Friday, December 16, 2011

Memupuk Kepercayaan Diri

If you really want to inspire others to do something
than this something should be a big part of your life
Seorang wali kelas sempat bercerita kepada saya bahwa “Sungguh saya terharu dengan yang terjadi pagi tadi setelah pengumuman lomba majalah dinding kelas (mading), akhirnya kami satu kelas meraih juara meskipun itu hanya juara tiga. Mungkin itulah satu kalimat yang bisa saya susun mewakili perasaan bahagia, disaat nama kelas mereka disebut dalam daftar pemenang lomba mading kelas yang diadakan perpustakaan sekolah”. Ucapan seperti ini tentunya lazim kita dengar dari pada guru disaat anak-anak mereka meraih keberhasilan, namun apakah mereka semua juga hadir disaat anak-anak mereka bekerja keras mengumpulkan semangat untuk bermimpi menjadi juara. Tentunya tidak semuanya berlaku demikian bukan, yang jamak kita lihat dan dengar adalah cibiran yang menghujamkan selaksa mimpi itu ke tanah dan hilang bagai debu diterpa angin. “Memangnya kamu bisa? atau “Memangnya kamu mampu? Pertanyaan-pertanyaan bernada sinis dan pesimistis inilah yang kerapkali meluncur dari mulut para pendidik kita yang terhormat, yang kemudian akan berubah pengakuan sepihak manakala para siswa berhasil dalam usahanya sendiri, “Itu anak-anakku, lho? Siapa dulu gurunya?”. Menurut Anda apakah ada yang aneh dari perilaku para pendidik ini?
Dalam artian yang lain, lomba antar kelas harus difahami sebagai upaya membentuk kebanggaan dan semangat untuk berkompetisi. Terlebih jika disekolah itu ingin membangkitkan perannya sebagai komunitas belajar, lomba antar kelas akan mampu menjadi media efektif bagi penanaman nilai-nilai positif tentang persaingan sehat, kerja keras dan kebersamaan. Apa yang lebih indah jika mulai dari guru wali kelas yang sibuk menyiapkan stereofom bekas untuk mading, siswa-siswa yang menghias dan sekaligus mengumpulkan bahan-bahan untuk dihias dan ditempelkan. Kreatifitas dirajut bersama kebersamaan memberi warna melalui hasil karya mading yang luar biasa. Tanpa harus mendatangkan seorang motivator bertarif mahal, tentunya para guru memiliki potensi untuk memberi motivasi kepada siswanya melalui keterlibatan nyata.
Kolaborasi dan Motivasi
Dari sebuah keterlibatan akan lahir motivasi siswa, dan dari pribadi yang termotivasi diharapkan akan membentuk apa yang kita sebut sebagai self esteem (percaya  diri).  Rusli  Lutan  (2003:3) memaparkan bahwa “self-esteem adalah penerimaan diri sendiri, oleh diri sendiri berkaitan bahwa kita pantas, berharga, mampu dan berguna tak peduli dengan apa pun yang sudah, sedang atau bakal terjadi. Tumbuhnya perasaan aku bisa dan aku berharga  merupakan  inti  dari  pengertian  self-esteem”.  Self-esteem  merupakan kumpulan  dari  kepercayaan  atau  perasaan  tentang  diri  kita  atau  persepsi  kita terhadap  diri  sendiri  tentang  motivasi,  sikap,  perilaku,  dan  penyesuaian  emosi yang  mempengaruhi  kita  (Kidshealth,  2006).  Self  esteem  berkenaan  dengan tiga hal:  (a)  kemampuan  kita untuk  memahami  apa  yang  dapat  kita  lakukan  dan  apa  yang  telah  dilakukan,  (b) penetapan  tujuan  dan  arah  hidup  sendiri,  (c)  kemampuan  untuk  tidak  merasa  iri terhadap prestasi orang lain.
