Friday, December 16, 2011

Beberapa Teori tentang Dampak Media terhadap Individu

 Dampak (efek) komunikasi massa bisa dibagi dua: Efek yang bersifat umum dan efek khusus. Efek umum menyangkut efek dasar yang diperkirakan dapat terjadi akibat pesan-pesan yang disiarkan melalui media massa. Komunikasi massa memiliki efek yang ”mengembang” sebab dalam banyak hal komunikasi massa telah mengambil alih fungsi komunikasi sosial. Secara umum atau luas, komunikasi massa melalui media massa telah menciptakan suatu jaringan pengertian, yang tanpa itu tidak mungkin tercipta masyarakat yang besar dan modern.
Efek seperti itu merupakan efek dasar yang terjadi dari hari ke hari secara terus-menerus. Ia tidak dapat dilihat, didengar, atau diraba, tetapi ia benar-benar terjadi.
Dapat disimpulkan bahwa terpaan media massa pada waktunya akan menimbulkan perubahan-perubahan yang mengejutkan.
Efek khusus menyangkut efek yang diperkirakan akan timbul pada individu-individu dalam suatu massa audiens pada perilaku mereka, dalam menerima pesan-pesan media massa.
Karena ada kombinasi yang berbeda-beda antara situasi, kepribadian dan kelompok di antara anggota-anggota suatu massa audiens dalam peneriman pesan, jenis efek yang mungkin timbul (the possible effect) akan berbeda-beda pula.
Intensitas perhatian individu-individu terhadap pesan-pesan media juga akan mempengaruhi efek. Misalnya: setiap hari berbagai media menawarkan sejumlah besar pesan kepada perorangan-perorangan dari penduduk yang tinggal di perkotaan. Pesan itu berbentuk: berbagai acara televisi; berbagai berita dan artikel suratkabar, majalah atau buku; berbagai pilihan film di bioskop; rekaman-rekaman kaset; iklan-iklan; dan lain-lain.
Semua itu saling bersaing untuk meraih perhatian penduduk selaku massa audiens yang potensial. Namun semua orang punya keterbatasan. Seseorang tidak mungkin menerima semua tawaran tadi, sehingga ia akan melakukan seleksi. Seleksi yang dilakukan seseorang bisa sangat berbeda dengan yang dilakukan orang lain. Bahkan, jika sudah menyeleksi, intensitas perhatiannya juga tidak terlalu tinggi.
Bagaimana media mempengaruhi audiens? Ada beberapa teori tentang ini, antara lain:
Teori Peluru Ajaib (Magic Bullet) atau Jarum Suntik (Hypodermic Needle):
Teori yang populer pada sekitar tahun 1930-an ini mengatakan, pesan media berdampak pada orang secara langsung, bisa diukur, dan dampak itu bersifat segera (immediate) kepada khalayak. Jadi, dampaknya seperti peluru yang menghantam tubuh, atau seperti tubuh yang ditusuk jarum suntik. Model jarum suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one step flow).
Namun, sekarang banyak ilmuwan berpendapat, dampak semacam ini jarang terjadi. Misalnya: Seseorang yang melihat iklan sepeda motor Honda dan dia langsung membeli motor Honda itu, persis dengan model sepeda motor yang diiklankan di TV. Atau ada orang yang melihat tayangan tentang teroris yang mengebom Hotel Marriott dan orang ini pun segera membuat bom untuk menyerang hotel.
Pendekatan ini sangat simplistik, karena mengasumsikan bahwa individu itu hanya bersikap pasif. Individu dianggap akan menyerap semua yang disodorkan media massa tanpa sikap kritis dan tanpa syarat. Padahal kenyataannya para individu membaca koran, mendengarkan siaran radio, dan menonton acara TV dengan cara yang berbeda. Bahkan para individu juga terekspos pada banyak media, sehingga yang diterima bukan cuma satu suara atau pesan tunggal.
Teori Peluru Ajaib atau Teori Jarum Suntik adalah teori dampak kuat. Dalam perkembangan berikutnya, muncul teori-teori yang merevisi model Peluru Ajaib, dan memandang dampak itu lebih bersifat minimalis. Misalnya, model Aliran Dua-Tahap (two-step flow of communication) yang diperkenalkan pertama kali oleh Paul Lazarsfeld dan Elihu Katz.
Model Aliran Dua Tahap (Two Step Flow):
Model ini dikembangkan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarsfeld dkk, dalam kasus pemilihan Presiden Amerika. Tidak seperti teori Peluru Ajaib, yang menganggap dampak media bersifat langsung, model aliran dua-tahap menekankan peran manusia perantara (human agency) atau tokoh-tokoh pemuka pendapat (opinion leader).
