Saturday, October 22, 2011

Korupsi Bukan Budaya

Banyak orang mengatakan kalau korupsi sudah menjadi budaya. Pendapat orang seperti ini tidak bisa disalahkan karena fenomena korupsi bukanlah barang baru di kehidupan bangsa Indonesia, tapi yang jadi masalah ketika pelaku korupsi semakin banyak dan semakin canggih. Hal ini tentunya akan semakin keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia.
Korupsi sebagai budaya perlu didekontruksi atau dalam bahasa lain korupsi sebagai budaya itu harus ditinjau ulang. Upaya dekontruksi harus dimulai dari melihat kembali definisi “budaya” dan definisi “korupsi” agar bisa ditimbang apakah korupsi layak dikatakan sebagai budaya atau tidak? Kalau tidak layak sepertinya harus ada “pe-label-an” baru yang pas sesuai dengan definisinya.
Definisi budaya menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pikiran atau akal budi, sesuatu yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), sedangkan kata “berbudaya” didefinisikan mempunyai budaya; mempunyai pikiran dan akal yang sudah maju. Bisa dikatakan jika budaya merupakan produk dari kemajuan berpikir manusia yang beradab atau bisa dikatakan sebagai tiang penompang peradaban manusia.
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang artinya buruk atau rusak, bisa juga ditransformasikan dalam kata kerja bahasa latin corrumpere yang artinya menggoyahkan, menyogok dan memutar balikan. Lembaga Transparansi Internasional mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyelewengkan dan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan oleh mereka untuk kepentingan atau memperkaya diri sendiri maupun golongannya.
Korupsi menurut penulis bisa dibagi dalam dua konteks. Pertama, korupsi dipahami secara makro yaitu menyangkut perilaku pejabat publik dan menyangkut hajat hidup orang banyak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, korupsi dipahami secara mikro yaitu menyangkut prilaku penyimpangan yang dilakukan individu yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan bernegara.
Komparasi definisi budaya dan korupsi bisa dilihat bagaimana kedua kata tersebut memiliki makna yang kontradiksi. Budaya yang merupakan hasil perkembangan akal budi yang biasanya menyangkut hal-hal moril dan etika jelas tidak bisa dikawinkan dengan kata korupsi yang notabane menyangkut penyelewengan dan penyalahgunaan kepercayaan publik. Mindset masyarakat Indonesia menyebut korupsi sebagai budaya tak lain karena korupsi sudah lekat dengan prilaku pejabat publiknya.
Sejak republik ini didirikan korupsi sudah menyerang prilaku pejabat publiknya, apalagi di era Soekarno wacana “nasionalisasi” aset sedang massif di mana saat itu kontrol pejabat publik belum kuat dan media masih dibawah tekanan penguasa sehingga korupsi bisa mulai tumbuh subur di republic ini. Salah satu contoh kasus yang hangat pada masa kepemimpinan presiden Soekarno adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh pengusaha yang bernama Lie Hok Thai, kasusnya dibongkar oleh salah satu jurnalis kritis dan berani yaitu Mochtar Lubis.
Lie Hok Thai adalah pengusaha yang melakukan tindak pelarian uang negara yang dibawa Menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani ke luar negeri. Roeslan sempat diadili, tapi dampaknya Mochtar Lubis dianggap pembangkang oleh Presiden Soekarno dan dipenjarakan dua kali selama 8 tahun.
Era Soekarno selesai setelah digulingkan oleh demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa pada tahun 1976 yang juga sertai political pressure oleh militer, berpindah tanganlah kekuasan dari tangan Soekarno ke Soeharto, orde lama tutup buku diganti dengan rezim orde baru. Tutup bukunya rezim orde lama ke orde baru justu bukan berarti prilaku korup juga berakhir. Justru pada era orde baru, prilaku korup pejabat publik semakin tumbuh subur.
Soeharto memimpin republik ini dengan tangan besi, kroni-kroni Soehato menjadi manusia yang istimewa. Akibat adanya perlakukan istimewa pada kroni-kroni Soeharto yang ini tak lain juga untuk melanggengkan kekuasaannya membuat praktek korupsi semakin tumbuh subur. Trias politika tidak berfungsi pada era Soeharto, demokrasi menjadi cacat, pemerintah menjadi tak terkontrol maka penyalahgunaan kekuasaan terjadi secara jamaah. Legislatif dan yudikatif justru tunduk pada eksekutif, pemerintah menjadi powerfull sehingga pengawasan menjadi lemah. Media dibungkam, siapa yang mengkritik pemerintah dibredel.
Ketika rezim menjadi powerfull maka sudah pasti penyelewengan akan semakin mudah, power tends to corrupt. Karl Popper sudah mewanti-wanti dalam bukunya “Liberalisme – Beberapa Tesis” dengan menyatakan bahwa “negara adalah suatu kejahatan yang tak terhindarkan : kekuasaannya tidak boleh dilipatgandakan melebihi apa yang diperlukan”. Kalau kekuasaan negara berlipat ganda maka pasti akan ada penyelewengan.
Rezim Soeharto pun tumbang seiring dengan krisis ekonomi yang didera, rakyat marah, demonstrasi besar-besaran pun terjadi. Orde baru tutup usia diganti oleh era reformasi. Era reformasi berlangsung, media dibuka selebar-lebarnya. Akan tetapi sekali lagi, korupsi justru tumbuh subur. Upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi pun telah diupayakan dengan didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi. Keberadaan KPK menjadi harapan rakyat dalam pemberantasan korupsi, tapi apa yang terjadi, saat ini sedang nge-trend fenomena yang disebut sebagai “corruptors fight back” yaitu upaya pelemahan KPK dengan kasus “serangan” seorang Nazarudin kepada salah satu Pimpinan KPK yaitu Chandra Hamzah.
Jadi, penulis sangat tidak setuju jika korupsi dikatakan sebagai “budaya”, korupsi lebih tepat dikatakan sebagai “penyakit sosial” yang disebabkan oleh kebobrokan moral. Upaya meminimalisir korupsi bukan hanya menyentuh aspek “pemberantasan” yaitu dengan mengungkap kasus korupsi pejabat publik semata, akan tetapi harus ada tindakan preventif yaitu dengan menanamkan nilai “anti korupsi” itu sendiri. Caranya? Adanya pendidikan anti korupsi bisa menjadi salah satu solusi kongkret.
Dede Kurniawan
Aktif di Madjid Politika Universitas Paramadina

from netsains.com

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More