Saturday, October 22, 2011

Jaminan Mutu dalam Sertifikasi Guru

Netsains.Com - Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan mengadakan sertifikasi. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap kinerja guru akan meningkat dan pada gilirannya mutu pendidikan nasional akan meningkat pula. Namun, beberapa pihak ada yang berpendapat bahwa sejatinya sertifikasi adalah alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Bahkan yang lebih berani mengatakan bahwa sertifikasi adalah akal-akalan pemerintah untuk menaikkan gaji guru.
Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan kecemburuan profesi lain. Meski tentunya, kita tidak mengesampingkan kenyataan bahwa United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Hingga hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN.
Dalam hal ini tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan Indeks Pengembangan Manusia. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang rendah. Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %. Namun pemahaman bahwa sertifikasi tidak lain hanya meningkatkan kesejah teraan guru seperti diatas juga tidak terlalu salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Namun, persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahteran guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Di samping itu, menurut Samami dkk. (2006:3), yang perlu disadari adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.
Kunci Keberhasilan Pendidikan
Pada  dasarnya  terdapat  berbagai  faktor  yang  mempengaruhi  keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan  prasarana, lingkungan pendidikan, kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru dalam kegiatan proses pembelajaran di  sekolah  menempati  kedudukan  yang  sangat  penting  dan  tanpa  mengabaikan faktor  penunjang  yang  lain,  guru  sebagi  subyek  pendidikan  sangat  menentukan keberhasilan  pendidikan  itu  sendiri.    Studi  yang  dilakukan  Heyneman  &  Loxley pada  tahun  1983  di  29  negara  menemukan  bahwa  di  antara  berbagai  masukan (input)  yang  menentukan  mutu  pendidikan  (yang  ditunjukkan  oleh  prestasi  belajar siswa)  sepertiganya  ditentukan  oleh  guru.  Peranan  guru  makin  penting  lagi  di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang  berkembang.  Lengkapnya  hasil  studi  itu  adalah:  di  16  negara  sedang berkembang,  guru  memberi  kontribusi  terhadap  prestasi  belajar  sebesar  34%, sedangkan  manajemen  22%,  waktu  belajar  18%  dan  sarana  fisik  26%.      Di  13 negara  industri,  kontribusi  guru  adalah  36%,  manajemen  23%,  waktu  belajar  22% dan  sarana  fisik  19%  (Dedi  Supriadi,  1999:  178).  Fasli  Jalal  (2007:1)  mengatakan bahwa  bahwa  pendidikan  yang  bermutu  sangat  tergantung  pada  keberadaan  guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Oleh karena itu  keberadaan  guru  yang  bermutu  merupakan  syarat  mutlak  hadirnya  sistem  dan praktik pendidikan yang bermutu.
