Friday, May 18, 2012

Ketika Tempe Menjadi Elit

Ketergantungan produk pangan kita terhadap bahan baku yang berasal dari impor, tentu bukan hal baru. Semenjak krisis hingga sekarang belum sedikit pun kita mampu mencapai kesuksesan kita berswasembada pangan di awal tahun 90-an. Padahal dari segi potensi sumber daya alam, bukan hal yang mustahil kita dapat menjadi bangsa pengekspor bahan pangan dunia. Tetapi mengapa ada kecenderungan “impor minded” bukan “domestic minded” ? Apakah kita sudah terlanjur berbangga dengan produk-produk asing?
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap produk impor memiliki kualitas lebih bagus dibandingkan produk dalam negeri. Dari berbagai survei, ternyata konsumer kita masih import minded. Banyak yang berpendapat kalau produk dalam negeri jelek, lebih bagus luar negeri. Hingga tanpa kita sadari produk lokal kita, sebagian besar telah mengandung komponen impor hingga mendekati angka 100%, ambil contoh tempe yang biasa kita konsumsi setiap hari. Makanan yang sering dinyatakan sebagai makanan asli Indonesia dan telah menjadi konsumsi sehari-hari sebagian masyarakat Indonesia, ternyata barang “impor”, karena kandungan lokal yang ada pada tempe hanya sekitar 33 persen, sementara 67 persen lainnya merupakan komoditas dari impor. Sehingga pada akhirnya tanpa kita sadari tempe kita telah menjadi elit. Tetapi bukan karena kemasannya tetapi elit karena berbahan baku impor
Beralih dari persoalan tempe yang menjadi karena berbahan baku impor, dalam persoalan budaya hari ini bahasa asing adalah sesuatu yang saat ini menjadi fokus titik perhatian banyak orang tua saat mencari sekolah bagi anaknya. Bahasa Inggris, bahkan bahasa ketiga, bahasa Mandarin misalnya seolah menjadi pertanda dari sebuah sekolah yang baik. Semakin banyak orang tua begitu berambisi untuk semakin dini mendorong anak-anaknya mampu berbahasa Inggris? Hingga tumbuh kuat pandangan bahwa bahwa kita menjadi modern (maju) saat bisa berbahasa Inggris dan segala yang kita lakukan sehari-hari terkait hal-hal yang datang dari luar (diimpor).
Impor dan Persoalan Budaya
Kalau ditinjau motivasinya secara pribadi, kemungkinan ada beberapa faktor di belakangnya. Pertama orang tua memang berencana untuk menyekolahkan anaknya di luar negeri atau untuk pindah berdomisili keluar Indonesia. Ini muncul dari faktor kebutuhan. Kedua, yang saya amati lebih banyak terjadi, motivasi orang tua lebih banyak didasari gengsi. Bangga rasanya saat anak bisa mengucap kata-kata berbahasa asing. Mungkin seperti itu tadi, ada perasaan maju atau modern. Jadi ini tumbuh lebih karena gengsi atau istilah kerennya lifestyle. Atau mungkin orang tua merasa tenang saat anaknya mampu mengucap kata-kata dalam bahasa Inggris.
Tapi kalau kita coba bertanya kritis, untuk mayoritas kita masyarakat Indonesia, apakah ada kebutuhan anak untuk segera bicara bahasa asing, berkomunikasi secara aktif misalnya dalam bahasa Inggris? Di rumah, apakah komunikasi dijalankan dalam bahasa Inggris? Lalu di masyarakat luar rumahnya? Bahasa Inggriskah? Saya kira jawabannya tidak. Lalu apa dan bagaimana selanjutnya, ini yang harus kita lihat lebih jauh.
