Senja menyapa burung-burung berwarna putih yang terbang beriringan
menuju utara. Sore ini langit berwarna keemasan,cahaya matahari yang
hendak terbenam menyelusup dari balik pepohonan menimbulkan siluet
jajaran pohon di sepanjang jalan. Indah sekali. Kulangkahkan kakiku
dengan ringan, sesekali kutatap langit yang beranjak gelap.
Jalanan yang kulalui sudah cukup sepi, beberapa petani di desa tempatku tinggal bersiap pulang dengan membawa karung-karung berisi padi yang seharian tadi di panen. Iringan sepeda tua beberapa bu tani mendahuluiku. Kulihat mereka tersenyum bahagia, mungkin karena kali ini panen mereka melimpah tak seperti musim sebelumnya yang gagal karena hujan angin yang menumbangkan pepadian yang siap dipanen.
Aku juga merasakan kebahagiaan yang sama, setelah sekian lama menanti, akhirnya hari itu akan segera tiba.
***^^***
“Wita, kamu yakin cukup tahu tentang dia?” kataku ragu pada sesosok gadis berjilbab lebar yang duduk di hadapanku.
“insya Allah Ra, dia cukup familiar di kampus, dia dulu adalah ketua BEM, dan aktif di beberapa organisasi, di kampus dia termasuk ikhwan yang diperhitungkan pendapatnya, dan insyaAllah agamanya baik.” Kata Juwita sambil menatapku dalam-dalam.
“Ra, aku tahu tentang dia dari abangku, dulu abang pernah ikut diklat organisasi dan kebetulan sempat berkenalan dengannya”
“baiklah.. kalau begitu,aku akan berikhtiar dulu,semoga ta’aruf kali ini berjalan dengan baik” kataku meyakinkan diri.
Juwita tersenyum padaku, genggaman tangannya semakin erat.
Di pelataran masjid kampus beberapa orang mulai berdatangan bersiap mengikuti kajian rutin sore hari. Dan kami pun bergegas mencari tempat mengikuti kajian yang sama.
***^^***
Kutatap jam dinding kamarku. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.14. tapi mataku belum juga terpejam. Masih teringat proses ta’aruf yang sore tadi sudah terlaksana. “Alhamdulillah..” aku bergumam tak henti-henti. Akhirnya setelah dulu sempat gagal, kali ini ta’aruf berjalan lancar. Dan proses itu sudah berlanjut pada khitbah.
Namanya irfan, lelaki yang baru saja datang ke rumah bersama dengan keluarganya. Mahasiswa S2 fakultas teknik. Menurut teman-teman yang mengenalnya, ia adalah ikhwan yang baik. Kata mereka, aku beruntung bisa ta’aruf dengannya. Dan memang sudah kubuktikan sendiri. Pada dirinya ada kriteria-kriteria suami yang selama ini kucari. Tak muluk-muluk, aku hanya ingin lelaki yang shalih, yang turut beramal jama’i, yang sederhana. Ternyata dia jauh lebih baik dari yang kuharapkan, dia adalah mahasiswa berprestasi di tingkat universitas, dan pernah ikut pertukaran mahasiswa muslim di beberapa negara. Bila dibandingkan denganku, mungkin aku tak ada apa-apanya.
Tapi,bukankah Allah yang telah mengatur segalanya? Maka kini aku hanya harus berikhtiar dengan baik. Tapi kebahagiaanku saat ini, belum bisa kukabarkan pada saudara dan teman-teman karena masih ada dua bulan lagi menuju akad nikah yang sudah disetujui. Hanya keluarga dan teman dekatku yang tahu. Aku teringat kata seorang ustadzah, “sembunyikanlah khitbah dan dan sebarkanlah walimah”
Benar sekali kata beliau, karena khitbah saja bukanlah jaminan kalau kami akan melanjutkan proses ini pada jenjang akad nikah. Karena itulah, saat ini aku harus bersabar dahulu. Setidaknya hingga sebulan atau beberapa pekan sebelum hari –H, kabar ini akan segera kuberitahukan pada teman-teman dan saudara.
***^^***
Dua pekan berselang dari hari ta’aruf itu dan keluargaku sudah mempersiapkan beberapa kebutuhan untuk hari akad nikah.
“Ra, ngapain senyam-senyum gitu? Hayo, lagi ngalamunin akad nikah besok ya?hehehe” kata Juwita menggodaku.
“bukan Wita, Zahra cuma bingung tu kira-kira besok suaminya...... upss... aduhh, sakit Ra” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, mba nisa dan juwita sudah kutimpuk kertas undangan.
“kalian ini, ngaco ah, daripada nyindir terus, ini bantuin milih undangan lah, mana yang bagus?” kataku manyun sambil menyodorkan beberapa contoh undangan yang kupegang.
“hmmm, udah cari gamisnya belum Ra? Mau warna apa?” tanya mba Nisa padaku sambil melihat-lihat undangan berwarna merah marun.
“memang kenapa mba Nis? Ummm, aku ingin gamisku nanti warna putih aja, lebih kalem dan tampak sederhana” kataku sambil tersenyum.
“ok, kalau gitu cari undangan yang warna putih tulang aja ya.”
“ini bagus Ra, putih tulang dengan motif bunga lily kesukaanmu” Juwita menyodorkan sebuah undangan padaku.
“wahh..iya, bagus. Subhanallah, kok bisa nemu yang pas begini ya?” kataku girang. “OK, kita pesan yang ini saja ya"
***^^***
Selesai memesan undangan, kami bergegas pergi ke toko busana muslim langgananku. Di sana tersedia perlengkapan pernikahan lengkap, dan kebetulan dulu aku pernah melihat gamis berwarna putih berrenda dan berhias bunga-bunga merah muda. Cantik sekali. Dan aku ingin gamis itulah yang kupakai nanti di hari pernikahanku.
“wahh, cantik Ra, kamu cocok pakai gamis itu” kata Juwita memandangiku yang sedang mencoba gamis itu.
“yang bener? “ tanyaku malu-malu sambil melihat diriku di cermin.
“Akh Irfan pasti bahagia Ra, punya istri secantik dan seshalihah kamu” kata mba Nisa sambil menyodorkan jilbab berwarna putih dan hiasan bunganya. “ini dicoba juga ya”
***^^***
Selesai membeli gamis dan jilbab akhirnya kami bertiga pulang. di sepanjang jalan, kami membicarakan banyak hal. Tentang masa depan kami setelah lulus kuliah dari unnes nanti. tentang mereka yang juga ingin segera menikah sepertiku.
Tiba-tiba ponselku berderit. Ada sebuah panggilan masuk. Ternyata Akh irfan yang menelepon.
“Assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam, ini dengan ukhti zahra?”
“iya akhi, betul ini dengan Zahra, ada masalah apa? Tumben telepon?”
“afwan sebelumnya, ada masalah penting yang ingin ana katakan, terkait rencana pernikahan kita”
“ya, ada apa akhi?” kataku heran, tak terasa tanganku berkeringat dingin.
“afwan jiddan, ana terpaksa memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ini, ana ingin membatalkan khitbah, bukan karena apa-apa, hanya saja ana ternyata harus pergi keluar negeri untuk segera melakukan riset.....”
Waktu terasa berhenti. Bungkusan gamis dan jilbab yang kugenggam jatuh dari tanganku. Aku tak bisa mendengarkan lagi apapun yang lelaki itu sampaikan. mba Nisa dan Juwita memandangiku khawatir.
“....halo ukhti? Afwan.. kalau telepon ana mengejutkan anti, sebenarnya dari awal ana agak ragu saat proses ta’aruf itu, tapi ternyata memang harus seperti ini. Afwan, besok ana dan keluarga akan datang ke rumah anti memberikan penjelasan....”
Belum sempat ia selesaikan kalimatnya, ponsel kumatikan. Aku menghambur memeluk Juwita dan mba Nisa. Tak terasa, bulir-bulir bening mengalir dari pelupuk mataku.
Sore yang mulai beranjak petang, kabut mulai turun menyelimuti dahan-dahan pohon, membuat udara terasa dingin. Kurapatkan jaket yang membalut tubuhku sembari mendekap erat sebuah buku bersampul merah marun. Jalanan mulai sepi, sesekali terlihat beberapa anak menaiki sepeda. Mungkin mereka akan pulang setelah seharian asik bermain di area kebun teh ini. Musim liburan selalu membuat tempat ini ramai dikunjungi ternyata. Tapi tidak denganku, kedatanganku ke sebuah kota yang terkenal dengan kebun tehnya ini adalah untuk sedikit mencari ketengangan setelah mengalami masa-masa sulit beberapa waktu lalu.
Kuedarkan pandangan, sejauh mata memandang yang ada hanyalah warna hijau yang perlahan tertutup kabut. Tiba-tiba mataku tertuju pada dua sosok lelaki dan perempuan tak jauh dariku. Sang lelaki tengah memegangi sebuah kamera di tangan sembari menyodorkannya pada perempuan berjilbab coklat lebar. Sesekali mereka tertawa bersama, lalu lelaki itu menggandeng tangan si perempuan dan berjalan menyusuri jalan yang sama denganku.
Melihat adegan barusan, membuat hatiku sedikit perih. Rasanya ada yang sakit dan entah aku tak tahu bagaimana menghilangkan desiran lembut itu.
"Ya Allah... kapan aku bisa mempunyai pasangan hidup seperti itu?" gumamku dalam hati..
Segera kupercepat langkah kakiku mendahului pasangan itu, aku tak ingin melihat kemesraan mereka lebih banyak. Aku tak mau kepercayaan diri yang baru saja kubangun tiba-tiba runtuh lagi hanya karena hal sepele seperti ini.