Temuan Lazarsfeld menunjukkan, peran media massa justru sangat kecil dalam mempengaruhi opini publik. Media massa hanya berhasil dalam menyampaikan atau meneruskan informasi atau pengetahuan dasar, namun sangat kurang efektif dalam mengubah sikap dan perilaku. Yang lebih besar perannya justru adalah para pemuka pendapat (opinion leaders) sebagai perantara. Temuan ini pun membuyarkan teori Jarum Suntik.
Model aliran dua-tahap ini intinya menyatakan, pesan-pesan media tidak seluruhnya mencapai massa audiens secara langsung. Sebagian besar pesan-pesan itu malah berlangsung dua tahap. Tahap pertama, dari media massa kepada orang-orang tertentu di antara massa audiens, atau kalangan yang kita sebut pemuka pendapat (opinion leaders).
Pemuka pendapat adalah orang yang memiliki akses terbesar terhadap media, dan memiliki pemahaman yang lebih tinggi terhadap konten media. Merekalah yang kemudian menjelaskan dan menyebarkan konten tersebut kepada orang-orang lain. Mereka berfungsi sebagai penjaga gawang (gate keepers) atas pesan media. Dari sini, pesan media diteruskan kepada anggota massa audiens lainnya (tahap yang kedua), sehingga pesan-pesan media akhirnya mencapai seluruh penduduk.
Para opinion leaders dan pengikutnya (followers) secara keseluruhan adalah massa audiens. Pada umumnya, opini leaders lebih banyak bersentuhan dengan media massa ketimbang para followers. Karena posisinya, opinion leaders mempunyai pengaruh terhadap followers. Atas peran para leaders-lah, pelan-pelan media memperoleh efek-efek yang kuat.
Tanpa opinion leaders, walaupun pesan-pesan media sampai kepada massa audiens secara langsung, komunikasi cenderung tidak efektif. Pada tahap kedua ini, yang terjadi adalah komunikasi antarpribadi.
Opinion leader tidak harus merupakan pemimpin dengan otoritas resmi di masyarakat (presiden, menteri, gubernur, walikota, dan sebagainya). Tetapi orang-orang yang dekat dan dipercaya oleh warga. Pemuka pendapat bisa merupakan orangtua, suami/istri, kakak, pacar, sahabat dekat, ustadz setempat, guru sekolah, pedagang sekitar, dan sebagainya. Walaupun tentu saja tidak semua ustadz atau guru bisa menjadi pemimpin opini.
Model Aliran Banyak Tahap (Multistep Flow Model):
Pada perkembangannya kemudian, setelah riset komunikasi massa semakin canggih, pendekatan aliran dua tahap ini pun dianggap kurang memadai, dan berkembang menjadi Multistep Flow Model (Model Aliran Banyak Tahap).
Model Aliran Banyak Tahap Model ini diharapkan bisa mencakup jaringan hubungan-hubungan sosial yang kompleks, yang mempengaruhi individu-individu.
Teori Pembudidayaan atau Kultivasi (Cultivation):
Teori Kultivasi atau Pembudidayaan lebih berfokus pada bagaimana sikap orang dipengaruhi oleh media, ketimbang sekadar perilaku orang tersebut. Walau sikap (attitude) dan perilaku (behavior) berkaitan erat, para penganut teori kultivasi berfokus pada bagaimana orang berpikir ketimbang pada apa yang diperbuat orang tersebut.
Banyak dari riset ini melibatkan perbandingan sikap dari para pengguna berat, pengguna menengah, dan pengguna ringan media.
Salah satu temuan riset ini adalah bahwa ketika orang terekspos oleh kekerasan yang sarat di media, mereka tampaknya akan memiliki salah konsepsi dalam penyikapan, yang dinamakan sindrom dunia yang ganas (mean world syndrome). Ini berarti mereka melebih-lebihkan besarnya tingkat kekerasan yang benar-benar terjadi dalam komunitasnya dan di bagian dunia lain. Orang yang kurang terekspos pada kekerasan di media memiliki rasa yang lebih realistis dalam memandang tingkat kekerasan di dunia nyata.
Pendekatan Sosiologis terhadap (kekerasan di) Media:
Cara yang kurang umum dalam mempelajari kekerasan di media adalah pendekatan sosiologis. Teori-teori sosiologis tentang kekerasan di media mengeksplorasi cara-cara di mana media berdampak dan memperkuat ideologi-ideologi dan nilai-nilai yang dominan dalam sebuah budaya.
Misalnya, seorang peneliti mungkin melihat saling-hubungan (korelasi) antara kekerasan di media dan sikap-sikap tentang maskulinitas (kelaki-lsakian) dalam sebuah budaya, atau bagaimana kekerasan media memperkuat dan mencerminkan kebijakan luar negeri yang kasar dari sebuah negara. Teori-teori sosiologis tentang media itu tidak bisa diukur. Namun, itu lebih merupakan cara-cara teoretis tentang bagaimana melihat hubungan media dengan budaya.