Hampir  semua  bangsa  di  dunia  ini  selalu  mengembangkan  kebijakan  yang mendorong  keberadaan  guru  yang  bermutu.  Salah  satu  kebijakan  yang dikembangkan  oleh  pemerintah  di  banyak  negara  adalah  kebijakan  intervensi langsung  menuju  peningkatan  mutu  dan  memberikan  jaminan  dan  kesejahteraan hidup  guru  yang  memadai.  Beberapa  negara  yang  mengembangkan  kebijakan  ini bisa  disebut  antara  lain  Singapore,  Korea  Selatan,  Jepang,  dan  Amerika  Serikat. Negara-negara  tersebut  berupaya  meningkatkan  mutu  guru  dengan
mengembangkan  kebijakan  yang  langsung  mempengaruhi  mutu  dengan melaksanakan  sertifikasi  guru.  Guru  yang  sudah  ada  harus  mengikuti  uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut, yang tentunya memiliki penerapan berbeda dibeberapa negara Hasil studi Educational Testing Service (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat (Samami dkk., 2006:34).
Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar. Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru.
Di Indonesia, untuk mengikuti kegiatan sertifikasi ditahun 2011 ini para guru harus mengikuti tes awal untuk menilai kompetensi pendidik yang sebenarnya. Pelaksanaan sertifikasi guru yang bertujuan menjadikan pendidik profesional mulai tahun ini mengalami perubahan signifikan. Kelayakan guru memperoleh sertifikat pendidik profesional tidak hanya melalui penilaian portofolio, tetapi tes awal menjadi tolok ukur utama. Berdasarkan pengalaman jika hanya berkas portofolionya yang dinilai dan mayoritas guru lulus, sehingga berkas-berkas tersebut bisa saja dimanipulasi. Oleh sebab itu, dari kuota sertifikasi untuk 300.000 guru tahun 2011, hanya satu persen yang dijatah lulus lewat penilaian portofolio.Bagi yang tidak lulus pada jalur portofolio tersebut otomatis harus mengikuti sertifikasi jalur PLPG di masing-masing rayon atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Bagi para guru yang lulus pada tahap awal, berkas portofolio yang merupakan track record para guru tersebut akan dinilai. Sebagaimana dilansir Suara Merdeka.com 28 Juli 2011 Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat menyebutkan sebanyak 99% peserta atau 1.309 guru gagal atau tidak lulus dalam tes awal sertifikasi portofolio yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dari 1.323 guru yang mengikuti tes awal melalui sistem online, hanya 14 guru yang lulus dan bisa dinilai berkas portofolionya. Koordinator Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat Prof Wahyu Hardiyanto mengungkapkan, ketidaklulusan itu karena para pendidik tersebut tidak bisa memenuhi ketentuan nilai yang disyaratkan. ”Sesuai dengan ketentuan, para peserta harus bisa menyelesaikan 75% soal tes awal dalam bentuk pilihan ganda dengan waktu 100 menit untuk materi eksakta dan non-eksakta serta pedagogik. Kalau itu tidak terpenuhi, dianggap gagal untuk mengikuti penilaian berikutnya
Umumnya yang lulus merupakan guru-guru berprestasi menonjol. Sebagian besar guru akan mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) selama sepuluh hari di lembaga pendidikan tenaga pendidikan (LPTK) negeri dan swasta yang ditunjuk pemerintah. Para guru yang disertifikasi lewat jalur PLPG itu akan diuji kompetensi standar yang disiapkan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) .
Kualitas Pendidikan dan Sertifikasi Guru

