Saturday, July 2, 2011

“Seni Basah” Melalui Rekayasa Genetika

Semua orang yang percaya Tuhan, percaya bahwa dirinya beserta dunia, alam ini dan segala isinya, merupakan ciptaan Tuhan. Yang terpenting dari hal ini adalah manusia tidak boleh lupa bahwa Tuhan menciptakan berbagai makhluk itu bukanlah untuk sesuatu yang sia-sia, sehingga manusia wajib bersyukur atas semua nikmat Tuhan yang diperolehnya. Di antara wujud syukur yang bisa dilakukannya adalah dengan mempelajari ciptaan-Nya.
Tuhan telah menciptakan setiap makhluk hidup memliki gen sebagai unit pewarisan sifat pada makhluk hidup. Bentuk fisiknya berupa urutan DNA yang menyandi suatu protein, polipeptida, atau seuntai RNA yang memiliki berbagai fungsi bagi organisme yang memilikinya. Gen diwariskan oleh satu individu kepada keturunannya melalui suatu proses reproduksi, bersama-sama dengan DNA yang membawanya. Melalui proses inilah informasi yang menjaga keutuhan bentuk dan fungsi kehidupan suatu organisme dapat terjaga.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul isu yang penuh pertentangan mengenai rekayasa gen atau rekayasa genetika, yakni manipulasi materi genetik pada makhluk hidup untuk kepentingan manusia. Rekayasa genetika ini menggunakan teknik yang dikenal sebagai teknik DNA rekombinan. Setiap organisme yang dihasilkan menggunakan teknik ini dianggap sebagai organisme rekayasa genetika. Rekayasa genetika ini sudah banyak dilakukan pada berbagai objek, mulai dari makhluk mikroskopis seperti bakteri  hingga hewan dan tumbuhan tingkat tinggi.
Alasan utama dilakukannya rekayasa genetika tentunya adalah untuk memperoleh organisme yang lebih baik, yang sesuai dengan harapan yang diinginkan. Pada tanaman, rekayasa genetika termasuk sangat umum dilakukan. Bisa dikatakan bahwa tidak ada tanaman yang tidak memiliki senyawa yang berkhasiat baik secara farmakologi. Umumnya senyawa dari tanaman yang memiliki khasiat penyembuhan itu berupa metabolit sekunder, yakni senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya. Dengan memodifikasi segmen DNA tertentu yang dimiliki tanaman, metabolit sekunder tertentu dapat ditingkatkan produksinya hingga ratusan kali lipat. Cara memodifikasi DNA ini dikenal pula sebagai mutasi.  Selain mutasi, peningkatan metabolit sekunder juga bisa dilakukan dengan mengintegrasikan fragmen DNA spesifik ke dalam sel tanaman, yang membuat tanaman tersebut mampu mengekspresikan gen yang baru dimasukkan itu menjadi zat yang sebelumnya tidak dihasilkan oleh tanaman tersebut. Teknik-teknik demikian telah dilakukan oleh banyak orang di berbagai negara dan memang telah memberikan manfaat nyata bagi manusia, yakni dengan menghasilkan tanaman-tanaman transgenik yang menghasilkan zat-zat tertentu yang diinginkan.
Jika telah membaca paragraf di atas, maka mungkin pertanyaan berikut ini timbul di benak pembaca : jika hal demikian bisa dilakukan pada tanaman, hal tersebut semestinya bisa pula dilakukan pada hewan dan manusia, bukan? Mungkin juga timbul pertanyaan berikut : mungkinkah kita melakukan manipulasi gen kepada lebih dari lebih dari satu spesies lagi memodifikasi makhluk-makhluk itu sehingga menjadi spesies baru yang belum pernah ada sebelumnya? Jawaban untuk pertanyaan kedua tersebut adalah, ya, hal itu dimungkinkan oleh teori-teori yang telah ditemukan dan memang sudah berhasil dilakukan.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi sekarang, bentuk rekayasa genetika ini memang semakin berkembang dan telah menghasilkan makhluk-makhuk transgenik yang sebelumnya tidak terpikirkan mungkin diciptakan. Bahkan pemanfaatan dan pihak yang melakukannya juga meluas, tidak hanya dari seputar bidang biologi atau farmasi saja. Di luar negeri, beberapa seniman menerapkan teknik ini untuk menghasilkan karya “seni basah” berupa makhluk transgenik. Di London, seniman Afrika Selatan Laura Cinti pernah memamerkan kaktus transgenik yang mengandung materi genetik manusia dan membuatnya bisa menumbuhkan rambut manusia. Mengenai arti filosofis dari kaktus yang dibuatnya Cinti berkata, “Kaktus dengan rambutnya yang mencuat menunjukkan semua hasrat, semua tanda seksualitas. Ia tidak ingin terperangkap. Ia ingin dibebaskan.”
