Friday, May 18, 2012

Pembelajaran Perlu Menyenangkan

Sejarah telah menunjukkan bahwa anak-anak pada jaman Yunani Kuno telah menganggap sekolah sebagai suatu kegiatan yang mengasyikkan dan menyenangkan karena mereka dapat mempelajari berbagai hal yang ingin mereka ketahui diwaktu senggang. Sehngga pada saat kali pertama disebut kata school, asal mula kata sekolah berasal dari bahasa latin yakni kata skhole, scola, scolae atau schola, kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. (Roem Topatimasang, 1998). Kata skhole, scola, scolae dan schola digunakan untuk menyebut sebuah kegiatan yang dilakukan oleh orang Yunani Kuno untuk mengisi waktu luangnya. Menggunakan waktu senggangnya untuk mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Semua asal kata sekolah ini mempunyai arti yang sama yaitu ”waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar” (leisure devoted to learning).
Pada perkembangannya, kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa. Kebiasaan itu juga kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka. Di tempat itu, anak-anak bisa bermain, berlatih melakukan sesuatu, dan belajar apa saja yang memang patut untuk dipelajari sampai tiba masanya mereka harus pulang kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa. Sejak saat itulah telah beralih sebagian dari fungsi scola matterna (pengasuh ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa disebut juga ‘ibu asuh’ atau ‘ibu yang memberikan ilmu’ (alma mater). Dan melalui John Amos Comenius dalam karyanya yang berjudul Didactica Magna, melontarkan gagasan untuk melembagakan pola dan proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis. Gagasan ini kemudian diteruskan dan disempurnakan oleh Johan Heinrich Pestalozzi pada abad ke-18.
Sekolah Hari Ini
Dengan membandingkan asal kata sekolah sebagai secuil sejarah tentang bagaimana sekolah itu terbentuk, tentu memberikan kesimpulan bagi kita tentang bagaimana sekolah sebaiknya dilaksanakan dan diciptakan. Sekolah sendiri tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan peran dan fungsinya sebagai tempat pembelajaran pengetahuan yang bertujuan mengasah kemampuan berpikir, kepedulian dan potensi-potensi lain yang dimiliki seorang anak manusia. Sehingga yakin dan pasti semua pihak akan mengungkapkan bahwa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di sekolah formal dan menciptakan suasana belajar yang berkelanjutan amat diperlukan. Pada titik ini nampaknya tidak ada yang membantah. Masalah muncul ketika kemudian masuk ke langkah aplikasi, sebagian besar merasa: ribet, sulit, dan melelahkan.
Bayangkan, untuk mengajar kreatif itu saya perlu berfikir, survey, terus mengantisipasi apabila anak-anak jadi lebih ribut, dan masih berfikir bagaimana alat peraganya, bagaimana cara menilanya, bagaimana menyusun Silabus dan RPPnya. Sudah pasti selain sulit pasti repot, bukannya menjadi tidak menyenangkan apabila sesuatu itu menjadi repot untuk kita laksanakan. Setidaknya itu sebagian komentar beberapa rekan pendidik tentang pembelajaran yang menyenangkan dikelas.
Tetapi satu hal yang pasti kita semua tahu belajar menyenangkan itu penting. Kita juga diharapkan untuk menciptakan kondisi tersebut. Terkait hal tersebut dalam buku “Genius Learning Strategy” Andi Wira Gunawan menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada mata pelajaran yang membosankan, yang ada adalah guru yang membosankan, suasana belajar yang membosankan. Hal ini terjadi karena proses belajar berlangsung secara monoton dan merupakan proses perulangan dari itu ke itu juga tiada variasi. Proses belajar hanya merupakan proses penyampaian informasi satu arah, siswa terkesan pasif menerima materi pelajaran.
Suatu penelitian tentang “cara kerja otak” menunjukkan bahwa ketika kita senang, maka hormon “neorotransmitter dopamine” dilepaskan dalam otak. Hal itulah yang membuat kita merasa senang. Judy Willis (2006) mengemukakan bahwa kita membutuhkan dopamine mengalir di dalam otak peserta didik, ketika mereka belajar. Kesenangan itu harus menjadi bagian dari pembelajaran. Semakin para siswa aktif terlibat dalam sebuah kegiatan pembelajaran, semakin otak mengalami perubahan.