Problematika apakah  sertifikasi  akan  secara  otomatis  meningkatkan mutu  kompetensi  guru,  dan  kemudian  akan  meningkatkan  mutu  pendidikan, masih menajdi perdebatan dikalangan pendidikan. Sebagaimana dirilis Kompas.com beberapa pihak mengatakan sertifikasi guru sebenarnya bukan ukuran yang tepat untuk menilai peningkatan mutu guru. Sebab, sertifikasi guru lebih merupakan proses untuk menetapkan guru apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Pasalnya, peningkatan mutu guru pascasertifikasi tidak serta-merta meningkat tajam. Karena itu, program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah hingga tahun 2015, baik lewat penilaian portofolio maupun pendidikan dan pelatihan guru, tetap harus diikuti dengan pembinaan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan
Hal inilah yang menyebabkan pertanyaan, adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu perlu dijawab secara kritis analitis, karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat  kebijakan  sertifikasi  bagi  guru  belum  berhasil  meningkatkan  mutu kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan amat lambat. Sebagai contoh dalam kurun waktu  sepuluh  tahun,  mulai  tahun  1997 – 2006,  Amerika  Serikat  hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang dalam  kurun  waktu  yang  sama  mentargetkan  mensertifikasi  2,7  juta  guru sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan. (Fasli Jalal. 2007: 2)
Ada  beberapa  hal  yang  perlu  untuk  dikaji  secara  mendalam  untuk  memberikan jaminan bahwa sertifikasi guru akan meningkatkan mutu pendidikan. Pertama  dan  sekaligus  yang  utama,  sertifikasi  merupakan  sarana  atau instrumen  untuk  mencapai  suatu  tujuan,  bukan  tujuan  itu  sendiri.  Perlu  ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju  mutu.  Sertikasi  bukan  tujuan  itu  sendiri.  Kesadaran  dan  pemahaman  ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai  mutu.  Kalau  seorang  guru  kembali  masuk  kampus  untuk  kualifikasi, maka  belajar  kembali  ini  untuk  mendapatkan  tambahan  ilmu  pengetahuan  dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari  telah  belajar  dan  telah  mendapatkan  tambahan  ilmu  dan  ketrampilan  baru. Demikian  pula  kalau  guru  mengikuti  uji  sertifikasi,  tujuan  utama  bukan  untuk mendapatkan  tunjangan  profesi,  melainkan  untuk  dapat  menunjukkan  bahwa  yang bersangkutan  telah  memiliki  kompetensi  sebagaimana  disyaratkan  dalam  standard kemampuan  guru.  Tunjangan  profesi  adalah  konsekuensi  logis  yang  menyertai adanya  kemampuan  yang  dimaksud.  Dengan  menyadari  hal  ini  maka  guru  tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi. Kedua,  konsistensi  dan  ketegaran  pemerintah.  Sebagai  suatu  kebijakan  yang bersentuhan  dengan  berbagai  kelompok  masyarakat  akan  mendapatkan  berbagai tantangan  dan  tuntutan.  Paling  tidak  tuntutan  dan  tantangan  akan  muncul  dari  3 sumber.  Sumber  pertama  adalah  dalam  penentuan  lembaga  yang  berhak melaksanakan  uji  sertifikasi.  Berbagai  lembaga  penyelenggara  pendidikan  tinggi, khususnya  dari  fihak  Lembaga  Pendidikan  Tenaga  Kependidikan  Swasta  akan menuntut  untuk  diberi  hak  menyelenggarakan  dan  melaksanakan  uji  sertifikasi. Demikian  juga,  akan  muncul  tuntutan  dari  berbagai  LPTK  negeri  khususnya  di daerah  luar  jawa  akan  menuntut  dengan  alasan  demi  keseimbangan  geografis.
Tuntutan  ini  akan  mempengaruhi  penentuan  yang  mendasarkan  pada  objektivitas kemampuan  suatu  perguruan  tinggi.  Ketegaran  dan  konsistensi  pemerintah  juga diperlukan  untuk  menghadapi  tuntutan  dan  sekaligus  tantangan  bagi  pelaksana Undang-Undang  yang  muncul  dari  kalangan  guru  sendiri.  Mereka  yang  sudah senior  atau  mereka  para  guru  yang  masih  jauh  dari  pensyaratan  akan  menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.   Ketiga,  tegas  dan  tegakkan  hukum.  Dalam  pelaksanaan  sertifikasi,  akan muncul  berbagai  penyimpangan  dari  aturan  main  yang  sudah  ada.  Adanya penyimpangan  ini  tidak  lepas  dari  adanya  upaya  berbagai  fihak,  khususnya  guru untuk  mendapatkan  sertifikat  profesi  dengan  jalan  pintas.  Penyimpangan  yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya,  begitu  ada  gejala  penyimpangan,  pemerintah  harus  segera  mengambil tindakan  tegas.  Seperti  mencabut  hak  melaksanakan  sertifikasi  dari  lembaga  yang dimaksud,  atau  menetapkan  seseorang  tidak  boleh  menjadi  penguji  sertifikasi,  dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan  UU  secara  konsekuen.  Tuntutan  dan  tantangan  juga akan  muncul  dari  berbagai  daerah  yang  secara  geografis  memiliki  tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional  yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun,  tetapi  untuk  daerah  yang  terpencil  transisi  10  tahun.  Tetapi  standard  tidak mengenal toleransi. Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik  untuk  pelaksanaan  sertifikasi  maupun  untuk  pemberian  tunjangan profesi.
Membangun Sistem Jaminan Mutu