Self-esteem berbeda dengan narsis, atau yang adalam istilah psiklogi dikenal sebagai Narcissistic Personality Disorder (NPD). Sigmund Freud menggunakan istilah narsis untuk mengambarkan seseorang yang merasa dirinya begitu penting daripada orang lain dan ingin selalu menerima perhatian dari orang lain. (Cooper dan Ronningstam, 1992). Orang dengan NPD merasa dirinya sangat penting namun hal tersebut sangat tidak beralasan dan sangat memperhatikan diri mereka sendiri sehingga mereka memiliki tingkat sensitivitas dan kepedulian yang rendah terhadap orang lain (Gunderson, Ronningstam, dan Smith, 1995). Siswa  yang  memiliki  self-esteem  yang  sehat,  akan  melakukan berbagai aktivitas dengan kepercayaan diri yang tinggi yang didasari oleh alasan-alasan  yang  rasional.  Dan sebaliknya apabila  siswa  memiliki self-esteem yang rendah, maka setiap tindakannya akan didorong oleh kepercayaan diri yang rendah pula. Inilah yang melatarbelakangi  kesulitan  beberapa siswa untuk  berprestasi dalam bidang apapun.  Seseorang  yang  memiliki  self-esteem  yang  sehat,  maka  ia  akan  pandai dalam  mengelola  suatu  kegagalan  yang  dihadapinya dan  akan  menerima kekurangan-kekurangannya  dengan  alasan-alasan  yang  rasional.  Perilaku mencari  kambing  hitam  (defend-mechanism)  yang  irasional adalah refleksi dari self esteem yang tidak sehat.  Sehingga jika  seseorang selalu  merasakan  bodoh  dan  tanpa  harapan  karena  kegagalan  yang  dialaminya sampai  pada  akhirnya  merendahkan  diri  sendiri,  maka  ia  akan  terjerumus  ke dalam rasa rendah diri yang mendalam.
Rusli  Lutan  (2003:10-11)  mengemukakan    self-esteem  bagi  seseorang ibarat  fondasi  sebuah  bangunan  rumah.  Self-esteem  merupakan  sebuah  struktur penting  bagi  perkembangan  kemampuan  yang  lainnya.  Di  atas  self-esteemlah akan  terbangun  prestasi.  Bila  self-esteem  dan  penilaian  diri  rendah  maka  apapun yang  kita  bangun  di  atasnya  niscaya  akan  mudah  retak.  Itulah  sebabnya  self-esteem harus dibangun sekokoh mungkin agar kita dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Self-esteem  yang  sehat  bisa  dibentuk  dan  dibina  (ditumbuhkembangkan) yang  tentunya  dipengaruhi  oleh  beberapa  faktor seperti: diri sendiri, teman sejawat, orang tua, guru, dan pencapaian prestasi.
KidsHealts  memaparkan  mengenai  dua  jenis  self-esteem  yaitu  Unhealty Self-Esteem  dan  Healthy  Self-Esteem.  Self-esteem  yang  rendah  atau  tidak  sehat pada  anak  ditandai  dengan  tidak  adanya  keinginan  melakukan  sesuatu  hal  yang baru,  anak  selalu  berkata  negatif  atas  kemampuan  yang  dimilikinya  misalnya “Saya bodoh !”, “Saya tidak pernah belajar dengan baik”. Ciri yang lainnya adalah anak tidak memiliki toleransi, frustasi, dan pesimis. Sedangkan pada anak yang  memiliki  self-esteem  yang  sehat  ditandai  dengan  senang  memelihara hubungan  dengan  yang  lain,  aktif  dalam  kelompoknya,  menyenangkan  dalam berhubungan  sosial,  mampu  menemukan  solusi  ketika  peluang  menipis, memahami kekuatan dan kelemahannya serta memiliki sikap optimis. Siswa  yang  memiliki  self-esteem  tinggi  atau  self-esteem  yang  sehat  pada umumnya memiliki kepercayaan diri dan keyakinan yang tinggi pula untuk dapat melakukan  tugas  gerak  yang  diinstruksikan  guru.  Mereka  biasanya  bersungguh-sungguh  dalam  melakukan  aktivitas  dan  selalu  berupaya  memperbaiki kekurangan dan terus berlatih meningkatkan kemampuannya. Ciri ini akan sangat berbeda dengan siswa yang rendah  self-esteemnya atau yang tidak memiliki  self-esteem. Umumnya mereka enggan atau bermalas-malasan, melakukan tugas karena  merasa  khawatir  atau  tidak  percaya  terhadap  kemampuan  yang dimilikinya,  tidak  bekerja  keras  memperbaiki  kekurangannya,  dan  merasa  cukup dengan apa yang sudah dilakukannya. Self-esteem  yang  sehat  atau  tinggi  dapat  dilatih  dan  dikembangkan. Latihan  merupakan  cara  terbaik  untuk  membina  self-esteem  dengan  selalu memperhatikan tiga hal yang mempengaruhi hidup yakni perilaku (tindakan), pola pikir (kepercayaan dan sikap), emosi (perasaan/mood) (Rusli Lutan, 2003:17).