***^^***
Di sebuah ruang keluarga tengah berkumpul kakek,nenek,dan bundaku. Mereka terlihat tengah asik bercerita. Setelah hampir setahun tak bertemu akhirnya kami bisa berkumpul bersama.
“Assalamu’alaikum” suaraku membuat mereka semua menoleh padaku.
“wa’alaikumussalam, dari mana saja sayang? Kok sampai sore banget begini?” kata bunda sambil menuangkan teh hangat yang masih mengepulkan asap ke dalam sebuah cangkir.
“ini bunda bikin teh hangat,sama kue talam kesukaanmu”
Kuterima secangkir teh dan sebuah kue talam yang diulurkan oleh bunda.
“makasih bund, tadi zahra dari kebun teh, dan malah ketemu teman jadi ngobrol lumayan lama tadi” kataku sambil tersenyum.
“itu makannya dihabiskan dulu nduk, terus mandi ya, itu nenek sudah siapkan air hangat” kata nenek dengan senyumnya yang khas.
Walaupun sudah berusia lebih dari setengah abad, nenek masih terlihat cantik. Begitu juga dengan kakek masih terlihat begitu segar. Mereka berdua di usianya yang sudah tak muda lagi ini ternyata masih menyimpan kemesraan yang bisa kami lihat. Tak jarang kakek menggoda nenek dengan rayuan seperti saat mereka masih muda. Dan kami yang melihat biasanya hanya bisa tersenyum melihat wajah nenek yang merona malu. Aku selalu iri melihat mereka, dan suatu saat nanti aku juga ingin punya pernikahan yang begitu hangat seperti mereka.
***^^***
“Sayang, bunda perhatikan kamu akhir-akhir ini sering murung, ada apa? Masih teringat masalah dulu itu ya?” tanya bunda pelan-pelan sambil menyisiri rambutku.
“umm,ndak kok bund. Ndak ada apa-apa. Zahra baru banyak pikiran aja, bunda ndak usah khawatir ya” kataku sambil memaksakan wajahku untuk tersenyum.
“Sudah lah nak, lupakan yang sudah berlalu ya, ndak baik kesedihan diingat-ingat terus. Itu,coba lihat di cermin” kata bunda sambil menunjuk sebuah cermin besar di hadapan kami. “putri bunda ini cantik sekali, mirip sama ayah yang tampan” kata bunda sambil tersenyum.
“ihhh,zahra kan mirip bunda,kok dari dulu bilang mirip ayah sih” kataku pura-pura manyun.
“iya-iya, cantik mirip bunda. Dan bunda yakin, lelaki yang punya istri secantik dan seshalihah putri bunda ini pasti akan sangat beruntung dan bahagia.ya kan sayang?”
Mendengar kata-kata bunda membuat mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba aku ingin sekali menangis.
“oiya Sayang,” kata bunda dengan suara berubah lebih serius. “ ayah kemarin bilang sama bunda, kalau ada teman ayah yang ingin memperkenalkan putranya denganmu, tapi ayah belum menjawab, semuanya ayah dan bunda serahkan pada keputusanmu Sayang”
Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata, bunda sudah melanjutkan kalimatnya. “udah,ndak perlu di jawab sekarang, lebih baik sekarang kamu tidur dulu ya, besok setibanya di rumah kita diskusikan lagi dengan ayah dan kakakmu”
Bunda meninggalkanku sendiri di kamar. Segera kubaringkan tubuhku di atas kasur, terdengar suara dipan kayu berderit.
Kutatap langit-langit kamarku. Malam ini hatiku menjadi kian gundah, ditambah dengan apa yang Bunda ucapkan tadi membuatku bingung harus memutuskan apa.
Kuambil buku bersampul merah marun dari atas meja rias. Kubuka halaman demi halaman, kubaca ulang tentang perasaanku beberapa pekan ini. Sungguh, aku merasa malu dan bersalah. Kadang ada kecewa dan ada perasaan ingin marah. Tak pernah kuduga sebelumnya bahwa aku akan diperlakukan seperti ini oleh seorang ikhwan.
Dia yang datang dengan niat baik, tiba-tiba memutuskan untuk tak meneruskan khitbah menuju akad nikah. Aku masih sangat ingat kejadian itu tepat sebulan yang lalu, saat ia memberikan keputusan sepihak melalui sebuah telepon singkat. Aku sangat kecewa dan marah waktu itu, bisa-bisanya lelaki yang kata orang-orang shalih itu bisa melakukan hal seperti ini padaku.
Waktu itu kabar berlangsungnya khitbah sudah diketahui oleh saudara-saudara dekat, undangan sudah dipesan, persiapan sudah setengah jalan, tapi akhirnya harus dibatalkan. Betapa malu rasanya dan aku tahu ada yang jauh lebih kecewa daripada aku, yaitu ayah dan bunda. Pasti berat sekali menjadi mereka yang harus menjawab pertanyaan dari saudara-saudara tentang kabar ini. Mungkin mereka juga malu, tapi mereka tak pernah menunjukkan perasaan malu,kecewa, dan sedih itu di depanku. Karena tanpa mereka tunjukkan perasaan itu aku sudah cukup kecewa.
Tapi ada satu hal lagi yang jauh membuatku lebih malu daripada semua kekecewaan ini. Yaitu tentang perasaanku pada lelaki itu. Aku sudah terlanjur menaruh sebuah harapan padanya, sejak khitbah itu terlaksana. Aku memang tak bisa membohongi perasaanku sendiri, bahwa aku mulai tertarik padanya . Aku sudah membangun sebuah mimpi tentang pernikahan yang indah dengannya. Tapi ternyata mimpi itu tak akan pernah bisa jadi nyata. Aku malu pada perasaan ini, dan sekarang harapan itu berubah menjadi rasa tertolak. Dan sungguh itu sangat menyakitkan.
***^^***
Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian terhentinya proses ta’arufku dengan Akh Irfan, rasanya kini perasaanku sudah jauh lebih baik. Aku tak lagi merasakan perih dan trauma yang dulu sempat kutakutkan ternyata tak jadi kenyataan. Sudah saatnya menata hati dan semangatku lagi. Pekan depan wisuda sudah akan dilaksanakan, dan setelah itu aku akan resmi mendapatkan gelar sarjana Pendidikan.
***^^***
Hari ahad yang cerah ini kugunakan untuk pergi mengikuti kajian bersama Juwita dan mba Nisa. Beruntung sekali kami bertiga bisa lulus dalam waktu yang sama dan setelah ini entah aku tak tahu akan kemana langkah kaki ini menuju. Melanjutkan kuliah atau menikah rasanya adalah pilihan yang sama-sama membuatku antusias. Mungkin aku perlu waktu untuk rehat sejenak sembari memikirkan pilihan-pilihan yang bisa kuambil.
“Zahraaa...” suara Juwita terdengar dari arah pintu gerbang masjid. Kulihat dua orang gadis berjilbab berjalan pelan mendekatiku.
“maaf ya telat, kami tadi baru aja lihat-lihat stand buku di luar gerbang masjid. Ternyata bagus-bagus Ra” kata Nisa bersemangat.
“iya deh, nanti habis dari kajian mampir sebentar, yuk masuk dulu, kayaknya udah mau mulai” segera kami masuk ke ruang utama masjid mengikuti kajian pranikah yang baru pertama kali kuikuti.
Kuperhatikan wajah Juwita selama kajian, ia tampak murung sejak aku melihatnya tadi pagi. Entah kenapa, ada yang aneh dengannya karena bukan kebiasaannya berwajah murung seperti itu.
“Wit, kamu kenapa? Kok murung dari tadi? Ada masalah? Mau cerita?”
“ihh, kamu nanya apa wawancara sih Ra?” kata Wita manyun, aku dan mba Nisa tersenyum mendengar jawaban Wita itu.
“umm, sebenarnya aku udah pengen cerita sejak kemarin Ra, tapi aku ragu..umm,afwan ya Ra” katanya sambil menatap halaman masjid yang dipenuhi daun-daun kering yang jatuh terbawa angin.
“cerita apa sih Wit? Kamu bikin aku penasaran? sini cerita aja ndak apa-apa” kataku sambil menyentuh pundaknya.
“Iya Wit, ceritalah, kayak sama siapa aja pake ragu segala” mba Nisa menambahi.
“beberapa hari yang lalu, Abangku cerita kalau pekan kemarin Abang datang ke akad nikah akhwat temannya di kampus, dan ternyata di sana Abang bertemu dengan... Akh Irfan”
“ohh, terus kenapa dengan Akh Irfan Rin?” aku bingung dengan cerita Wita.
“eh bukannya Akh irfan ada riset di Australia ya? ini kan baru dua bulan? Apa risetnya udah kelar?” kata mba Nisa sambil memainkan ujung jilbabnya, ia tampak sedang berpikir. Mendengar kalimat Nisa tak urung membuatku juga ikut berpikir, seingatku dulu Akh Irfan bilang kalau riset itu dilakukan hampir 6 bulan lamanya.
“Maka dari itu, Abangku juga bingung kenapa Akh Irfan ada di sini Nis”
“Jadi Akh Irfan itu juga mengenal teman Abangmu yang menikah ya Wit?” kali ini aku penasaran sekali apakah hanya karena mendatangi walimahan teman ia sampai meninggalkan risetnya yang penting itu.
“umm, bukan hanya kenal Ra.. tapi, Akh Irfan adalah mempelai lelakinya...” kata Wita hati-hati sembari menatap wajahku.
“masyaAllah..beneran Rin?” tanya mba Nisa tak percaya.
Wita hanya menganggukkan kepala. Sedangkan aku hanya bisa terdiam mendengar cerita Rina itu.