Bahasa pada dasarnya adalah sangat kultural, terkait erat dengan kebudayaan. Karena kultural, tentunya kemampuan berbahasa adalah juga terkait erat faktor genetis. Faktor genetis sangat mudah dijelaskan melalui dialek atau logat. Kenapa masyarakat Jawa langgam bahasanya sangat berbeda dengan masyarakat Maluku atau Batak, misalnya. Kebudayaan sangat terkait dengan situasi atau konteks sebuah masyarakat. Pada negara-negara di Eropa, bahasa-bahasa tumbuh dari rumpun bahasa yang berdekatan. Ini yang menyebabkan bahasa Jerman dan Belanda mirip satu sama lain. Logika dan struktur bahasanya serupa. Dan karena secara geografis kultur yang berbeda sangat berdekatan, pertukaran budaya sangat mudah terjadi, sehingga masyarakat di sana cenderung lebih mudah untuk menguasai bahasa yang berbeda.
Berbeda halnya dengan Jepang, misalnya. Walaupun kita tahu masyarakatnya secara intelegensi sangat cerdas, mereka cenderung lebih sulit menguasai bahasa kedua. Kita tahu cukup sulit orang-orang Jepang untuk menguasai bahasa Inggris misalnya. Sama halnya dengan orang Korea. Kalau kita amati mungkin karena Jepang adalah negara kepulauan dan ini punya pengaruh besar dalam proses mereka belajar berbahasa asing.
Berangkat dari latar belakang ini tentu akan terdapat persoalan tersendiri disaat anak didik kita harus menguasai bahasa asing, terutama bahasa inggris yang saat ini diterapkan dibeberapa sekolah internasional. Meski menurut Mendikbud Prof. M. Nuh penggunaan bahasa Inggris di sekolah internasional bukan melunturkan budaya Indonesia justru dengan bahasa asing tersebut, para siswa bisa melakukan ekspansi ke dunia internasional. Tentu ekspansi yang dimaksud oleh Prof. M. Nuh adalah upaya kita mengejar kesenjangan dengan negara-negara asing, dan sebagaimana kita ketahui hal ini bukan pada penguasaan bahasa tetapi pada penguasaan teknologi. Akar permasalahan bukan pada bahasa tetapi pada ilmu pengetahuan, sebab hal terpenting bukanlah mengejar penguasaan bahasa asing melainkan ilmu dari negara-negara asing. Negara seperti Jepang, China, Korea berhasil menjadi negara “raksasa” bukan dengan meninggalkan bahasa ibunya. Jepang memulainya dengan memiliki lembaga penerjemah sendiri sehingga semua buku asing yang masuk ke negara itu bisa diterjemahkan ke bahasa Jepang. Dalam teori psikolinguistik, sepandai-pandainya orang berbahasa kedua, tetap saja bahasa pertama yang diingat. Janganlah kita terjebak untuk membuat warga kita “minder” sejak dini, karena mereka melihat bahwa bahasa Inggris itu lebih maju sehingga bisa membuat mereka mengabaikan bahasa Indonesia.
Bagaimanapun yang namanya bahasa pertama (first language – dalam bahasa Inggris) tidak pernah bisa digantikan dengan bahasa asing. Jadi memang bahasa pertama harus pertama-tama dikuasai sebelum seseorang mempelajari bahasa kedua. Bahasa adalah bukan sekedar sebuah keterampilan atau skill, dia punya peran luar biasa dalam pembentukan identitas seseorang. Bahasa punya keterkaitan luar biasa dengan proses pembentukan kesadaran dan kedewasaan budaya seseorang. Sebagai sebuah proses, menjadi dewasa adalah sesuatu yang memerlukan waktu dan tidak dapat dengan begitu saja dipercepat atau dilewati tahapan-tahapannya. Bahasa asing, tidak hanya bahasa Inggris adalah keterampilan yang menjadi luar biasa penting dalam era informasi dan komunikasi ini. Saat kita mampu menguasai banyak bahasa asing, hal ini akan sangat menentukan bagaimana kita bisa berinteraksi secara global. Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai kita menjadi asing justru di masyarakat kita sendiri.

From netsains.net

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More