung konsisten
melakukan ‘outbreeding’, tapi pendapat publik bahwa ‘barat itu lebih
baik’ memang masih sukar dipatahkan. Hal ini ironis, mengingat stigma
itu sama sekali tidak mengacu pada kualitas pendidikan/riset secara
obyektif, tapi lebih merupakan budaya. Dalam konteks memburu beasiswa,
hal ini bisa jadi sangat kontraproduktif. Bisa jadi pendapat ekstrim,
‘harus sekolah ke barat’ dipegang teguh, sampai tawaran beasiswa ke asia
timur atau dalam negeri ditolak. Akhirnya, malah sama sekali tidak
dapat beasiswa karena tidak taktis dalam membaca peluang. Mencari
beasiswa haruslah taktis, dalam arti jika ada peluang yang baik,
ambillah peluang itu. Sebaiknya, kita jangan berjudi dengan beasiswa,
karena itu akan merugikan diri kita sendiri. Seorang intelektual ada
baiknya tidak berpikir, ‘saya lulusan mana’, namun lebih berfokus dalam
mempersiapkan karya-karya berikutnya dalam rangka mencerahkan publik.
‘Lulusan mana’ itu tidak lebih hanyalah fasilitator, bukan tujuan. Saya
percaya publik kita sudah semakin kritis, karena karya nyata para
intelektual yang mereka tunggu, dan bukan sekedar ‘prestise’ lulusan
mana belaka. Ada baiknya kita obyektif saja, bahwa cara mengukur
kompetensi ilmuwan adalah dari publikasinya. Database Scopus, ISI, DOAJ,
Google Scholar, atau yang lainnya bisa dicek, seberapa banyak ilmuwan
negara-negara asia timur yang telah mempublikasikan karya ilmiahnya.
Saya yakin sekali kuantitas dan kualitasnya tidak kalah dengan
negara-negara barat. Bahkan dalam beberapa bidang keahlian, publikasi
ilmuwan Indonesia telah dicatat juga di database tersebut. Contoh saja
Prof Sangkot Marzuki dari Lembaga Eijkmann, yang berhasil mencetak 100
lebih publikasi pada database Scopus. Mari kita jadikan parameter yang
ilmiah untuk mengukur kompetensi keilmuan, bukan berdasarkan mitos atau
prasangka belaka. Prasangka bahwa ‘roti, keju, dan mentega’ lebih baik
daripada ‘nasi, ketela dan mie/ramen’ haruslah disingkirkan jauh-jauh.
Sains modern sama-sama menghargai ‘roti’, ataupun ‘nasi’, selama mereka
memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemanusiaan.
Terima kasih Kepada Theo Tochary.,Msc,
Phd Student di Tokyo Institute of Technology, Tokyo, Jepang, atas
konsultasinya selama ini.
From netsains.com
0 comments:
Post a Comment