“Ra, kamu ndak apa-apa kan?” tanya Wita khawatir.
“Subhanallah, kita memang ndak pernah tahu apa skenario Allah ya, mungkin ini memang yang terbaik buat kami Wit, aku ndak apa-apa kok, tenang aja”
“kemarin Abang juga kaget Ra, tiga hari usai walimahan itu Abang sempat menabayunkan pada Akh Irfan apakah pembatalan khitbah denganmu itu ada hubungannya dengan akhwat teman Abangku. Dan ternyata beliau mengiyakan, jadi sebelum ta’aruf denganmu, sebenarnya Akh irfan sudah tertarik pada akhwat lain, tapi sudah lama mereka tak bertemu dan mereka baru bertemu justru di saat khitbah denganmu sudah terlaksana, karena itulah Akh Irfan menjadi ragu dan memutuskan untuk tidak melanjutkan proses itu. Awalnya Abangku ingin sekali marah, tapi Abang lebih memilih untuk diam”
“Subhanallah....” kataku parau, suaraku rasanya tercekat di tenggorokan. Ada bulir bening yang menyeruak dari kelopak mataku.
“Ra..sabar ya, mungkin sudah begini jalannya, dan aku tahu Allah pasti akan mengganti dengan yang lebih baik” Wita menggenggam jemariku erat, mba Nisa ikut merangkul pundakku.
“iya, aku ndak apa-apa kok, kalian tenang aja, justru aku sangat bersyukur, Allah sayang sekali padaku sehingga Allah menjagaku dengan cara seperti ini. Allah menjagaku dari perasaan khawatir kalau nanti beliau tak bisa mencintaiku dengan tulus karena sudah ada akhwat lain di hati beliau. Kalau lah pernikahan kami waktu itu terlaksana, belum tentu aku akan merasa bahagia, dan belum tentu beliau bisa tulus menerimaku sebagai istrinya. Dan akan lebih baik begini, beliau sudah mendapatkan akhwat yang tepat untuk jadi pendamping hidupnya.” Aku berusaha tegar, tapi bulir bening itu tetap saja mengalir membasahi jilbabku.
“tapi dia itu ikhwan Ra, tega sekali memperlakukan akhwat seperti ini, kalau memang tak yakin kenapa harus tetap ta’aruf dan setelah itu dia juga yang membatalkannya” suara mba Nisa mulai meninggi.
“sudah lah Nis, sabar, aku ndak apa-apa kok.. Di mataku,beliau tetaplah seorang ikhwan yang baik. Dan mungkin begini jauh lebih baik untuk kami”
***^^***
“astaghfirullah, Ya Rabbi... perih nian rasanya, tak bisakah Kau bawa pergi rasa sakit ini?” gumamku dalam hati sambil memeluk erat kedua sahabatku itu lalu terisak pelan.
Pagi yang hangat, sinar matahari menyapa lembut dari balik jendela. Kubuka jendela kamar lebar-lebar, mempersilahkan udara masuk. Hangatnya sinar matahari menerpa wajahku yang terbalut kerudung merah marun, warna kesukaanku. Kuambil sebuah kartu yang tergeletak di meja belajar, kubaca ulang tulisan yang tertera di sana.
“Barakallah ya Ukhti, semoga dimudahkan segala urusannya, dan semoga ilmunya lebih barokah usai mendapatkan gelar sarjana ini” –Sunflower-
Kubolak-balik lagi kartu itu, kucari nama pengirimnya tapi tetap tak bisa kutemukan. Hanya tulisan “sunflower” di sudut kertas. Kuperhatikan rangkaian bunga matahari yang sudah kutaruh di sebuah vas,
"hmm, siapa ya yang iseng mengirimkan bunga dan kartu ini?” aku bergumam sendiri. Kemarin usai pulang dari acara wisuda aku menemukan bunga dan kartu itu tergeletak di meja taman depan rumah. Sampai saat ini aku masih tak tahu siapakah pengirim bunga itu.
Jam dinding menunjukkan pukul 6.45. Sudah saatnya aku berangkat ke tempatku mengajar. Kini aku punya kesibukan baru, dua bulan sebelum wisuda aku sudah mengajukan lamaran mengajar di sebuah SDIT, dan akhirnya aku diterima. Ini adalah hari pertamaku mengajar, jadi aku ingin mempersiapkan segalanya agar bisa mengajar dengan baik.
***^^***
Hampir dua pekan berlalu, aku sudah mulai menikmati profesiku sebagai seorang guru, di SD IT itu aku dipanggil Ustadzah, selain mengajar bahasa indonesia dan mengaji, aku juga diberi amanah untuk memberikan konseling karena itulah aku sangat dekat dengan anak-anak.
Pernah suatu ketika ada seorang anak yang bercerita padaku kalau ia suka dengan temannya.
Kalau Ustadzah, dulu pernah suka ndak sama seorang Ustadz?” kata gadis berkerudung oranye di depanku dengan polos. Aku tersenyum mendengar pertanyaan gadis kelas 3 itu.
“umm, pernah ndak ya? mungkin pernah, memang kenapa Sayang?”
“Ustadzah bilang kalau suka sama orang itu?”
“umm....” aku mengerutkan kening mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Ustadzah lupa..hehehe” kataku kemudian tertawa.
“iihh, Ustadzah kok lupa sih? Besok kalau sudah ingat kasih tau Dinda ya?” kata gadis itu sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya tampak lebih cantik.
“Ok. InsyaAllah ya Dinda” Gadis yang kupanggil Dinda itu kemudian pergi meninggalkanku sendirian di kelas. Aku mulai membereskan buku di meja dan beranjak kembali ke ruang guru.
***^^***
Baru saja aku akan meletakkan buku-buku, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah bingkisan kecil di atas mejaku.
“Ukhti Zahra, ini untuk berbuka puasa nanti sore” –Sunflower-
Lagi-lagi, ada kiriman misterius untukku. Entah sudah kali keberapa aku mendapatkan bingkisan seperti ini, pekan lalu aku sudah mendapatkan sebuah buku. Kubuka bingkisan itu, ada sekotak kurma dan sebatang cokelat putih, dua makanan yang sangat kusukai . Terlebih ketika berbuka puasa dua makanan itu tak pernah ketinggalan. “hffh...sebenarnya kau siapa?”
Waktu aku bercerita pada Juwita dan mba Nisa, mereka hanya tertawa. Mereka bilang mungkin itu dari siswaku, tapi sungguh aneh karena tulisan di kartu itu bukan tulisan anak kecil dan benda-benda itu merupakan benda kesukaanku, bagaimana bisa siswa-siswaku tahu.
“secret admirer kali Ra,hehehe” kata Wita menggodaku waktu itu.
“ya Allah, aku ingin suami bukan sekotak kurma, atau coklat ini...” kataku siang itu sambil memandangi bunga matahari yang tumbuh subur di halaman sekolah.
***^^***
“Sayang, nanti sore siap-siap ya” kata Bunda ketika melihatku masuk ke dalam rumah sepulang dari mengajar.
“ehh,siap-siap apa Bund?”
“lho, Zahra lupa? Kan nanti teman Ayah mau datang ke rumah”
“oiya, nanti Zahra bantu Bunda nyiapin masakan deh”
“ndak perlu Sayang, yang perlu kamu lakukan adalah dandan yang rapi, Oke?” kata Bunda sambil tersenyum.
“ihh, Bunda kenapa sih? Hayo, ada apa sih Bund? Kok kayaknya ada yang aneh, ndak biasanya Bunda minta Zahra dandan”
Bunda hanya tersenyum melihatku yang kebingungan.
***^^***
Akhirnya sore itu aku membantu Bunda memasak. Kali ini kami tak hanya berdua, beruntung Juwita dan mba Nisa sedang luang jadi mereka bisa membantu.
***^^***
Malam ini tampak cerah, bulan tampak tersenyum di balik awan putih yang sesekali menghampiri. Bintang-bintang berkerlap-kerlip. Suasana malam yang begitu indah. Rina dan Nisa sedang dikamar membantuku memilih baju yang akan kupakai.
“ehh Ra, ini gamis yang akan kamu pakai dulu itu kan?” kata mba Nisa sambil mengambil sebuah gamis putih berenda dari dalam lemari bajuku.
“iya Nis, baju itu belum pernah kupakai”
“ohh...jadi pengen segera melihatmu pakai gamis ini Ra” Nisa memandangi gamisku lalu tertawa kecil.
“doakan aja ya, aku juga ingin segera mengenakan gamis itu ketika walimatul ursy nanti” kataku sambil memakai jilbab berwarna krem. Wita dan Nisa saling berpandangan kemudian tertawa melihatku.
“ehh, kalian kenapa sih? Kayak Bunda deh, jadi aneh begitu” aku heran melihat tingkah mereka berdua.
***^^***
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 19.35. Terdengar suara deru mobil dari arah luar. Aku segera bergegas menemui Bunda. “itu tamunya Bund?”
“iya Ra, kamu siap-siap ambil makanan ya nanti, Ayah sama Bunda ke depan menyambut tamu dulu”
Aku segera ke dapur bersama mba Nisa dan Wita menyiapkan minuman dan menata hidangan. Dari arah ruang tamu terdengar obrolan hangat. Kali ini tamu Ayah ada 2 mobil, padahal biasanya tak seramai itu.
“Zahraa, ke sini Nak” kata Bunda dari ruang tamu. Aku segera keluar membawa baki berisi minuman ditemani Nisa dan Wita yang membawa baki berisi makanan.
“Subhanallah...ini Zahra, cantik sekali kamu ndu sekarang” suara seorang wanita yang cukup familiar membuatku mendongak menatap wajahnya.
