Semangat “hansei” di dalam masyarakat Jepang banyak diartikan sebagai
semangat untuk mengkritik diri sendiri. Implementasi semangat ini
dilakukan dengan melakukan refleksi secara jujur, dalam rangka
pengembangan kekurangan diri sendiri. Tidak hanya dilingkungan
masyrakat, namun juga terlembaga dalam tradisi disetiap sekolah yang ada
disana.
Secara terus menerus hal ini dilakukan oleh kalangan guru, siswa hingga orang tua siswa di Jepang, sehingga pada gilirannya terdapat motivasi untuk senantiasa menjadi yang terbaik dan tidak pernah puas terhadap hasil yang telah diperoleh. Apabila suatu ketika ada sebuah penemuan baru di bidang pendidikan seolah semua pihak terpanggil untuk menyambut dan mengimplementasikan hal itu di sekolahnya masing-masing. Inilah yang menjadikan negara Jepang sedemikian dinamisnya semenjak perang dunia ke II yang sempat membuat negara matahari terbit ini terpuruk akibat perang.
Di Jepang kadangkala ibu dan ayah mengatakan kepada anak mereka, silakan lakukan “hansei”. Beberapa anak melakukan hal yang buruk. Ini berarti mereka harus menyesal dan memperbaiki sikap mereka-semuanya termasuk semangat dan sikap. Sehingga sekali anak diberitahu silakan lakukan “hansei”, dia mengeri hampir semua apa yang diinginkanoleh ibu dan ayah mereka untuk dilakukan. Hansei dalam bahasa Jepang, bila anda melakukan kesalahan, pertama anda harus merasa sangat-sangat sedih. Kemudian Anda harus membuat rencana ke depan untuk memecahkan masalah tersebut dan Anda dengan tulus yakin tidak akan melakukan kesalahan ini lagi. hansei adalah pola pikir dan sikap.
Semangat ini begitu mengilhami masyarakat Jepang hingga para guru, siswa dan orang tua siswa memiliki pola pikir yang sama. Para guru kerapkali melakukan refleksi secara jujur, dalam rangka pengembangan kekurangan diri sendiri. Secara terus menerus hal ini dilakukan oleh kalangan guru, siswa hingga orang tua siswa di Jepang, sehingga pada gilirannya terdapat motivasi untuk senantiasa menjadi yang terbaik dan tidak pernah puas terhadap hasil yang telah diperoleh. Apabila suatu ketika ada sebuah penemuan baru di bidang pendidikan seolah semua pihak terpanggil untuk menyambut dan mengimplementasikan hal itu di sekolahnya masing-masing. Seperti halnya dengan apa yang disampaikan oleh Glenn (dalam Rahayu, 2005) bahwa kemampuan mengajar sebagai bekal awal seorang guru bukanlah suatu yang ”take for granted” atau bakat yang dibawa sejak lahir, namun kemampuan ini dapat untuk dipelajari bahkan untuk disempurnakan secara terus menerus.
Ketrampilan mengajar khusus, misalnya kemampuan untuk membedakan antara apa yang paling penting dipelajari oleh siswa atau apa yang paling sulit dipahami siswa, hanya dapat diperoleh melalui pelatihan, konsultasi, kolaborasi, dan praktek langsung. Dan ini berarti bahwa penguasaan guru terhadap materi juga akan menentukan kualitas guru itu sendiri. Sehingga untuk meningkatkan kualitasnya guru dituntut untuk senantiasa belajar dan membaca beragam informasi, menyerap dan menganalisis sebanyak mungkin peristiwa atau fenomena pembelajaran, hingga seorang guru pun dituntut harus mampu melakukan analisis terhadap kualitas pembelajaran. Untuk mewujudkan hal ini maka diperlukan komitmen dan dukungan diantara stakeholder dalam rangka pengkondisian iklim sekolah agar proses yang terjadi merupakan proses yang terancana, ”sustainable” atau berkelanjutan, dan kolaboratif.