Dukungan Komunikasi Efektif
Stephen Covey, bahkan mengatakan bahwa komunikasi merupakan keterampilan yang paling penting dalam kehidupan kita. Ia mengibaratkan komunikasi itu layaknya bernapas yang sudah secara otomatis kita lakukan setiap hari. Akibatnya, kita tidak memiliki kesadaran untuk melakukan komunikasi itu dangan efektif: bagaimana membaca dan menulis efektif, dan bagaimana mendengar dan berbicara dengan efektif. Kita terkadang lebih banyak berbicara daripada mendengar, padahal mulut kita hanya satu dan telinga kita ada dua yang berarti kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Menggaris bawahi pernyataan tersebut maka dalam rangka membangun self esteem sehat maka peran keterampilan berkomunikasi seorang guru menjadi bagian yang sangat penting.  Bila seorang guru mampu berkomunikasi  dengan  baik,  jelas,  terbuka,  dan sopan, maka ia dapat menciptakan perasaan nyaman bagi seluruh siswanya. Agar dapat berkomunikasi secara efektif, maka hal pertama yang harus dilakukan guru adalah bersedia untuk berterus terang perihal  penampilan  setiap  siswa  dengan  tidak membuat perasaan siswa menjadi “tidak anak” atau terganggu. Sampaikan penilaian  yang  sebenarnya  sesuai  dengan  kemampuan  dan  keberhasilan yang sudah dicapai oleh siswa.  Ketika  siswa  sukses  melakukan  suatu  tugas,  sampaikan  bahwa  ia  benar-benar  telah  berhasil.  Sebaliknya,  ketika  siswa  gagal  dalam  melaksanakan tugas,  jangan  utarakan  bahwa  ia  “tidak  berhasil”  melainkan  “belum berhasil” dan masih ada kesempatan lebar untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Kedua, guru mampu berempati atau memiliki kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan dan mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti orang lain. Tentunya menjadi pendengar  yang  baik  tidak  berarti  hanya  memasang  telinga  lebar-lebar, melainkan  juga  memperlihatkan  sikap  memperhatikan  yang  dicirikan dengan reaksi fisik dan sikap yang munjukkan bahwa kita tertarik terhadap apa  yang  dibicarakan  lawan  bicara.  Seorang guru yang  baik  akan  selalu berupaya  mendengarkan  keinginan  dan  mengerti  kebutuhan  setiap  siswa dalam usahanya untuk mencapai tujuan belajar. Ini dimaksudkan agar guru mampu memberi umpan balik (feedback) yang sesuai guna meningkatkan keterampilan siswa. Guru yang menjadi  pendengar  yang  baik  secara langsung  telah  memberikan  penghargaan  dan  pengakuan  terhadap keberadaaan siswa di lingkungannya.
Ketiga, guru mampu memiliki sikap rendah hati. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri. Sikap ini terkait upaya guru membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki kita mampu merasakan perasaan orang lain, dalam hal ini menerima perasaan orang lain merupakan bagian penting dari komunikasi efektif.  Kita  akan  merasa  nyaman  dalam  berkomunikasi  manakala  kita dapat memahami perasaan orang lain, terampil mendengar, dan jelas adalah hal menyampaikan buah pikiran kita (Rusli Lutan, 2003:25).
Kemampuan berkomunikasi secara efektif sesungguhnya merupakan salah satu  faktor  dari  penyampaian  hasil  evaluasi  yang  telah  dilakukan  guru untuk  menumbuhkembangkan  self-esteem  yang  positif  pada  diri  siswa.  Evaluasi yang diterima oleh setiap siswa tidak akan memberikan manfaat bagi peningkatan sikap  dan  keterampilannya  apabila  tidak  tersampaikan  dengan  baik  dan  jelas. Proses  saling  menghargai  antara  guru  dengan  siswa    diantaranya  melalui  proses penentuan  bentuk  evaluasi  yang  sesuai  dengan  materi  dan  tujuan  pembelajaran. Proses evaluasi merupakan umpan balik (feedback) bagi guru dan siswa tentang keberhasilan  yang  telah  dicapai  selama  proses  pembelajaran.  Evaluasi  tidak semata-mata  hanya  menempatkan  anak  pada  posisi  mampu  dan  tidak  mampu melaksanakan  tugas  ajar,  atau  memberikan  status  sangat  baik,  baik,  cukup  atau kurang.
Kembali pada cerita diatas maka pelaksanaan lomba mading antar kelas merupakan bentuk upaya positif dalam membentuk sel esteem (percaya diri) siswa  yang sehat. Tentunya upaya ini tidak hanya akan berhenti pada pelaksanaan lomba saja, akan tetapi menjadi lebih baik melalui keteladanan moral atas keterlibatan dan kepedulian guru kepada siswanya. Sehingga pada gilirannya seorang guru akan mampu menjadi inspirasi bagi setiap anak didik, sebab sang guru telah menjadi hal yang diajarkan menjadi bagian besar dalam hidupnya.

From netsains.com

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More