Beberapa
hari lalu, aku kebetulan makan siang di sebuah restoran di kawasan
Depok II, Jawa Barat, yang menjual mie bakso unik (mie yang diolah
sendiri dengan campuran herbal, sehingga berwarna hijau, merah, dan
sebagainya, dan diklaim sangat menyehatkan).
Ketika sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba ada seorang laki-laki pengemis tua berdiri di ambang pintu sambil menadahkan tangan. Merasa proses makanku terganggu, aku pun merogoh dompet mencari uang receh dan menemukan selembar Rp 2.000-an.
Namun, ketika aku mau menyerahkan uang itu, seorang ibu muda (sekitar 35 tahun) berjilbab, yang makan mie dan duduk tak jauh dariku, lebih dulu bangkit. Di luar dugaanku, dia bukan cuma memberi recehan, tetapi malah menawarkan makanan pada pengemis itu. “Bapak mau mie bakso? Jangan khawatir, Pak, nanti biar saya yang bayar!” ujarnya ramah. Mungkin si ibu merasa iba pada pengemis itu.
Pengemis itu tampak sangat bersyukur. Matanya berbinar. Mie bakso pun disiapkan dan dibungkuskan untuk si pengemis, dan si pengemis tua itu lalu pergi setelah mengucapkan terimakasih. Si ibu pun kembali duduk dan meneruskan makannya, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, justru aku yang terhenyak. Aku merasa kalah mental.
Kalau dilihat dari tampilannya, secara status sosial ekonomi aku tidak kalah dari ibu itu, bahkan mungkin aku dalam posisi lebih. Aku datang ke restoran itu memakai mobil, meski ”cuma” sedan Baleno keluaran 2003 milik kantor. Sedangkan ibu itu tampaknya tidak punya mobil. Namun, dalam kasus penanganan terhadap pengemis tadi, dia bisa dan mau memberi lebih banyak, sedangkan aku hanya siap dengan pemberian ”paket standar buat pengemis,” yaitu uang receh terkecil yang bisa ditemukan di dompet!
Aku lalu membayangkan, bagaimana jika situasi ”kalah mental” ini diangkat ke skala pribadi yang lebih luas, atau bahkan ke skala anggaran nasional. Majalah Forbes belum lama mengeluarkan daftar nama 40 orang terkaya di Indonesia. Tidak ada yang salah dengan menjadi kaya raya. Namun, apakah sumbangsih para orang kaya Indonesia ini –termasuk para anggota DPR, yang tiap hari ngantor memakai Bentley, Hummer, Alphard, Lexus, dan mobil-mobil mewah senilai sampai Rp 7 milyar itu—sudah proporsional dengan kekayaan yang mereka miliki?
Demi gengsi dan status diri, kita tidak merasa sayang membeli mobil, yang hanya buat dipakai mengantor tiap hari, senilai Rp 7 milyar. Tetapi kita merasa sayang jika diminta menyumbang Rp 10 juta rupiah untuk yatim piatu, meski Rp 10 juta itu sebetulnya cuma satu per 700 dari harga mobil kita.
Kita lebih bangga membuat pesta perkawinan seharga milyaran rupiah untuk anak-anak kita, dengan menggusur pedagang kecil sekitar lokasi pesta, serta mengganggu kenyamanan orang-orang kecil di sekitar acara perhelatan. Itu lebih dipilih ketimbang mengadakan resepsi pernikahan yang relatif lebih sederhana, tetapi InsyaAllah memperoleh keberkahan, karena membagi rezeki dan kelebihan harta kita dengan warga miskin sekitar, dan mendapat ucapan doa syukur dari mereka.
Kita lebih suka mengalokasikan anggaran negara yang super besar untuk gedung megah, mobil dinas, rumah dinas pejabat, ”studi banding” ke luar negeri yang tak jelas hasilnya, ketimbang mengalokasikan anggaran untuk mengentaskan kemiskinan, menanggulangi anak-anak terlantar, kalangan yang menderita sakit dan tak punya asuransi kesehatan, dan warga kita yang hidup di bawah garis sederhana di pelosok-pelosok nusantara.
Jumlah mereka yang membujtuhkan dukungan kita ini ada puluhan juta, tetapi mereka cuma menjadi angka statistik yang tidak bisa bicara. Mereka hanya diperhitungkan ketika menjelang pemilu untuk menjadi obyek penggalangan suara dan bagi-bagi BLT (bantuan langsung tunai), yang toh BLT itu juga dikutip dari uang negara, tetapi untuk kepentingan penguasa.
Singkat kata, banyak dari kita sebetulnya menderita kondisi ”kalah mental” yang parah. Dampaknya bukan cuma pada diri pribadi, tetapi begitu melebar, mencakup kepentingan masyarakat, rakyat dan bangsa yang lebih luas. Tidak bisa tidak, kita harus merombak kondisi mental ini jika ingin bangsa Indonesia ini maju, memiliki martabat kemanusiaan, dan posisi terhormat di antara bangsa-bangsa lain.
Kondisi kita sekarang sudah di titik nadir. Tetapi masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Tidak pernah ada kata terlambat untuk tobat. Marilah kita membuat perbaikan bersama-sama, dan dimulai dari diri masing-masing. InsyaAllah, Tuhan akan meridhoi setiap langkah ke arah kebaikan. Hari ini, kini, detik ini, mulailah selangkah kecil dari diri Anda sendiri.