Menurut Dr Siti Aminah Soepalarto, SpS seorang ahli penyakit syaraf, metode pembelajaran yang berlangsung saat ini dengan penyajian lebih menitik beratkan pada rangsangan dengar (auditory) berupa latihan (drill), pengulangan, orientasinya detail, kurang melibatkan proses pemecahan suatu masalah, sangat sesuai dengan pola belajar pada otak kiri, dimana individu tersebut kurang hiperaktif dan tidak mendapatkan terlalu banyak rangsangan. Masalah mulai timbul karena pada generasi anak saat ini dimana dengan berkembangnya budaya, sejak kecil anak telah diberi banyak rangsang penglihatan (visual), misalnya rangsangan dari TV dll; sehingga pola pembelajaran anak bergeser kearah otak kanan dengan pola berpikir secara visual dan lemah dalam menerima rangsang dengar (auditory) tetapi mempunyai kemampuan untuk pemecahan masalah. Hal ini mengakibatkan jurang antara anak didik dan guru menjadi lebar, karena pola pembelajaran disekolah tidak sesuai dengan pola pembelajaran yang dibutuhkan; sekolah menjadi tidak sejalan dengan pikiran anak. Sementara itu para pendidik yang umumnya adalah populasi dengan pola otak kiri, seperti juga pada dominasi otak kiri lainnya, mempunyai kelemahan berupa kesulitan untuk dapat memahami bahwa orang lain mempunyai cara pandang yang berbeda dalam memproses keadaan. (Freed 1997).
Otak Untuk Belajar
Sebelum kita dapat menciptakan kondisi belajar yang baik bagi anak, ada beberapa hal yang kita perlu ketahui dari proses kerja otak pada saat belajar. John Medina, seorang biologi molekuler perkembangan dan konsultan penelitian dalam bukunya Brain Rules, menyebutkan 12 fakta tentang cara kerja otak sebagai berikut
Bergerak melejitkan kemampuan otak; Otak kita dirancang untuk berjalan kaki, sekitar 19 kilometer per hari, selama masa evolusi nenek moyang kita. Ketika kita bergerak, darah akan terpompa ke otak, mengalirkan oksigen dan glukosa. Aerobik 2 kali seminggu memangkas resiko terkena dementia (penurunan kapasitas otak) dan menurunkan resiko sampai 60% terkena Alzheimer.Aturan pertama ini menjelaskan mengapa kita mudah bosan ketika duduk diam di dalam kelas atau ruang kerja. Tanpa pergerakan membuat oksigen yang mengalir ke otak berkurang sehingga dianggap sebagai sinyal beristirahat (jadi menguap kan kalau kelamaan duduk?). Persoalannya, ruang kelas dan kerja kita didesain dengan asumsi kita diam ketika belajar dan bekerja. Bila tubuh kita diam maka otak kita diam. Bergeraklah sambil belajar dan bekerja. Sekurang-kurangnya, lakukan pergerakan 10 menit setelah belajar atau bekerja.
Otak kita juga berevolusi; Otak adalah organ bertahan hidup kita dalam menjalani evolusi. Kita mengatasi dunia dengan beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Kita bukan makhluk yang terkuat di bumi ini, tapi otak kita berkembang menjadi yang terhebat. Otak kita berkembang selama menangani penyelesaian persoalan dan membangun relasi dengan orang lain. Kemampuan memahami persoalan dan membangun relasi dengan orang lain menjadi aktivitas bertahan hidup utama, bahkan hingga hari ini. Bukan saja di sekolah, kedua kemampuan itu juga kita butuhkan di tempat kerja. Sehingga bila kita tidak nyaman dengan orang lain maka kita tidak bisa efektif. Ketika murid tidak nyaman dengan gurunya maka belajar menjadi tidak efektif. Ketika bawahan tidak nyaman dengan atasannya maka bekerja menjadi tidak efektif. Belajar menyimak motivasi orang lain dan bangun relasi agar otak kita bekerja efektif.