“ehh, Ummi Nur apa kabar Ummi?” aku menyalami wanita seusia Bunda itu, kemudian wanita itu memelukku erat. Aku tak mengira bahwa yang datang bertamu adalah keluarga Pak Hanafi, aku biasa memanggilnya dengan sebutan Abah. Abah adalah teman dekat Ayah yang dulu yang jd tinggal di Cilacap, tapi karena pindah tempat kerja, membuat Abah membawa semua keluarganya pindah rumah ke Bandung.
Aku segera duduk di sebelah Bunda. Aku tak tahu bahwa dari tadi ada sepasang mata yang memperhatikanku. Obrolan hangat pun mulai mengalir, di saat tamu mulai menikmati hidangan, aku baru berani memperhatikan tamu satu per satu. Tiba-tiba mataku bertemu dengan sepasang mata tajam milik seorang lelaki.
“Astaghfirullah...” aku lalu menunduk, tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat, tanganku mulai berkeringat dingin. Wita dan Nisa tersenyum memperhatikanku yang salah tingkah.
***^^***
“hmm, jadi begini Pak Andi, kedatangan kami sekeluarga ke sini sebenarnya bukan hanya sekedar bersilaturrahim, setelah 5 tahun lamanya ndak bertemu, tapi kami juga punya urusan lain” kata Abah kemudian melirik lelaki di sampingnya. “saya datang secara langsung untuk melamar putri Pak Andi untuk anak lelaki saya, Erit"
“Subhanallah, baiklah Pak Hanafi, tapi saya belum bisa menjawab sebelum putri saya memberikan jawaban. Gimana Nak? Jawaban lamaran itu Ayah serahkan sepenuhnya padamu” kata Ayah sambil memegangi tanganku. Aku hanya bisa diam, aku semakin menunduk tak berani mengangkat wajahku dan degup jantungku semakin cepat.
“biasanya ini ya, diamnya perempuan itu artinya mengiyakan,ya kan Nak Zahra?” semua yang ada di ruang tamu tertawa mendengar kata-kata Abah. Entah aku tak tahu mungkin wajahku saat ini sudah semerah buah tomat.
Beberapa menit diam, akhirnya aku menganggukkan kepala.
“Alhamdulillah...” terdengar hamdallah dari semua tamu di ruang itu.
“Bagaimana kalau ndak usah lama-lama Pak Andi, sekarang saja akad nikahnya jadi pekan depan tinggal meyiapkan walimatul ursy nya saja? Gimana Rit, kamu siap“ Kalimat Abah membuatku melongo. Lelaki di sebelah Abah mengangguk mantap.
“Gimana Nak? Siap?” Ayah gantian bertanya padaku. Dan lagi-lagi, aku mengangguk.
***^^***
Akhirnya, malam itu juga akad nikah terlaksana dan Ayah sendirilah yang menikahkanku. Tak henti-hentinya kalimat syukur kuucapkan. Ternyata, Allah menjawab doaku dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Jam dinding ruang tamu sudah menunjukkan pukul 21.15. Abah sekeluarga dan para tamu sudah pamit pulang, Nisa dan Juwita juga berpamitan, sebelum pulang mereka memelukku satu persatu.
“Barakallah ya Ra, kami ikut bahagia” kata Wita sembari mengusap sudut matanya.
"Oiya, ingat besok pas walimatul ursy gamis putihnya dipakai ya” kata Nisa menggodaku.
***^^***
Halaman rumah sudah sepi, tak ada lagi mobil yang terparkir. Ayah dan Bunda sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah, tinggal aku dan seorang lelaki di sampingku. Aku bingung harus berkata apa pada lelaki yang dari tadi memandangiku itu, aku terus menundukkan kepala, belum usai kekagetanku dan degup jantungku belum juga normal.
“Assalamu’alaikum istriku...” kata lelaki itu sambil mendekat ke arahku. Walaupun sudah lama tak bertemu, aku masih ingat dengan jelas detail wajah lelaki itu. Ia tak banyak berubah, hanya saja kini ia tampak sangat gagah dengan postur tubuhnya yang ideal dan jenggot tipis di dagunya.
“umm, wa’alaikmussalam..” kataku kikuk dipanggil begitu.
“heii, ndak usah grogi begitu dong ndu, padahal dulu kamu kan bukan anak pemalu, kamu kan yang dulu lebih suka usil padaku? udah gitu cerewet banget lagi” aku menatap lelaki itu, ada sorot jenaka di wajahnya, sama seperti 5 tahun yang lalu saat kami masih sama2 kuliah di unnes.
“sini, duduk” ia mengajakku duduk di kursi kayu depan rumah. Aku masih diam tak berani memandang wajahnya.
“Ndu, kamu marah ya sama Aa?”
“Kenapa harus marah sama Aa?”
“karena dulu Aa pindah rumah ke Bandung"
“umm, ndak juga”
"Ndu, kamu pernah ndak kangen sama Aa?” Pertanyaan lelaki itu membuat wajahku merona merah. Aku diam lagi.
“hmm, diam berarti iya” katanya menggoda.
“ihh, siapa bilang. Aa Erit GR deh” kataku manyun.
“ehh, dulu siapa yang bilang ke tatang ingin dinikahkan denganku coba?” senyum lelaki itu makin lebar dan wajahku semakin memerah.
“jadi ka Tatang cerita sama Aa ya?” lelaki itu malah tertawa. Aku tak mengira bahwa kata-kataku dulu ternyata ka tatang ceritakan pada Aa Erit.
“tenang, tatang baru cerita tadi habis akad nikah, hehehe, Abah sama Ummi juga sudah tahu kok”
“ahhh, Ka tatang jahaatt...” aku tambah manyun.
“Ndu, Aa tuh kangen banget sama kamu...tau ndak, sejak kepindahanku waktu itu aku sering merengek pada Abah minta pulang ke Cilacap, tapi karena Abah terlalu sibuk jadi kami belum sempat kemari. Maaf ya..”
“ihh, kirain Aa udah lupa sama Zahra terus nyari akhwat lain di Bandung” kali ini ada sedikit perasaan sebal di hatiku. “umm, selama 5 tahun ini, apa Aa belum merencanakan pernikahan dengan gadis lain..?”
“asal kamu tahu ya ndu, selama aku nyantri di pondok aku sempat mau dinikahkan dengan anak Pak Kyai, makanya aku segera lanjut S2 ke Jerman dan pulang melamarmu”
Aku tertawa mendengar cerita lelaki yang kini sudah menjadi suamiku itu. “Zahra juga iya a, Zahra sempat akan menikah dengan lelaki lain, tapi batal, dan Ayah juga sempat akan memperkenalkan Zahra dengan putra teman Ayah, tapi akhirnya ndak jadi”
Aa Erit terdiam cukup lama, sambil memandangi bunga yang tumbuh di halaman. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Ndu, sejujurnya.. aku menyukaimu sejak kita masih kuliah dulu, tapi kurasa itu adalah cinta bias, tapi beruntung sekali sekarang kau sudah menjadi istriku. Umm, kau juga suka padaku kan ndu?”
Aku diam lalu menggeleng pelan. “apa ndu? jadi kamu...”
“iya, Zahra..ndak cuma suka, tapi sekarang juga cinta sama Aa” kataku sambil menunduk.
Aa Erit tertawa kecil. “Ndu, sekarang kita sudah menikah, jadi boleh kan aku menyentuhmu?” dia mendekatkan wajahnya padaku. Degup jantungku semakin memburu. Wajahnya dan wajahku hanya berjarak 5 centi, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah bunga matahari tepat di depan wajahku.
“ihhh, Aa nakal” kucubit lengannya gemas, dia tertawa, puas menjahiliku.
“jadi, selama ini Aa yang iseng mengirimkan bunga dan bingkisan itu?”
“hehehe...iya, itu kulakukan sekalian untuk memastikan bahwa Akhwat jawaku ini belum bersuami, hehehe”
“Dasar nakal”
“tapi kau suka kan?” katanya menggoda lagi. “dan sampai saat ini kau tetap menjadi bunga matahari yang selalu bersinar di hatiku, semakin lama semakin terang.” Ia mulai menggombal dan membuat wajahku sudah seperti buah tomat. “ehh lihat ndu, itu bulannya mengintip kita malu” kata Aa Erit sambil menunjuk bulan sabit di langit. Lalu tiba-tiba sebuah ciuman sudah mendarat di pipiku.
“Aa.......”
Wajahku semakin merona kemerahan. Malam itu lengkap sudah kebahagiaanku. Bulan dan bintang-bintang mulai beranjak ke peraduan, seperti kami yang mulai merajut mimpi berdua.
***^^***
“jadi gimana Ustadzah?” Dinda menemuiku di taman halaman sekolah.
“umm, jadi...dulu Ustadzah pernah suka sama seorang ikhwan, dan ikhwan itu adalah senior Ustadzah sendiri, dia 3 tahun lebih dewasa dari Ustadzah.. Tapi dulu Ustadzah ndak bilang sama ikhwan itu kalau Ustadzah suka”
“yaaahh,” Dinda tampak kecewa. “tapi orang itu tau ndak kalau Ustadzah suka?”
“umm, iya.. ikhwan itu tau kok kalau Ustadzah suka”
“kapan Ustadzah bilangnya?”
“tadi malam..” kataku sambil tersenyum.
“siapa orangnya Ustadzah? Dinda pengen tahu”
“itu dia orangnya..” kataku sambil menunjuk seorang lelaki tampan yang sedang bermain bola di halaman dengan anak-anak.
“yang itu? Itu kan suami Ustadzah..”
“memang iya, itu suami Ustadzah..dan itulah orang yang dulu Ustadzah sukai pertama kali...”