Bentuk budaya yang unik ini, menjadikan masyarakat Jepang untuk tidak akan menunjukkan hal yang baik, tetapi akan fokus kepada hal yang negatif yang merupakan kekurangan yang perlu disempurnakan. Jika Anda hanya membicarakan kelebihan Anda, Anda akan sombong. Seseorang harus mau mengakui kelemahannya dengan jujur, pengakuan ini merupakan kekuatan tingkat tinggi. Namun tidak akan berakhir disitu saja, tetapi bagaimana Anda berubah untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan itu. Dalam kaitan ini semua, menunjukkan betapa pentingnya sikap terbuka terhadap kritik dan pentingnya hidup yang dinamis melalui “positive thinking”. Pola pikir positif membuat kita memandang kritik sebagai dorongan untuk maju, tanpa harus merisaukan ada tidaknya penghargaan orang lain untuk keberhasilan kita.
Pada gilirannya nanti, semangat inilah yang perlu kita hidupkan disekolah dan menjadi budaya wajib setiap warga sekolah sebagai bentuk pengembangan diri. Pengembangan diri di sekolah mengandung arti bahwa semua pihak yang ada memahami apakah bentuk mata pelajaran, siapa yang berhak mengajarkannya, dan bagaimana mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik. Bagaimana melakukan modifikasi perilaku melalui berbagai model, teknik dan prosedur yang ada pada teori belajar. Sehingga prinsip-prinsip belajar yang sistematis dapat diterapkan untuk pengembangan diri anak didik beserta potensi yang dimilikinya.
Oleh sebab itu, pendidikan sekolah yang berkualitas menjadi syarat mutlak untuk menjadikan tujuan ini dapat tercapai. Kualitas ini tidak hanya sebatas prasarana fisik semata, tetapi juga kematangan pribadi dari para guru sebagai pendidik. Kualitas untuk senantiasa dinamis memperbaiki diri dan terbuka dan jujur menerima kritik dari siapapun. Kedewasaan dan kematangan seseorang tidak dilihat dari berapa umurnya.
Namun seberapa banyak problematika kehidupan mengajarinya tentang arti penting sebuah kepedulian. Kematangan pribadi menandakan bahwa ia sudah tidak lagi egois terhadap dirinya sendiri. Sifat lebih objektif dalam menerima kritik, dan sifat peduli terhadap kondisi lingkungannya adalah beberapa sifat yang mencirikan kematangan dan kedewasaan. Oleh karenanya, sekolah mewajibkan warganya untuk mengembangkan apa yang disebut Adam Smith, sebagai self restraint yang berarti perbaikan diri. Sebab pengembangan diri yang sebenarnya adalah perbaikan pribadi, dan bukan berharap akan perbaikan orang lain.
from netsains.com
Secara terus menerus hal ini dilakukan oleh kalangan guru, siswa hingga orang tua siswa di Jepang, sehingga pada gilirannya terdapat motivasi untuk senantiasa menjadi yang terbaik dan tidak pernah puas terhadap hasil yang telah diperoleh. Apabila suatu ketika ada sebuah penemuan baru di bidang pendidikan seolah semua pihak terpanggil untuk menyambut dan mengimplementasikan hal itu di sekolahnya masing-masing. Inilah yang menjadikan negara Jepang sedemikian dinamisnya semenjak perang dunia ke II yang sempat membuat negara matahari terbit ini terpuruk akibat perang.
Di Jepang kadangkala ibu dan ayah mengatakan kepada anak mereka, silakan lakukan “hansei”. Beberapa anak melakukan hal yang buruk. Ini berarti mereka harus menyesal dan memperbaiki sikap mereka-semuanya termasuk semangat dan sikap. Sehingga sekali anak diberitahu silakan lakukan “hansei”, dia mengeri hampir semua apa yang diinginkanoleh ibu dan ayah mereka untuk dilakukan. Hansei dalam bahasa Jepang, bila anda melakukan kesalahan, pertama anda harus merasa sangat-sangat sedih. Kemudian Anda harus membuat rencana ke depan untuk memecahkan masalah tersebut dan Anda dengan tulus yakin tidak akan melakukan kesalahan ini lagi. hansei adalah pola pikir dan sikap.