Setiap otak tersusun secara berbeda; Otak dari kecil mengalami perkembangan yang luar biasa. Ada serangkaian hubungan yang terbangun antar ujung syaraf seiring dengan penghilangan hubungan yang lain. Apa yang kita lakukan dan pelajari dalan kehidupan mengubah bentuk fisik otak kita, mengubah susunan otak kita. Setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda dalam menjalani hidup. Tidak ada dua otak manusia yang sama yang menyimpan informasi yang sama dengan cara yang sama di tempat yang sama. Ada jutaan cara untuk menjadi cerdas sebagaimana diyakini konsep kecerdasan majemuk Howard Gardner. Sayangnya, banyak diantaranya tidak muncul dalam tes IQ. Praktisnya perlakukan diri kita dan orang lain sebagai individu unik yang mempunyai cara belajarnya sendiri.
Kita tidak memperhatikan hal-hal membosankan; Otak bisa diibaratkan sebagai lampu sorot (spotlight) yang menyorot berbagai macam hal di sekitarnya. Lampu sorot otak ini hanya dapat fokus pada satu hal pada satu waktu: Tidak ada multitasking bagi otak. Lampu sorot otak itu menyukai sesuatu yang membangkitkan emosi dan mudah beralih ketika menyorot sesuatu yang membosankan. Ceramah atau pembicaraan yang biasa-biasa saja hanya mendapat perhatian dari otak kita kurang dari 10 menit. Praktisnya: Pancing perhatian orang yang mendengarkan kita bicara setelah 10 menit melalui cerita yang menyentuh emosi. Hindari interupsi dalam mengerjakan suatu tugas karena akan meningkatkan jumlah kesalahan.
Ulangi untuk Mengingat; Otak itu ibarat mesin pengolah informasi yang mempunyai beragam mekanisme. Salah satunya, declarative memory yang mempunyai 4 tahap pengolahan informasi: mengodekan, menyimpan, memanggil dan melupakan. Kalau kita mengingat informasi dengan cara yang biasa-biasa saja, maka kita akan segera melupakan. Ibarat ketemu cewek yang biasa-biasa saja maka kita segera melupakan begitu saja. Beda kalau pertama bertemu begitu mempesona, wah sampai rumah pun masih terbayang-bayang wajahnya. Semakin rumit kita mengodekan informasi semakin kuat memori itu. Praktisnya kaitkan suatu informasi baru dengan informasi lama. Buat jembatan keledai untuk merangkai suatu informasi. Ulangi untuk mengingat suatu informasi dengan pola yang berbeda.
Ingatlah untuk mengulang; Sebagian besar memori menghilang dalam hitungan detik. Proses melupakan itu bagus karena kita tidak perlu menyimpan informasi yang tidak relevan dan membantu menentukan prioritas. Ingatlah yang sekarang, bukan masa lalumu (uhuk). Tapi bila kita ingin mengingat suatu informasi, maka ingatlah untuk mengulang. Praktisnya ingatlah suatu informasi secara bertahap dan mengulanginya dalam jeda waktu yang terpola waktunya.
Tidur baik, berpikir pun baik; Otak mengalami ketegangan terus menerus sepanjang hari. Bahkan ketika tidur pun, otak kita tidak sepenuhnya beristirahat. Otak tetap aktif secara ritmis selama kita tidur. Kurang tidur akan menurunkan perhatian, pengambilan keputusan, memori kerja, mood, keterampilan kuantitatif, penalaran bahkan ketangkasan motorik oleh sebab itu tidurlah secukupnya.
Otak yang stress tidak belajar secara sama; Otak kita terlatih untuk menghadapi bahaya atau stress dalam durasi pendek, semacam ancaman dari hewan buas. Stress yang ringan meningkatkan kinerja kita, stress kronis melumpuhkan kemampuan kita belajar. Kita punya otak satu, otak yang sama yang kita pakai di rumah, sekolah maupun kantor. Stress di suatu tempat akan berpengaruh pada kinerja kita di tempat lain. Jangan stress dengan membangun relasi dan emosi yang stabil di rumah, itu kuncinya
Rangsanglah lebih banyak indera; Kita menyerap informasi tentang suatu kejadian melalui indera, menerjemahkan dalam bentuk sinyal listrik, menyebarkan ke bagian otak terpisah dan ketika mengingat kita merekonstruksikan ingatan kejadian itu. Semakin banyak indera yang mendapatkan informasi atas suatu kejadian maka semakin mudah kita merekronstruksi ingatan akan kejadian tersebut. Hasil riset, Efek Proust, bau dapat memicu memori, hingga 10-50% lebih baik. (apa bau badanmu sekarang? *eh salah). Bau bahkan memicu emosi kita. Gunakan multisensori dalam menyampaikan penjelasan ke murid atau bawahan, paling tidak kata dan gambar. Bila perlu ciptakan ruangan yang baunya bisa diasosiasikan positif.