*the end*
by Pengukir Senja (http://www.facebook.com/Ndu.Ardhiya)
Jalanan yang kulalui sudah cukup sepi, beberapa petani di desa tempatku tinggal bersiap pulang dengan membawa karung-karung berisi padi yang seharian tadi di panen. Iringan sepeda tua beberapa bu tani mendahuluiku. Kulihat mereka tersenyum bahagia, mungkin karena kali ini panen mereka melimpah tak seperti musim sebelumnya yang gagal karena hujan angin yang menumbangkan pepadian yang siap dipanen.
Aku juga merasakan kebahagiaan yang sama, setelah sekian lama menanti, akhirnya hari itu akan segera tiba.
***^^***
“Wita, kamu yakin cukup tahu tentang dia?” kataku ragu pada sesosok gadis berjilbab lebar yang duduk di hadapanku.
“insya Allah Ra, dia cukup familiar di kampus, dia dulu adalah ketua BEM, dan aktif di beberapa organisasi, di kampus dia termasuk ikhwan yang diperhitungkan pendapatnya, dan insyaAllah agamanya baik.” Kata Juwita sambil menatapku dalam-dalam.
“Ra, aku tahu tentang dia dari abangku, dulu abang pernah ikut diklat organisasi dan kebetulan sempat berkenalan dengannya”
“baiklah.. kalau begitu,aku akan berikhtiar dulu,semoga ta’aruf kali ini berjalan dengan baik” kataku meyakinkan diri.
Juwita tersenyum padaku, genggaman tangannya semakin erat.
Di pelataran masjid kampus beberapa orang mulai berdatangan bersiap mengikuti kajian rutin sore hari. Dan kami pun bergegas mencari tempat mengikuti kajian yang sama.
***^^***
Kutatap jam dinding kamarku. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.14. tapi mataku belum juga terpejam. Masih teringat proses ta’aruf yang sore tadi sudah terlaksana. “Alhamdulillah..” aku bergumam tak henti-henti. Akhirnya setelah dulu sempat gagal, kali ini ta’aruf berjalan lancar. Dan proses itu sudah berlanjut pada khitbah.
Namanya irfan, lelaki yang baru saja datang ke rumah bersama dengan keluarganya. Mahasiswa S2 fakultas teknik. Menurut teman-teman yang mengenalnya, ia adalah ikhwan yang baik. Kata mereka, aku beruntung bisa ta’aruf dengannya. Dan memang sudah kubuktikan sendiri. Pada dirinya ada kriteria-kriteria suami yang selama ini kucari. Tak muluk-muluk, aku hanya ingin lelaki yang shalih, yang turut beramal jama’i, yang sederhana. Ternyata dia jauh lebih baik dari yang kuharapkan, dia adalah mahasiswa berprestasi di tingkat universitas, dan pernah ikut pertukaran mahasiswa muslim di beberapa negara. Bila dibandingkan denganku, mungkin aku tak ada apa-apanya.
Tapi,bukankah Allah yang telah mengatur segalanya? Maka kini aku hanya harus berikhtiar dengan baik. Tapi kebahagiaanku saat ini, belum bisa kukabarkan pada saudara dan teman-teman karena masih ada dua bulan lagi menuju akad nikah yang sudah disetujui. Hanya keluarga dan teman dekatku yang tahu. Aku teringat kata seorang ustadzah, “sembunyikanlah khitbah dan dan sebarkanlah walimah”
Benar sekali kata beliau, karena khitbah saja bukanlah jaminan kalau kami akan melanjutkan proses ini pada jenjang akad nikah. Karena itulah, saat ini aku harus bersabar dahulu. Setidaknya hingga sebulan atau beberapa pekan sebelum hari –H, kabar ini akan segera kuberitahukan pada teman-teman dan saudara.
***^^***
Dua pekan berselang dari hari ta’aruf itu dan keluargaku sudah mempersiapkan beberapa kebutuhan untuk hari akad nikah.
“Ra, ngapain senyam-senyum gitu? Hayo, lagi ngalamunin akad nikah besok ya?hehehe” kata Juwita menggodaku.
“bukan Wita, Zahra cuma bingung tu kira-kira besok suaminya...... upss... aduhh, sakit Ra” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, mba nisa dan juwita sudah kutimpuk kertas undangan.
“kalian ini, ngaco ah, daripada nyindir terus, ini bantuin milih undangan lah, mana yang bagus?” kataku manyun sambil menyodorkan beberapa contoh undangan yang kupegang.
“hmmm, udah cari gamisnya belum Ra? Mau warna apa?” tanya mba Nisa padaku sambil melihat-lihat undangan berwarna merah marun.
“memang kenapa mba Nis? Ummm, aku ingin gamisku nanti warna putih aja, lebih kalem dan tampak sederhana” kataku sambil tersenyum.
“ok, kalau gitu cari undangan yang warna putih tulang aja ya.”
“ini bagus Ra, putih tulang dengan motif bunga lily kesukaanmu” Juwita menyodorkan sebuah undangan padaku.
“wahh..iya, bagus. Subhanallah, kok bisa nemu yang pas begini ya?” kataku girang. “OK, kita pesan yang ini saja ya"
***^^***
Selesai memesan undangan, kami bergegas pergi ke toko busana muslim langgananku. Di sana tersedia perlengkapan pernikahan lengkap, dan kebetulan dulu aku pernah melihat gamis berwarna putih berrenda dan berhias bunga-bunga merah muda. Cantik sekali. Dan aku ingin gamis itulah yang kupakai nanti di hari pernikahanku.
“wahh, cantik Ra, kamu cocok pakai gamis itu” kata Juwita memandangiku yang sedang mencoba gamis itu.
“yang bener? “ tanyaku malu-malu sambil melihat diriku di cermin.
“Akh Irfan pasti bahagia Ra, punya istri secantik dan seshalihah kamu” kata mba Nisa sambil menyodorkan jilbab berwarna putih dan hiasan bunganya. “ini dicoba juga ya”
***^^***
Selesai membeli gamis dan jilbab akhirnya kami bertiga pulang. di sepanjang jalan, kami membicarakan banyak hal. Tentang masa depan kami setelah lulus kuliah dari unnes nanti. tentang mereka yang juga ingin segera menikah sepertiku.
Tiba-tiba ponselku berderit. Ada sebuah panggilan masuk. Ternyata Akh irfan yang menelepon.
“Assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam, ini dengan ukhti zahra?”
“iya akhi, betul ini dengan Zahra, ada masalah apa? Tumben telepon?”
“afwan sebelumnya, ada masalah penting yang ingin ana katakan, terkait rencana pernikahan kita”
“ya, ada apa akhi?” kataku heran, tak terasa tanganku berkeringat dingin.
“afwan jiddan, ana terpaksa memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ini, ana ingin membatalkan khitbah, bukan karena apa-apa, hanya saja ana ternyata harus pergi keluar negeri untuk segera melakukan riset.....”
Waktu terasa berhenti. Bungkusan gamis dan jilbab yang kugenggam jatuh dari tanganku. Aku tak bisa mendengarkan lagi apapun yang lelaki itu sampaikan. mba Nisa dan Juwita memandangiku khawatir.
“....halo ukhti? Afwan.. kalau telepon ana mengejutkan anti, sebenarnya dari awal ana agak ragu saat proses ta’aruf itu, tapi ternyata memang harus seperti ini. Afwan, besok ana dan keluarga akan datang ke rumah anti memberikan penjelasan....”
Belum sempat ia selesaikan kalimatnya, ponsel kumatikan. Aku menghambur memeluk Juwita dan mba Nisa. Tak terasa, bulir-bulir bening mengalir dari pelupuk mataku.
Sore yang mulai beranjak petang, kabut mulai turun menyelimuti dahan-dahan pohon, membuat udara terasa dingin. Kurapatkan jaket yang membalut tubuhku sembari mendekap erat sebuah buku bersampul merah marun. Jalanan mulai sepi, sesekali terlihat beberapa anak menaiki sepeda. Mungkin mereka akan pulang setelah seharian asik bermain di area kebun teh ini. Musim liburan selalu membuat tempat ini ramai dikunjungi ternyata. Tapi tidak denganku, kedatanganku ke sebuah kota yang terkenal dengan kebun tehnya ini adalah untuk sedikit mencari ketengangan setelah mengalami masa-masa sulit beberapa waktu lalu.
Kuedarkan pandangan, sejauh mata memandang yang ada hanyalah warna hijau yang perlahan tertutup kabut. Tiba-tiba mataku tertuju pada dua sosok lelaki dan perempuan tak jauh dariku. Sang lelaki tengah memegangi sebuah kamera di tangan sembari menyodorkannya pada perempuan berjilbab coklat lebar. Sesekali mereka tertawa bersama, lalu lelaki itu menggandeng tangan si perempuan dan berjalan menyusuri jalan yang sama denganku.
Melihat adegan barusan, membuat hatiku sedikit perih. Rasanya ada yang sakit dan entah aku tak tahu bagaimana menghilangkan desiran lembut itu.
"Ya Allah... kapan aku bisa mempunyai pasangan hidup seperti itu?" gumamku dalam hati..
Segera kupercepat langkah kakiku mendahului pasangan itu, aku tak ingin melihat kemesraan mereka lebih banyak. Aku tak mau kepercayaan diri yang baru saja kubangun tiba-tiba runtuh lagi hanya karena hal sepele seperti ini.
***^^***
Di sebuah ruang keluarga tengah berkumpul kakek,nenek,dan bundaku. Mereka terlihat tengah asik bercerita. Setelah hampir setahun tak bertemu akhirnya kami bisa berkumpul bersama.
“Assalamu’alaikum” suaraku membuat mereka semua menoleh padaku.