From netsains.com
Ketika sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba ada seorang laki-laki pengemis tua berdiri di ambang pintu sambil menadahkan tangan. Merasa proses makanku terganggu, aku pun merogoh dompet mencari uang receh dan menemukan selembar Rp 2.000-an.
Namun, ketika aku mau menyerahkan uang itu, seorang ibu muda (sekitar 35 tahun) berjilbab, yang makan mie dan duduk tak jauh dariku, lebih dulu bangkit. Di luar dugaanku, dia bukan cuma memberi recehan, tetapi malah menawarkan makanan pada pengemis itu. “Bapak mau mie bakso? Jangan khawatir, Pak, nanti biar saya yang bayar!” ujarnya ramah. Mungkin si ibu merasa iba pada pengemis itu.
Pengemis itu tampak sangat bersyukur. Matanya berbinar. Mie bakso pun disiapkan dan dibungkuskan untuk si pengemis, dan si pengemis tua itu lalu pergi setelah mengucapkan terimakasih. Si ibu pun kembali duduk dan meneruskan makannya, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, justru aku yang terhenyak. Aku merasa kalah mental.
Kalau dilihat dari tampilannya, secara status sosial ekonomi aku tidak kalah dari ibu itu, bahkan mungkin aku dalam posisi lebih. Aku datang ke restoran itu memakai mobil, meski ”cuma” sedan Baleno keluaran 2003 milik kantor. Sedangkan ibu itu tampaknya tidak punya mobil. Namun, dalam kasus penanganan terhadap pengemis tadi, dia bisa dan mau memberi lebih banyak, sedangkan aku hanya siap dengan pemberian ”paket standar buat pengemis,” yaitu uang receh terkecil yang bisa ditemukan di dompet!
Aku lalu membayangkan, bagaimana jika situasi ”kalah mental” ini diangkat ke skala pribadi yang lebih luas, atau bahkan ke skala anggaran nasional. Majalah Forbes belum lama mengeluarkan daftar nama 40 orang terkaya di Indonesia. Tidak ada yang salah dengan menjadi kaya raya. Namun, apakah sumbangsih para orang kaya Indonesia ini –termasuk para anggota DPR, yang tiap hari ngantor memakai Bentley, Hummer, Alphard, Lexus, dan mobil-mobil mewah senilai sampai Rp 7 milyar itu—sudah proporsional dengan kekayaan yang mereka miliki?
Demi gengsi dan status diri, kita tidak merasa sayang membeli mobil, yang hanya buat dipakai mengantor tiap hari, senilai Rp 7 milyar. Tetapi kita merasa sayang jika diminta menyumbang Rp 10 juta rupiah untuk yatim piatu, meski Rp 10 juta itu sebetulnya cuma satu per 700 dari harga mobil kita.
Kita lebih bangga membuat pesta perkawinan seharga milyaran rupiah untuk anak-anak kita, dengan menggusur pedagang kecil sekitar lokasi pesta, serta mengganggu kenyamanan orang-orang kecil di sekitar acara perhelatan. Itu lebih dipilih ketimbang mengadakan resepsi pernikahan yang relatif lebih sederhana, tetapi InsyaAllah memperoleh keberkahan, karena membagi rezeki dan kelebihan harta kita dengan warga miskin sekitar, dan mendapat ucapan doa syukur dari mereka.
Kita lebih suka mengalokasikan anggaran negara yang super besar untuk gedung megah, mobil dinas, rumah dinas pejabat, ”studi banding” ke luar negeri yang tak jelas hasilnya, ketimbang mengalokasikan anggaran untuk mengentaskan kemiskinan, menanggulangi anak-anak terlantar, kalangan yang menderita sakit dan tak punya asuransi kesehatan, dan warga kita yang hidup di bawah garis sederhana di pelosok-pelosok nusantara.
Jumlah mereka yang membujtuhkan dukungan kita ini ada puluhan juta, tetapi mereka cuma menjadi angka statistik yang tidak bisa bicara. Mereka hanya diperhitungkan ketika menjelang pemilu untuk menjadi obyek penggalangan suara dan bagi-bagi BLT (bantuan langsung tunai), yang toh BLT itu juga dikutip dari uang negara, tetapi untuk kepentingan penguasa.
Singkat kata, banyak dari kita sebetulnya menderita kondisi ”kalah mental” yang parah. Dampaknya bukan cuma pada diri pribadi, tetapi begitu melebar, mencakup kepentingan masyarakat, rakyat dan bangsa yang lebih luas. Tidak bisa tidak, kita harus merombak kondisi mental ini jika ingin bangsa Indonesia ini maju, memiliki martabat kemanusiaan, dan posisi terhormat di antara bangsa-bangsa lain.
Kondisi kita sekarang sudah di titik nadir. Tetapi masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Tidak pernah ada kata terlambat untuk tobat. Marilah kita membuat perbaikan bersama-sama, dan dimulai dari diri masing-masing. InsyaAllah, Tuhan akan meridhoi setiap langkah ke arah kebaikan. Hari ini, kini, detik ini, mulailah selangkah kecil dari diri Anda sendiri.
From netsains.com
0 comments:
Post a Comment