Penglihatan mengungguli indera-indera kita; Kita tidak melihat dengan mata kita, kita melihat dengan otak kita. Apa yang kita lihat bukanlah yang terlihat, tapi apa yang diberitahukan otak untuk kita lihat. Tak heran maka kita sering terjebak menilai orang dari tampilan luar, karena memang begitu cara kerja otak kita. Kita paling bagus belajar dan mengingat dengan gambar, bukan kata-kata tertulis atau terucap. Mendengar sekarang maka 3 hari kemudian hanya teringat 10%, sementara dengan melihat kita masih mengingat 65%. Teks mencekik otak kita, otak tidak mengenal kata-kata, tapi mengenal gambar. Ketika mengingat “Gajah pakai baju warja merah”, kita akan “melihat” gambar gajahnya, bukan tulisan g-a-j-a-h. Buang powerpoint yang penuh dengan teks dan poin-poin. Gunakan gambar yang berasosiasi dengan suatu informasi untuk belajar.
Otak pria dan wanita berbeda; Kalangan kesehatan mental sudah mengenali perbedaan antara pria dan wanita. Pria lebih mudah terkena schizophrenia dibandingkan wanita. Dengan rasio 2 banding 1, wanita memiliki kecenderungan lebih tinggi mengalami depresi dibandingkan pria, temuan setelah wanita mengalami pubertas dan terus stabil sampai 50 tahun berikutnya. Pria dan wanita merespon stress dengan cara yang berbeda. Pria mengaktifkan amygdala di sebelah kanan otak mereka, wanita mengaktifkan sebelah kiri. Aktivasi sebelah kiri akan membuat orang lebih mengingat detil, aktivasi sebelah kiri akan membuat orang mengingat intinya. Kelola kelas dengan pengaturan gender berbeda. Buat tim lintas gender dalam dunia kerja.
Kita adalah penjelajah alami yang kuat; Hasrat untuk mengeksplorasi begitu besar dalam diri kita. Hasrat itu tetap ada meski kita berada dalam ruang kelas dan ruang kerja. Bayi adalah model cara kita belajar. Bukan dengan pasif terhadap lingkungan, tapi aktif berksplorasi, melakukan pengamatan, membuat dugaan, lakukan pengujian dan kesimpulan. Hebatnya, beberapa bagian otak dewasa tetap lentur seoerti bagian otak bayi supaya kita dapat menciptakan syaraf-syaraf dan mempelajari baru sepanjang hayat.
Penelitian mutakhir sistem kerja otak sebagaimana diuraikan oleh Caineand Caine (1991) dalam bukunya Making connection: Teaching and human brain, bahwa intelegensi seseorang ternyata bersifat dinamis dan dapat berkembang. Lebih daripada itu, intelegensi tidak hanya berkaitan dengan aspek cognitive semata, tetapi berkaitan pula dengan emosi, sehingga disebut dengan Emotion Intellegence yang disingkat EQ (sebagai pelengkap IQ). Bukti-bukti menunjukan bahwa dalam keberhasilan pendidikan seseorang peranan IQ hanya sekitar 20 %. Sisanya 80 % sebagian besar ditentukan oleh EQ dan faktor kedewasaan sosial. EQ adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan aspek-aspek psikologis dalam diri sendiri yang mencakup a) amarah, b) kesedihan, c) rasa takut, d) kenikmatan, e) cin+a, f) terkejut, g) jengkel, dan, h) malu. Kemampuan mengendalikan aspek psikologis diperlukan agar EQ ini bisa bekerja secara harmonis dengan IQ. Singkat kata, kalau EQ baik otak akan dapat bekerja dengan baik pula. Dengan fakta-fakta tentang kerja otak ini, kekreatifan guru menjadi salah satu cara dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jika guru kreatif, siswa yang menjadi anak didiknya akan mengikuti pelajaran dengan senang. Jika siswa senang, pelajaran yang disampaikan guru akan cepat dipahami siswa dan pada akhirnya siswa bisa mengembangkan ilmu yang diterimanya. Oleh karenanya penting sekali pembelajaran itu untuk menjadi menyenangkan setiap siswa.

From netsains.net

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More