“wa’alaikumussalam, dari mana saja sayang? Kok sampai sore banget begini?” kata bunda sambil menuangkan teh hangat yang masih mengepulkan asap ke dalam sebuah cangkir.
“ini bunda bikin teh hangat,sama kue talam kesukaanmu”
Kuterima secangkir teh dan sebuah kue talam yang diulurkan oleh bunda.
“makasih bund, tadi zahra dari kebun teh, dan malah ketemu teman jadi ngobrol lumayan lama tadi” kataku sambil tersenyum.
“itu makannya dihabiskan dulu nduk, terus mandi ya, itu nenek sudah siapkan air hangat” kata nenek dengan senyumnya yang khas.
Walaupun sudah berusia lebih dari setengah abad, nenek masih terlihat cantik. Begitu juga dengan kakek masih terlihat begitu segar. Mereka berdua di usianya yang sudah tak muda lagi ini ternyata masih menyimpan kemesraan yang bisa kami lihat. Tak jarang kakek menggoda nenek dengan rayuan seperti saat mereka masih muda. Dan kami yang melihat biasanya hanya bisa tersenyum melihat wajah nenek yang merona malu. Aku selalu iri melihat mereka, dan suatu saat nanti aku juga ingin punya pernikahan yang begitu hangat seperti mereka.
***^^***
“Sayang, bunda perhatikan kamu akhir-akhir ini sering murung, ada apa? Masih teringat masalah dulu itu ya?” tanya bunda pelan-pelan sambil menyisiri rambutku.
“umm,ndak kok bund. Ndak ada apa-apa. Zahra baru banyak pikiran aja, bunda ndak usah khawatir ya” kataku sambil memaksakan wajahku untuk tersenyum.
“Sudah lah nak, lupakan yang sudah berlalu ya, ndak baik kesedihan diingat-ingat terus. Itu,coba lihat di cermin” kata bunda sambil menunjuk sebuah cermin besar di hadapan kami. “putri bunda ini cantik sekali, mirip sama ayah yang tampan” kata bunda sambil tersenyum.
“ihhh,zahra kan mirip bunda,kok dari dulu bilang mirip ayah sih” kataku pura-pura manyun.
“iya-iya, cantik mirip bunda. Dan bunda yakin, lelaki yang punya istri secantik dan seshalihah putri bunda ini pasti akan sangat beruntung dan bahagia.ya kan sayang?”
Mendengar kata-kata bunda membuat mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba aku ingin sekali menangis.
“oiya Sayang,” kata bunda dengan suara berubah lebih serius. “ ayah kemarin bilang sama bunda, kalau ada teman ayah yang ingin memperkenalkan putranya denganmu, tapi ayah belum menjawab, semuanya ayah dan bunda serahkan pada keputusanmu Sayang”
Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata, bunda sudah melanjutkan kalimatnya. “udah,ndak perlu di jawab sekarang, lebih baik sekarang kamu tidur dulu ya, besok setibanya di rumah kita diskusikan lagi dengan ayah dan kakakmu”
Bunda meninggalkanku sendiri di kamar. Segera kubaringkan tubuhku di atas kasur, terdengar suara dipan kayu berderit.
Kutatap langit-langit kamarku. Malam ini hatiku menjadi kian gundah, ditambah dengan apa yang Bunda ucapkan tadi membuatku bingung harus memutuskan apa.
Kuambil buku bersampul merah marun dari atas meja rias. Kubuka halaman demi halaman, kubaca ulang tentang perasaanku beberapa pekan ini. Sungguh, aku merasa malu dan bersalah. Kadang ada kecewa dan ada perasaan ingin marah. Tak pernah kuduga sebelumnya bahwa aku akan diperlakukan seperti ini oleh seorang ikhwan.
Dia yang datang dengan niat baik, tiba-tiba memutuskan untuk tak meneruskan khitbah menuju akad nikah. Aku masih sangat ingat kejadian itu tepat sebulan yang lalu, saat ia memberikan keputusan sepihak melalui sebuah telepon singkat. Aku sangat kecewa dan marah waktu itu, bisa-bisanya lelaki yang kata orang-orang shalih itu bisa melakukan hal seperti ini padaku.
Waktu itu kabar berlangsungnya khitbah sudah diketahui oleh saudara-saudara dekat, undangan sudah dipesan, persiapan sudah setengah jalan, tapi akhirnya harus dibatalkan. Betapa malu rasanya dan aku tahu ada yang jauh lebih kecewa daripada aku, yaitu ayah dan bunda. Pasti berat sekali menjadi mereka yang harus menjawab pertanyaan dari saudara-saudara tentang kabar ini. Mungkin mereka juga malu, tapi mereka tak pernah menunjukkan perasaan malu,kecewa, dan sedih itu di depanku. Karena tanpa mereka tunjukkan perasaan itu aku sudah cukup kecewa.
Tapi ada satu hal lagi yang jauh membuatku lebih malu daripada semua kekecewaan ini. Yaitu tentang perasaanku pada lelaki itu. Aku sudah terlanjur menaruh sebuah harapan padanya, sejak khitbah itu terlaksana. Aku memang tak bisa membohongi perasaanku sendiri, bahwa aku mulai tertarik padanya . Aku sudah membangun sebuah mimpi tentang pernikahan yang indah dengannya. Tapi ternyata mimpi itu tak akan pernah bisa jadi nyata. Aku malu pada perasaan ini, dan sekarang harapan itu berubah menjadi rasa tertolak. Dan sungguh itu sangat menyakitkan.
***^^***
Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian terhentinya proses ta’arufku dengan Akh Irfan, rasanya kini perasaanku sudah jauh lebih baik. Aku tak lagi merasakan perih dan trauma yang dulu sempat kutakutkan ternyata tak jadi kenyataan. Sudah saatnya menata hati dan semangatku lagi. Pekan depan wisuda sudah akan dilaksanakan, dan setelah itu aku akan resmi mendapatkan gelar sarjana Pendidikan.
***^^***
Hari ahad yang cerah ini kugunakan untuk pergi mengikuti kajian bersama Juwita dan mba Nisa. Beruntung sekali kami bertiga bisa lulus dalam waktu yang sama dan setelah ini entah aku tak tahu akan kemana langkah kaki ini menuju. Melanjutkan kuliah atau menikah rasanya adalah pilihan yang sama-sama membuatku antusias. Mungkin aku perlu waktu untuk rehat sejenak sembari memikirkan pilihan-pilihan yang bisa kuambil.
“Zahraaa...” suara Juwita terdengar dari arah pintu gerbang masjid. Kulihat dua orang gadis berjilbab berjalan pelan mendekatiku.
“maaf ya telat, kami tadi baru aja lihat-lihat stand buku di luar gerbang masjid. Ternyata bagus-bagus Ra” kata Nisa bersemangat.
“iya deh, nanti habis dari kajian mampir sebentar, yuk masuk dulu, kayaknya udah mau mulai” segera kami masuk ke ruang utama masjid mengikuti kajian pranikah yang baru pertama kali kuikuti.
Kuperhatikan wajah Juwita selama kajian, ia tampak murung sejak aku melihatnya tadi pagi. Entah kenapa, ada yang aneh dengannya karena bukan kebiasaannya berwajah murung seperti itu.
“Wit, kamu kenapa? Kok murung dari tadi? Ada masalah? Mau cerita?”
“ihh, kamu nanya apa wawancara sih Ra?” kata Wita manyun, aku dan mba Nisa tersenyum mendengar jawaban Wita itu.
“umm, sebenarnya aku udah pengen cerita sejak kemarin Ra, tapi aku ragu..umm,afwan ya Ra” katanya sambil menatap halaman masjid yang dipenuhi daun-daun kering yang jatuh terbawa angin.
“cerita apa sih Wit? Kamu bikin aku penasaran? sini cerita aja ndak apa-apa” kataku sambil menyentuh pundaknya.
“Iya Wit, ceritalah, kayak sama siapa aja pake ragu segala” mba Nisa menambahi.
“beberapa hari yang lalu, Abangku cerita kalau pekan kemarin Abang datang ke akad nikah akhwat temannya di kampus, dan ternyata di sana Abang bertemu dengan... Akh Irfan”
“ohh, terus kenapa dengan Akh Irfan Rin?” aku bingung dengan cerita Wita.
“eh bukannya Akh irfan ada riset di Australia ya? ini kan baru dua bulan? Apa risetnya udah kelar?” kata mba Nisa sambil memainkan ujung jilbabnya, ia tampak sedang berpikir. Mendengar kalimat Nisa tak urung membuatku juga ikut berpikir, seingatku dulu Akh Irfan bilang kalau riset itu dilakukan hampir 6 bulan lamanya.
“Maka dari itu, Abangku juga bingung kenapa Akh Irfan ada di sini Nis”
“Jadi Akh Irfan itu juga mengenal teman Abangmu yang menikah ya Wit?” kali ini aku penasaran sekali apakah hanya karena mendatangi walimahan teman ia sampai meninggalkan risetnya yang penting itu.
“umm, bukan hanya kenal Ra.. tapi, Akh Irfan adalah mempelai lelakinya...” kata Wita hati-hati sembari menatap wajahku.
“masyaAllah..beneran Rin?” tanya mba Nisa tak percaya.
Wita hanya menganggukkan kepala. Sedangkan aku hanya bisa terdiam mendengar cerita Rina itu.
“Ra, kamu ndak apa-apa kan?” tanya Wita khawatir.