Semangat ini begitu mengilhami masyarakat Jepang hingga para guru, siswa dan orang tua siswa memiliki pola pikir yang sama. Para guru kerapkali melakukan refleksi secara jujur, dalam rangka pengembangan kekurangan diri sendiri. Secara terus menerus hal ini dilakukan oleh kalangan guru, siswa hingga orang tua siswa di Jepang, sehingga pada gilirannya terdapat motivasi untuk senantiasa menjadi yang terbaik dan tidak pernah puas terhadap hasil yang telah diperoleh. Apabila suatu ketika ada sebuah penemuan baru di bidang pendidikan seolah semua pihak terpanggil untuk menyambut dan mengimplementasikan hal itu di sekolahnya masing-masing. Seperti halnya dengan apa yang disampaikan oleh Glenn (dalam Rahayu, 2005) bahwa kemampuan mengajar sebagai bekal awal seorang guru bukanlah suatu yang ”take for granted” atau bakat yang dibawa sejak lahir, namun kemampuan ini dapat untuk dipelajari bahkan untuk disempurnakan secara terus menerus.
Ketrampilan mengajar khusus, misalnya kemampuan untuk membedakan antara apa yang paling penting dipelajari oleh siswa atau apa yang paling sulit dipahami siswa, hanya dapat diperoleh melalui pelatihan, konsultasi, kolaborasi, dan praktek langsung. Dan ini berarti bahwa penguasaan guru terhadap materi juga akan menentukan kualitas guru itu sendiri. Sehingga untuk meningkatkan kualitasnya guru dituntut untuk senantiasa belajar dan membaca beragam informasi, menyerap dan menganalisis sebanyak mungkin peristiwa atau fenomena pembelajaran, hingga seorang guru pun dituntut harus mampu melakukan analisis terhadap kualitas pembelajaran. Untuk mewujudkan hal ini maka diperlukan komitmen dan dukungan diantara stakeholder dalam rangka pengkondisian iklim sekolah agar proses yang terjadi merupakan proses yang terancana, ”sustainable” atau berkelanjutan, dan kolaboratif.
Bentuk budaya yang unik ini, menjadikan masyarakat Jepang untuk tidak akan menunjukkan hal yang baik, tetapi akan fokus kepada hal yang negatif yang merupakan kekurangan yang perlu disempurnakan. Jika Anda hanya membicarakan kelebihan Anda, Anda akan sombong. Seseorang harus mau mengakui kelemahannya dengan jujur, pengakuan ini merupakan kekuatan tingkat tinggi. Namun tidak akan berakhir disitu saja, tetapi bagaimana Anda berubah untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan itu. Dalam kaitan ini semua, menunjukkan betapa pentingnya sikap terbuka terhadap kritik dan pentingnya hidup yang dinamis melalui “positive thinking”. Pola pikir positif membuat kita memandang kritik sebagai dorongan untuk maju, tanpa harus merisaukan ada tidaknya penghargaan orang lain untuk keberhasilan kita.
Pada gilirannya nanti, semangat inilah yang perlu kita hidupkan disekolah dan menjadi budaya wajib setiap warga sekolah sebagai bentuk pengembangan diri. Pengembangan diri di sekolah mengandung arti bahwa semua pihak yang ada memahami apakah bentuk mata pelajaran, siapa yang berhak mengajarkannya, dan bagaimana mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik. Bagaimana melakukan modifikasi perilaku melalui berbagai model, teknik dan prosedur yang ada pada teori belajar. Sehingga prinsip-prinsip belajar yang sistematis dapat diterapkan untuk pengembangan diri anak didik beserta potensi yang dimilikinya.
Oleh sebab itu, pendidikan sekolah yang berkualitas menjadi syarat mutlak untuk menjadikan tujuan ini dapat tercapai. Kualitas ini tidak hanya sebatas prasarana fisik semata, tetapi juga kematangan pribadi dari para guru sebagai pendidik. Kualitas untuk senantiasa dinamis memperbaiki diri dan terbuka dan jujur menerima kritik dari siapapun. Kedewasaan dan kematangan seseorang tidak dilihat dari berapa umurnya.
Namun seberapa banyak problematika kehidupan mengajarinya tentang arti penting sebuah kepedulian. Kematangan pribadi menandakan bahwa ia sudah tidak lagi egois terhadap dirinya sendiri. Sifat lebih objektif dalam menerima kritik, dan sifat peduli terhadap kondisi lingkungannya adalah beberapa sifat yang mencirikan kematangan dan kedewasaan. Oleh karenanya, sekolah mewajibkan warganya untuk mengembangkan apa yang disebut Adam Smith, sebagai self restraint yang berarti perbaikan diri. Sebab pengembangan diri yang sebenarnya adalah perbaikan pribadi, dan bukan berharap akan perbaikan orang lain.
from netsains.com
0 comments:
Post a Comment