Inilah foto dari kaktus berambut manusia itu :
null
Lantas bagaimana sebenarnya makhluk hidup demikian (transgenik) bisa dihasilkan? Untuk kaktus berambut yang dibuat oleh Cinti, proses pembuatannya bisa dijelaskan sebagai berikut.
Proses pemasukan (insersi) DNA ke dalam sel kaktus disebut dengan proses transformasi dan jika proses ini berhasil akan diikuti dengan regenerasi (tumbuhnya tanaman kaktus baru dari sel kaktus) yang berhasil. Metode yang paling banyak digunakan untuk mentransfer gen ke dalam tanaman adalah transformasi yang diperantarai oleh Agrobacterium tumifaciens.  Bakteri ini merupakan patogen untuk tanaman dikotil dan memiliki kemampuan untuk mentransfer DNA ke dalam genom tanaman, termasuk kaktus. Normalnya bakteri ini menginfeksi tanaman dan menyebabkan terbentuknya tumor. Selama proses infeksi, daerah DNA yang disebut T-DNA (transfer DNA) ditransfer ke dalam sel-sel kaktus di mana T-DNA itu akan terintegrasi ke dalam kromosom pada sel kaktus. Ilmuwan telah banyak memanfaatkan mekanisme transfer gen ini dan mendesain vektor (pembawa) DNA dari plasmid DNA yang menginduksi tumor (Ti-plasmid) yang ditemukan pada bakteri tersebut. Ti-plasmid ini yang berperan dalam mengantarkan gen ke sel tanaman. Transformasi dilakukan pada sejumlah kecil bagian tanaman kaktus yang disebut eksplan. Eksplan ini lalu diregenerasi menjadi tumbuhan dewasa dengan teknik kultur jaringan.
Proses kaktus menerima DNA asing merupakan suatu masalah tersendiri di mana sel kaktus, sebagaimana tanaman lainnya, memiliki dinding sel yang dari selulosa yang sulit ditembus melalui teknik mikroinjeksi. Mengingat fakta bahwa kaktus termasuk tumbuhan dikotil, DNA asing bisa dipindahkan ke dalam kaktus melalui plasmid bakteri Agrobacterium tumifaciens. Dengan keterlibatan enzim-enzim yang berfungsi untuk memotong dan menyambung untaian DNA (enzim restriksi dan ligase), urutan DNA tertentu bisa diangkut ke dalam tanaman kaktus. Sel kaktus dalam kultur jaringan adalah kandidat yang abik untuk rekayasa genetika serta untuk penyisipan produk gen keratin. Apa yang telah dilakukan Laura Cinti adalah menyisipkan gen keratin ke dalam tanaman kaktus yang akan diekspresi menjadi rambut manusia.
Demikianlah kurang lebih yang dilakukan di laboratorium untuk menghasilkan makhluk hidup transgenik. DNA (yang akan diskpresi menjadi sifat fenotip tertentu) diubah, atau diberikan dari organisme lain ke suatu organisme dengan bantuan enzim-enzim. Secara garis besar inilah konsepnya. Konsep yang secara teoritis bisa diterapkan kepada seluruh organisme.
Di samping kaktus berambut yang telah dibuat oleh Cinti, masih ada contoh-contoh lain penerapan rekayasa genetika di bidang seni. Seniman dari Chicago, Eduardo Kac, menciptakan kelinci transgenik bernama Alba yang memancarkan sinar hijau. Telur kelinci albino yang sudah dibuahi disuntik dengan GFP (Green Fluoroscent Protein) , gen untuk protein hijau fluoresen dari ubur-ubur Pacific Northwest. Hewan yang tumbuh dari telur itu pun dapat memancarkan cahaya. Akibatnya terjadi kehebohan. Kac sempat memberi pernyataan, “ (Kelinci itu) memang membuat orang merasa tidak nyaman,” tetapi GFP adalah sarana riset umum dan pernah disuntikkan ke dalam ragi, jamur, tanaman, lalat buah, tikus, dan embrio sapi. Gambar-gambar di bawah ini memperlihatkan foto Alba dan contoh lain karya seni dari organisme transgenik.