“Subhanallah, kita memang ndak pernah tahu apa skenario Allah ya, mungkin ini memang yang terbaik buat kami Wit, aku ndak apa-apa kok, tenang aja”
“kemarin Abang juga kaget Ra, tiga hari usai walimahan itu Abang sempat menabayunkan pada Akh Irfan apakah pembatalan khitbah denganmu itu ada hubungannya dengan akhwat teman Abangku. Dan ternyata beliau mengiyakan, jadi sebelum ta’aruf denganmu, sebenarnya Akh irfan sudah tertarik pada akhwat lain, tapi sudah lama mereka tak bertemu dan mereka baru bertemu justru di saat khitbah denganmu sudah terlaksana, karena itulah Akh Irfan menjadi ragu dan memutuskan untuk tidak melanjutkan proses itu. Awalnya Abangku ingin sekali marah, tapi Abang lebih memilih untuk diam”
“Subhanallah....” kataku parau, suaraku rasanya tercekat di tenggorokan. Ada bulir bening yang menyeruak dari kelopak mataku.
“Ra..sabar ya, mungkin sudah begini jalannya, dan aku tahu Allah pasti akan mengganti dengan yang lebih baik” Wita menggenggam jemariku erat, mba Nisa ikut merangkul pundakku.
“iya, aku ndak apa-apa kok, kalian tenang aja, justru aku sangat bersyukur, Allah sayang sekali padaku sehingga Allah menjagaku dengan cara seperti ini. Allah menjagaku dari perasaan khawatir kalau nanti beliau tak bisa mencintaiku dengan tulus karena sudah ada akhwat lain di hati beliau. Kalau lah pernikahan kami waktu itu terlaksana, belum tentu aku akan merasa bahagia, dan belum tentu beliau bisa tulus menerimaku sebagai istrinya. Dan akan lebih baik begini, beliau sudah mendapatkan akhwat yang tepat untuk jadi pendamping hidupnya.” Aku berusaha tegar, tapi bulir bening itu tetap saja mengalir membasahi jilbabku.
“tapi dia itu ikhwan Ra, tega sekali memperlakukan akhwat seperti ini, kalau memang tak yakin kenapa harus tetap ta’aruf dan setelah itu dia juga yang membatalkannya” suara mba Nisa mulai meninggi.
“sudah lah Nis, sabar, aku ndak apa-apa kok.. Di mataku,beliau tetaplah seorang ikhwan yang baik. Dan mungkin begini jauh lebih baik untuk kami”
***^^***
“astaghfirullah, Ya Rabbi... perih nian rasanya, tak bisakah Kau bawa pergi rasa sakit ini?” gumamku dalam hati sambil memeluk erat kedua sahabatku itu lalu terisak pelan.
Pagi yang hangat, sinar matahari menyapa lembut dari balik jendela. Kubuka jendela kamar lebar-lebar, mempersilahkan udara masuk. Hangatnya sinar matahari menerpa wajahku yang terbalut kerudung merah marun, warna kesukaanku. Kuambil sebuah kartu yang tergeletak di meja belajar, kubaca ulang tulisan yang tertera di sana.
“Barakallah ya Ukhti, semoga dimudahkan segala urusannya, dan semoga ilmunya lebih barokah usai mendapatkan gelar sarjana ini” –Sunflower-
Kubolak-balik lagi kartu itu, kucari nama pengirimnya tapi tetap tak bisa kutemukan. Hanya tulisan “sunflower” di sudut kertas. Kuperhatikan rangkaian bunga matahari yang sudah kutaruh di sebuah vas,
"hmm, siapa ya yang iseng mengirimkan bunga dan kartu ini?” aku bergumam sendiri. Kemarin usai pulang dari acara wisuda aku menemukan bunga dan kartu itu tergeletak di meja taman depan rumah. Sampai saat ini aku masih tak tahu siapakah pengirim bunga itu.
Jam dinding menunjukkan pukul 6.45. Sudah saatnya aku berangkat ke tempatku mengajar. Kini aku punya kesibukan baru, dua bulan sebelum wisuda aku sudah mengajukan lamaran mengajar di sebuah SDIT, dan akhirnya aku diterima. Ini adalah hari pertamaku mengajar, jadi aku ingin mempersiapkan segalanya agar bisa mengajar dengan baik.
***^^***
Hampir dua pekan berlalu, aku sudah mulai menikmati profesiku sebagai seorang guru, di SD IT itu aku dipanggil Ustadzah, selain mengajar bahasa indonesia dan mengaji, aku juga diberi amanah untuk memberikan konseling karena itulah aku sangat dekat dengan anak-anak.
Pernah suatu ketika ada seorang anak yang bercerita padaku kalau ia suka dengan temannya.
Kalau Ustadzah, dulu pernah suka ndak sama seorang Ustadz?” kata gadis berkerudung oranye di depanku dengan polos. Aku tersenyum mendengar pertanyaan gadis kelas 3 itu.
“umm, pernah ndak ya? mungkin pernah, memang kenapa Sayang?”
“Ustadzah bilang kalau suka sama orang itu?”
“umm....” aku mengerutkan kening mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Ustadzah lupa..hehehe” kataku kemudian tertawa.
“iihh, Ustadzah kok lupa sih? Besok kalau sudah ingat kasih tau Dinda ya?” kata gadis itu sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya tampak lebih cantik.
“Ok. InsyaAllah ya Dinda” Gadis yang kupanggil Dinda itu kemudian pergi meninggalkanku sendirian di kelas. Aku mulai membereskan buku di meja dan beranjak kembali ke ruang guru.
***^^***
Baru saja aku akan meletakkan buku-buku, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah bingkisan kecil di atas mejaku.
“Ukhti Zahra, ini untuk berbuka puasa nanti sore” –Sunflower-
Lagi-lagi, ada kiriman misterius untukku. Entah sudah kali keberapa aku mendapatkan bingkisan seperti ini, pekan lalu aku sudah mendapatkan sebuah buku. Kubuka bingkisan itu, ada sekotak kurma dan sebatang cokelat putih, dua makanan yang sangat kusukai . Terlebih ketika berbuka puasa dua makanan itu tak pernah ketinggalan. “hffh...sebenarnya kau siapa?”
Waktu aku bercerita pada Juwita dan mba Nisa, mereka hanya tertawa. Mereka bilang mungkin itu dari siswaku, tapi sungguh aneh karena tulisan di kartu itu bukan tulisan anak kecil dan benda-benda itu merupakan benda kesukaanku, bagaimana bisa siswa-siswaku tahu.
“secret admirer kali Ra,hehehe” kata Wita menggodaku waktu itu.
“ya Allah, aku ingin suami bukan sekotak kurma, atau coklat ini...” kataku siang itu sambil memandangi bunga matahari yang tumbuh subur di halaman sekolah.
***^^***
“Sayang, nanti sore siap-siap ya” kata Bunda ketika melihatku masuk ke dalam rumah sepulang dari mengajar.
“ehh,siap-siap apa Bund?”
“lho, Zahra lupa? Kan nanti teman Ayah mau datang ke rumah”
“oiya, nanti Zahra bantu Bunda nyiapin masakan deh”
“ndak perlu Sayang, yang perlu kamu lakukan adalah dandan yang rapi, Oke?” kata Bunda sambil tersenyum.
“ihh, Bunda kenapa sih? Hayo, ada apa sih Bund? Kok kayaknya ada yang aneh, ndak biasanya Bunda minta Zahra dandan”
Bunda hanya tersenyum melihatku yang kebingungan.
***^^***
Akhirnya sore itu aku membantu Bunda memasak. Kali ini kami tak hanya berdua, beruntung Juwita dan mba Nisa sedang luang jadi mereka bisa membantu.
***^^***
Malam ini tampak cerah, bulan tampak tersenyum di balik awan putih yang sesekali menghampiri. Bintang-bintang berkerlap-kerlip. Suasana malam yang begitu indah. Rina dan Nisa sedang dikamar membantuku memilih baju yang akan kupakai.
“ehh Ra, ini gamis yang akan kamu pakai dulu itu kan?” kata mba Nisa sambil mengambil sebuah gamis putih berenda dari dalam lemari bajuku.
“iya Nis, baju itu belum pernah kupakai”
“ohh...jadi pengen segera melihatmu pakai gamis ini Ra” Nisa memandangi gamisku lalu tertawa kecil.
“doakan aja ya, aku juga ingin segera mengenakan gamis itu ketika walimatul ursy nanti” kataku sambil memakai jilbab berwarna krem. Wita dan Nisa saling berpandangan kemudian tertawa melihatku.
“ehh, kalian kenapa sih? Kayak Bunda deh, jadi aneh begitu” aku heran melihat tingkah mereka berdua.
***^^***
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 19.35. Terdengar suara deru mobil dari arah luar. Aku segera bergegas menemui Bunda. “itu tamunya Bund?”
“iya Ra, kamu siap-siap ambil makanan ya nanti, Ayah sama Bunda ke depan menyambut tamu dulu”
Aku segera ke dapur bersama mba Nisa dan Wita menyiapkan minuman dan menata hidangan. Dari arah ruang tamu terdengar obrolan hangat. Kali ini tamu Ayah ada 2 mobil, padahal biasanya tak seramai itu.
“Zahraa, ke sini Nak” kata Bunda dari ruang tamu. Aku segera keluar membawa baki berisi minuman ditemani Nisa dan Wita yang membawa baki berisi makanan.
“Subhanallah...ini Zahra, cantik sekali kamu ndu sekarang” suara seorang wanita yang cukup familiar membuatku mendongak menatap wajahnya.
“ehh, Ummi Nur apa kabar Ummi?” aku menyalami wanita seusia Bunda itu, kemudian wanita itu memelukku erat. Aku tak mengira bahwa yang datang bertamu adalah keluarga Pak Hanafi, aku biasa memanggilnya dengan sebutan Abah. Abah adalah teman dekat Ayah yang dulu yang jd tinggal di Cilacap, tapi karena pindah tempat kerja, membuat Abah membawa semua keluarganya pindah rumah ke Bandung.