Teori Pudarnya Kepekaan (Desensitization):
Teori ini mengatakan, karena orang sudah terlalu banyak terekspos oleh kekerasan di media, misalnya, maka kekerasan tidak lagi memberi dampak emosional pada dirinya. Banyak orang tampaknya akan setuju dengan pandangan bahwa karena sering melihat tayangan kekerasan di TV, maka seseorang tidak akan terlalu terganggu jika disuruh melihat film yang mengandung adegan kekerasan.
Yang kini menjadi perdebatan, apakah orang juga akan kehilangan kepekaan terhadap kekerasan dalam kehidupan nyata. Jika seseorang meninggalkan gedung bioskop sehabis menonton film berisi adegan kekerasan, dan lalu melihat sesosok mayat nyata yang tergeletak di jalan, apakah dia tetap mengalami hilangnya kepekaan?
Teori Narcoticizing Dysfunction:
Teori ini menyatakan, media jarang memberi energi pada orang untuk bertindak, seperti mendorong orang untuk ke luar rumah dan memberi suara pada seorang kandidat dalam Pilkada. Sebaliknya, media justru mendorong orang untuk bersikap pasif.
Banyak orang tenggelam dalam arus informasi dan berita yang begitu melimpah, sehingga mereka justru cenderung menarik diri dari keterlibatan dalam isu-isu publik. Jadi, keterlibatan intelektual mereka telah menjadi pengganti dari keterlibatan aktif konkret.
Misalnya: orang yang terlalu banyak mengunyah informasi tentang isu kemiskinan, dan ia percaya telah melakukan sesuatu untuk menangani problem kemiskinan. Padahal, faktanya ia hanya sangat tahu dan mendalami informasi tentang kemiskinan.
Teori Spiral of Silence:
Teori ini diperkenalkan oleh ilmuwan politik Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann, dan berangkat dari pendekatan psikologis.
Teori ini menegaskan, orang cenderung untuk tidak mengekspresikan opininya tentang topik tertentu, jika orang itu merasa hanya sebagai minoritas, karena takut akan pembalasan, pengucilan, atau dampak buruk lain dari pihak mayoritas. Maka, bisa terjadi, orang-orang yang merasa mewakili suara mayoritas, dengan penuh percaya diri akan mudah menyuarakan opininya di media.
Opini yang dimuat di media itu tidak mendapat tantangan, karena orang yang merasa minoritas cenderung tidak membantahnya. Maka, meski sering digembar-gemborkan bahwa media adalah wahana yang menerima opini seluruh kalangan masyarakat, nyatanya hanya kalangan yang merasa mewakili suara mayoritas yang akan muncul di media.
Teori Penetapan Agenda (Agenda Setting):
Menurut teori ini, media menetapkan agenda bagi opini publik, dengan cara mengangkat isu-isu tertentu. Sesudah mempelajari cara peliputan kampanye politik, ternyata dampak utama media berita adalah dalam penetapan agenda. Misalnya, dengan memberitahu masyarakat untuk berpikir tentang topik-topik tertentu.
Topik-topik yang tidak diangkat oleh media menjadi kurang atau tidak dianggap penting oleh publik. Jadi, pengaruh media bukanlah dalam persuasi (bujukan) atau perubahan sikap audiens. Penetapan agenda ini biasanya lebih sering dirujuk sebagai fungsi media, dan bukan teori.
Agenda setting adalah kemampuan media untuk menentukan isu atau berita apa yang dianggap penting, yang harus diperhatikan oleh publik, atau harus segera ditangani oleh pemerintah. Isu yang dianggap penting itu bisa diberi porsi yang lebih besar dan penempatan yang lebih menarik perhatian.
Untuk media suratkabar, hal itu berarti penempatan di halaman 1 dan pemberian space yang lebih luas. Untuk media TV, hal itu bisa berarti penayangan pada alokasi slot prime time (antara jam 18.00-22.00, saat jumlah pemirsa terbanyak) dan pemberian durasi penayangan yang lebih panjang.
Penetapan agenda oleh media bisa berpengaruh pada banyak hal. Misalnya: Popularitas calon legislatif atau kandidat kepala daerah, yang sedang bertarung pada pemilihan umum di wilayah tertentu. Kandidat yang dianggap lebih berkualitas bisa mendapat porsi pemberitaan yang lebih besar, sehingga mereka menjadi lebih populer dan lebih berperluang untuk menang.
Atau, media menentukan isu-isu apa –yang menyangkut kepentingan publik—yang harus segera ditangani pemerintah. Misalnya, isu kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, kenaikan harga sembako menjelang bulan puasa, dan sebagainya.
 
from netsains.com

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More