Untuk melakukan penjaminan pelaksanaan sertifikasi guru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan maka perlu dilakukan pembinaan guru secara terus menerus dan berkesinambungan. Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena  prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih di kandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru.  Pembinaan  profesi  guru  secara  terus  menerus  (continuous  profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG)  untuk  tingkat  SD  dan  musyawarah  guru  mata  pelajaran  (MGMP)  untuk tingkat  sekolah  menengah.  Aktifitas  guru  di  KKG/MGMP  tidak  saja  untuk menyelesaikan  persoalan  pengajaran  yang  dialami  guru  dan  berbagi  pengalaman mengajar antar  guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.
Desain  jejaring  kerja  (networking)  peningkatan  profesionalitas  guru berkelanjutan  melibatkan  instansi  Pusat,  Pusat  Pengembangan  dan  Pemberdayaan Pendidik  dan  Tenaga  Kependidikan  (P4TK),  Lembaga  Penjaminan  Mutu Pendidikan  (LPMP)  dan  Dinas  Pendidikan  Propinsi/Kabupaten/Kota  serta Perguruan Tinggi setempat.
P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:
  • menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
  • mengembangkan model-model pembelajaran
  • mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
  • memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP
  • mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan MGMP
LPMP  bersama  dengan  Dinas  Pendidikan  Propinsi  melakukan  seleksi  guru  untuk menjadi  Instruktur  Mata  Pelajaran  Tingkat  Propinsi  per  mata  pelajaran  dengan tugas:
  • menjadi narasumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
  • mengembangkan inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP
  • menjamin keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan seleksi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru Inti per mata pelajaran dengan tugas:
  • motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
  • menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
  • mengembangkan inovasi pembelajaran
  • menjadi narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP
KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi  profesi  guru.  Selain  itu  perlu  adanya  pemberdayaan (empowerment)  guru  yang  telah  memperoleh  sertifikat.  Hal  ini  dapat  dilakukan dengan  adanya  pemberian  tugas  yang  sesuai  dengan  kompetensi  guru  maupun adanya  dorongan  dari  fihak  manajemen  sekolah  yang  mampu  menumbuhkan motivasi  kerja  bagi  para  guru.  Meningkatnya  kompetensi  guru  yang  didukung adanya  motivasi  kerja  yang  tinggi  akan  dapat  meningkatkan  kinerja  guru.
Meningkatnya  kinerja  guru  akan  meningkatkan  kualitas  pembelajaran,  yang  pada akhirnya  akan  meningkatkan  mutu  pendidikan  secara  keseluruhan,  karena  ujung tombak  dari  kegiatan  pendidikan  adalah  pada  kegiatan  pembelajaran  yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru.
Pelaksanaan sertifikasi guru sebagai bentuk upaya ideal tentunya akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Dalam hal ini pemerintah perlu membangun jejaring untuk menjamin apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru.  Oleh sebab itu,  pembinaan  dan  pemberdayaan  guru  pasca sertifikasi  secara berkesinambungan pada gilirannya akan menjadi bagian terepenting untuk menjamin pelaksanaan sertifikasi yang tepat sasaran.  Sekaligus berperan sebagai perwujudan syarat mutlak menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang bermutu melalui guru-guru yang berkualitas.  Pembinaan dan pemberdayaan yang kurang tepat tidak menutup  kemungkinan  akan  menyebabkan  kegiatan  sertifikasi  sekedar  kegiatan untuk  meningkatkan  kesejahteraan  guru  sebagai  tujuan  antara,  sementara  tujuan akhir dari kegiatan sertifikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi kurang mendapat perhatian dari peserta sertifikasi.
Daftar Pustaka

Departemen  Pendidikan  Nasional  (2006)  Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Direktoran  Jendral  Pendidikan  Tinggi,  Departemen  Pendidikan  Nasional.  (2008). Pedoman  Penyelenggaraan  Program  Sertifikasi  Guru  Dalam  Jabatan Melalui Jalur Pendidikan. Jakarta.
Fasli  Jalal.  (2007).  Sertifikasi  Guru  Untuk  Mewujudkan  Pendidikan  Yang Bermutu?.  Makalah  disampaikan  pada  seminar  pendidikan  yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Unair, tanggal 28 April 2007 di Surabaya
Muchlas Samani.  (2008).  Sertifikasi  Guru  Sebagai  Bagian  Peningkatan  Kualitas Pendidikan.  Makalah  disampaikan  pada  seminar  Strategi  Peningkatan Kualitas Pendidikan. Program Pascasarjana UNY, 22 Maret di Yogyakarta

from netsains.com

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More