Aku segera duduk di sebelah Bunda. Aku tak tahu bahwa dari tadi ada sepasang mata yang memperhatikanku. Obrolan hangat pun mulai mengalir, di saat tamu mulai menikmati hidangan, aku baru berani memperhatikan tamu satu per satu. Tiba-tiba mataku bertemu dengan sepasang mata tajam milik seorang lelaki.
“Astaghfirullah...” aku lalu menunduk, tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat, tanganku mulai berkeringat dingin. Wita dan Nisa tersenyum memperhatikanku yang salah tingkah.
***^^***
“hmm, jadi begini Pak Andi, kedatangan kami sekeluarga ke sini sebenarnya bukan hanya sekedar bersilaturrahim, setelah 5 tahun lamanya ndak bertemu, tapi kami juga punya urusan lain” kata Abah kemudian melirik lelaki di sampingnya. “saya datang secara langsung untuk melamar putri Pak Andi untuk anak lelaki saya, Erit"
“Subhanallah, baiklah Pak Hanafi, tapi saya belum bisa menjawab sebelum putri saya memberikan jawaban. Gimana Nak? Jawaban lamaran itu Ayah serahkan sepenuhnya padamu” kata Ayah sambil memegangi tanganku. Aku hanya bisa diam, aku semakin menunduk tak berani mengangkat wajahku dan degup jantungku semakin cepat.
“biasanya ini ya, diamnya perempuan itu artinya mengiyakan,ya kan Nak Zahra?” semua yang ada di ruang tamu tertawa mendengar kata-kata Abah. Entah aku tak tahu mungkin wajahku saat ini sudah semerah buah tomat.
Beberapa menit diam, akhirnya aku menganggukkan kepala.
“Alhamdulillah...” terdengar hamdallah dari semua tamu di ruang itu.
“Bagaimana kalau ndak usah lama-lama Pak Andi, sekarang saja akad nikahnya jadi pekan depan tinggal meyiapkan walimatul ursy nya saja? Gimana Rit, kamu siap“ Kalimat Abah membuatku melongo. Lelaki di sebelah Abah mengangguk mantap.
“Gimana Nak? Siap?” Ayah gantian bertanya padaku. Dan lagi-lagi, aku mengangguk.
***^^***
Akhirnya, malam itu juga akad nikah terlaksana dan Ayah sendirilah yang menikahkanku. Tak henti-hentinya kalimat syukur kuucapkan. Ternyata, Allah menjawab doaku dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Jam dinding ruang tamu sudah menunjukkan pukul 21.15. Abah sekeluarga dan para tamu sudah pamit pulang, Nisa dan Juwita juga berpamitan, sebelum pulang mereka memelukku satu persatu.
“Barakallah ya Ra, kami ikut bahagia” kata Wita sembari mengusap sudut matanya.
"Oiya, ingat besok pas walimatul ursy gamis putihnya dipakai ya” kata Nisa menggodaku.
***^^***
Halaman rumah sudah sepi, tak ada lagi mobil yang terparkir. Ayah dan Bunda sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah, tinggal aku dan seorang lelaki di sampingku. Aku bingung harus berkata apa pada lelaki yang dari tadi memandangiku itu, aku terus menundukkan kepala, belum usai kekagetanku dan degup jantungku belum juga normal.
“Assalamu’alaikum istriku...” kata lelaki itu sambil mendekat ke arahku. Walaupun sudah lama tak bertemu, aku masih ingat dengan jelas detail wajah lelaki itu. Ia tak banyak berubah, hanya saja kini ia tampak sangat gagah dengan postur tubuhnya yang ideal dan jenggot tipis di dagunya.
“umm, wa’alaikmussalam..” kataku kikuk dipanggil begitu.
“heii, ndak usah grogi begitu dong ndu, padahal dulu kamu kan bukan anak pemalu, kamu kan yang dulu lebih suka usil padaku? udah gitu cerewet banget lagi” aku menatap lelaki itu, ada sorot jenaka di wajahnya, sama seperti 5 tahun yang lalu saat kami masih sama2 kuliah di unnes.
“sini, duduk” ia mengajakku duduk di kursi kayu depan rumah. Aku masih diam tak berani memandang wajahnya.
“Ndu, kamu marah ya sama Aa?”
“Kenapa harus marah sama Aa?”
“karena dulu Aa pindah rumah ke Bandung"
“umm, ndak juga”
"Ndu, kamu pernah ndak kangen sama Aa?” Pertanyaan lelaki itu membuat wajahku merona merah. Aku diam lagi.
“hmm, diam berarti iya” katanya menggoda.
“ihh, siapa bilang. Aa Erit GR deh” kataku manyun.
“ehh, dulu siapa yang bilang ke tatang ingin dinikahkan denganku coba?” senyum lelaki itu makin lebar dan wajahku semakin memerah.
“jadi ka Tatang cerita sama Aa ya?” lelaki itu malah tertawa. Aku tak mengira bahwa kata-kataku dulu ternyata ka tatang ceritakan pada Aa Erit.
“tenang, tatang baru cerita tadi habis akad nikah, hehehe, Abah sama Ummi juga sudah tahu kok”
“ahhh, Ka tatang jahaatt...” aku tambah manyun.
“Ndu, Aa tuh kangen banget sama kamu...tau ndak, sejak kepindahanku waktu itu aku sering merengek pada Abah minta pulang ke Cilacap, tapi karena Abah terlalu sibuk jadi kami belum sempat kemari. Maaf ya..”
“ihh, kirain Aa udah lupa sama Zahra terus nyari akhwat lain di Bandung” kali ini ada sedikit perasaan sebal di hatiku. “umm, selama 5 tahun ini, apa Aa belum merencanakan pernikahan dengan gadis lain..?”
“asal kamu tahu ya ndu, selama aku nyantri di pondok aku sempat mau dinikahkan dengan anak Pak Kyai, makanya aku segera lanjut S2 ke Jerman dan pulang melamarmu”
Aku tertawa mendengar cerita lelaki yang kini sudah menjadi suamiku itu. “Zahra juga iya a, Zahra sempat akan menikah dengan lelaki lain, tapi batal, dan Ayah juga sempat akan memperkenalkan Zahra dengan putra teman Ayah, tapi akhirnya ndak jadi”
Aa Erit terdiam cukup lama, sambil memandangi bunga yang tumbuh di halaman. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Ndu, sejujurnya.. aku menyukaimu sejak kita masih kuliah dulu, tapi kurasa itu adalah cinta bias, tapi beruntung sekali sekarang kau sudah menjadi istriku. Umm, kau juga suka padaku kan ndu?”
Aku diam lalu menggeleng pelan. “apa ndu? jadi kamu...”
“iya, Zahra..ndak cuma suka, tapi sekarang juga cinta sama Aa” kataku sambil menunduk.
Aa Erit tertawa kecil. “Ndu, sekarang kita sudah menikah, jadi boleh kan aku menyentuhmu?” dia mendekatkan wajahnya padaku. Degup jantungku semakin memburu. Wajahnya dan wajahku hanya berjarak 5 centi, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah bunga matahari tepat di depan wajahku.
“ihhh, Aa nakal” kucubit lengannya gemas, dia tertawa, puas menjahiliku.
“jadi, selama ini Aa yang iseng mengirimkan bunga dan bingkisan itu?”
“hehehe...iya, itu kulakukan sekalian untuk memastikan bahwa Akhwat jawaku ini belum bersuami, hehehe”
“Dasar nakal”
“tapi kau suka kan?” katanya menggoda lagi. “dan sampai saat ini kau tetap menjadi bunga matahari yang selalu bersinar di hatiku, semakin lama semakin terang.” Ia mulai menggombal dan membuat wajahku sudah seperti buah tomat. “ehh lihat ndu, itu bulannya mengintip kita malu” kata Aa Erit sambil menunjuk bulan sabit di langit. Lalu tiba-tiba sebuah ciuman sudah mendarat di pipiku.
“Aa.......”
Wajahku semakin merona kemerahan. Malam itu lengkap sudah kebahagiaanku. Bulan dan bintang-bintang mulai beranjak ke peraduan, seperti kami yang mulai merajut mimpi berdua.
***^^***
“jadi gimana Ustadzah?” Dinda menemuiku di taman halaman sekolah.
“umm, jadi...dulu Ustadzah pernah suka sama seorang ikhwan, dan ikhwan itu adalah senior Ustadzah sendiri, dia 3 tahun lebih dewasa dari Ustadzah.. Tapi dulu Ustadzah ndak bilang sama ikhwan itu kalau Ustadzah suka”
“yaaahh,” Dinda tampak kecewa. “tapi orang itu tau ndak kalau Ustadzah suka?”
“umm, iya.. ikhwan itu tau kok kalau Ustadzah suka”
“kapan Ustadzah bilangnya?”
“tadi malam..” kataku sambil tersenyum.
“siapa orangnya Ustadzah? Dinda pengen tahu”
“itu dia orangnya..” kataku sambil menunjuk seorang lelaki tampan yang sedang bermain bola di halaman dengan anak-anak.
“yang itu? Itu kan suami Ustadzah..”
“memang iya, itu suami Ustadzah..dan itulah orang yang dulu Ustadzah sukai pertama kali...”
*the end*
by Pengukir Senja (http://www.facebook.com/Ndu.Ardhiya)
1 comments:
Karya ini disadur dari blog Ukhti-Shalihah yang dapat antum buka dengan alamat http://ukhti-shalihah.com/pemilik-tulang-rusuk-itu-1/.
Terima kasih.
Post a Comment