null
nullnull
1) kelinci fluoresens karya Eduardo Kac,
2) lukisan delapan warna dari koloni bakteri yang mengekspresikan protein fluoresens karya Nathan Shaner,
3) manipulasi pada larva caddisfly air yang terselubungi emas, mutiara, dan batu berharga karya Hubert Duprat,
4) GloFish, hewan piaraan transgenik pertama yang dikomersialkan (sejak tahun 2003), merupakan ikan zebra merah fluoresens. Rekayasa genetik pembentukian GloFish ditemukan oleh Dr. Zhiyuan Gong di Singapura, dan lisensinya diberikan kepada sebuah perusahaan di Austin, Texas.
Tidak semua kalangan bisa menerima penerapan rekayasa transgenik untuk dijadikan benda seni. Yang menjadi perdebatan adalah, apakah manusia pantas melakukan hal demikian tanpa batasan apapun? Rekayasa transgenik pada tanaman untuk meningkatkan metabolit sekunder memang bisa diterima dengan mudah dan memberikan manfaat yang nyata bagi manusia. Namun saat melibatkan komponen dari manusia, hal itu mulai terasa aneh, bukan? Jika dilakukan pada hewan, rekayasa transgenik bisa terasa lebih tidak masuk akal lagi, karena tingkat kekerabatan hewan lebih dekat kepada manusia daripada manusia dengan tanaman. Secara naluriah kita pasti akan merasa agak jijik atau takut jika menemukan hewan yang bisa berbicara selayaknya manusia berbicara, atau manusia yang sekujur tubuhnya memendarkan cahaya hijau setelah dilakukan rekayasa genetika. Hal inilah ketakutan paling ringan yang dicemaskan oleh para penentang rekayasa genetika pada manusia.
Rekayasa genetik pada hewan sebagai karya seni juga ada yang menentang, tetapi cukup terbatas pada kalangan penyayang hewan. Mereka mempertanyakan moralitas transgenik dan kultur jaringan. Menurut PETA (People of Ethical Treatment for Animals), manipulasi transgenik hewan hanyalah sebuah kontinum yang akan menggunakan hewan akhir manusia.
Menurut penulis sendiri, rekayasa genetika merupakan bidang ilmu penting untuk dipelajari karena bisa memberikan banyak manfaat bagi kepentingan manusia. Namun ada batasan-batasan yang sampai saat ini belum bisa ditetapkan secara tegas mengenai penerapan rekayasa genetika. Yang jelas rekayasa genetika pada manusia sebisa mungkin harus dihindari karena dapat dinilai mendustai fitrah asli manusia sebagai ciptaan Tuhan, selain bisa mengacaukan jalur kekerabatan di dalam spesies manusia.
Sedangkan untuk karya seni, penulis berpendapat sah-sah saja menggunakan hewan maupun tanaman untuk direkayasa secara genetik. Namun penulis juga mengharapkan seniman yang menerapkan rekayasa genetik pada karyanya mengikuti beberapa persyaratan. Yang pertama, bahan baku tambahan boleh saja diambil dari jaringan manusia, sepanjang produk akhir rekayasa genetik itu tidak memungkinkan orang yang melihatnya mengetahui bagian tubuh manusia yang dipakai itu berasal dari manusia yang mana (contohnya pada kaktus berambut manusia yang dibuat oleh Laura Cinti). Yang kedua, seniman harus memperlakukan organisme yang digunakannya sesuai dengan kode etik yang telah umum berlaku sebagaimana perlakuan yang perlu diberikan terhadap hewan percobaan untuk penelitian.
Sebagai penutup, penulis memberi kesimpulan bahwa penerapan rekayasa transgenik kepada hewan atau tumbuhan sebagai karya seni layak dan patut diapresiasi, sepanjang tidak melanggar batas-batas etika menyangkut penggunaan makhluk hidup. Seniman yang menerapkannya telah memberi bukti nyata bahwa ilmu hayat, teknologi, dan seni bukanlah hal yang tidak bisa disatukan. Mereka menunjukkan cara yang unik dalam mengapresiasi ciptaan Tuhan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan

Sumber: netsains.com

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More