Saturday, September 17, 2011

Ironi Dunia Pendidikan


Adalah Paijo yang dengan tegas berteriak dengan memegang megaphone, “Berapa banyak anak yang terpaksa “menunda” masuk sekolah karena tidak ada biaya? Mengapa di tahun ke-66 Indonesia merdeka pendidikan masih menjadi barang mewah bagi banyak orang? Rasanya kita dikhianati oleh pemerintah kita sendiri.. Negara harusnya “mencerdaskan kehidupan bangsa (UUD’45)” tapi yg terjadi sebaliknya.., bangsa kita disuruh bayar mahal untuk menjadi cerdas.. apa pula ini????
Paijo adalah saksi betapa kerasnya seleksi alam dunia pendidikan di Indonesia. Betapa tidak, hampir setiap tahun angka putus sekolah terus saja meningkat. Kementerian Pendidikan Nasional sendiri seperti dikutip dalam Kompas.com 25 Juli 2011, mengaku kesulitan menekan jumlah siswa miskin di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas Nono Adya Supriatno mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta.
Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah. Sungguh ironis memang kenaikan anggaran pendidikan secara signifikan sejak 2005 ternyata tak membuat biaya pendidikan menurun. Dalam APBN-P 2010, pemerintah menaikkan anggaran pendidikan Rp 11,9 triliun dari Rp 209,5 triliun menjadi Rp 221,4 triliun, tetapi biaya pendidikan terus meningkat, akibat belanja pendidikan yang tidak tepat sasaran. Kenaikan terebut merupakan amanat UUD 1945, yang mensyaratkan anggar-an pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Ironisnya lagi, kualitas pendidikan juga belum beranjak naik.
Berdasarkan data BPS, kenaikan biaya pendidikan pada Juli 2009 dibanding tahun 2000 mencapai 227 persen. Pada 2000, indeks harga biaya pendidikan berada di level 100, sedangkan pada 2009 mencapai 327. Kenaikan itu berada jauh di atas kenaikan harga secara umum yang mencapai 115 persen dan kenaikan harga pangan sebesar 122 persen. Sesuai inflasi, biaya pendidikan dari tahun ke tahun juga terus merangkak naik. Perencana Keuangan atau Financial Planner Aidil Akbar (Sindo, 2 Mei 2011) menjelaskan, inflasi yang merupakan kenaikan harga secara umum dan berkaitan dengan mekanisme pasar turut memengaruhi bidang pendidikan terutama dalam pembiayaan. Dia mengatakan, inflasi di Indonesia dalam waktu 10 tahun terakhir berkisar 12–15%. Sementara kenaikan biaya pendidikan setiap tahunnya mencapai 20%. Hal ini berarti kenaikan biaya pendidikan lebih tinggi daripada inflasi setiap tahunnya.
Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, meningkatnya indeks harga biaya pendidikan di tengah terus bertambahnya anggaran pendidikan yang disediakan APBN, disebabkan alokasi anggaran pendidikan itu yang tidak tepat sasaran. Akibatnya, tidak mampu mengurangi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan masyarakat. Setiap tahun ajaran baru, terjadi kenaikan laju inflasi yang cukup signifikan, khususnya disumbang sektor pendidikan. Jika demikian maka dapat disimpulkan bahwa unsur pemerataan dari alokasi anggaran pendidikan kurang memperhatikan kegiatan usaha ekonomi.
Trend Kenaikan Biaya Pendidikan
Dampak kenaikan biaya pendidikan memang akan paling terasa bagi para mahasiswa dari kalangan ekonomi rendah. Namun, imbas ini juga memengaruhi mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah. Meski keluarga dari kelompok ini mampu menyediakan biaya pendidikan putra-putrinya, tak urung kenaikan biaya pendidikan pun membuat mereka memutar otak. Sebab, biasanya mereka tidak memiliki banyak uang atau tidak menyediakan tambahan untuk kenaikan tersebut.
Apa yang terjadi Indonesia sungguh sebuah ironi, kenaikan anggaran pendidikan selalu diiringi kenaikan biaya pendidikan. Setiap tahun ajaran baru, semua orangtua bergegas, mengulangi ritual yang harus dijalaninya setiap tahun: menyiapkan sekolah untuk anak-anaknya dengan segala keluh-kesah yang terus berulang. Uang masuk, biaya gedung, biaya tahunan, biaya buku, biaya seragam, biaya kegiatan ekstra-kurikuler, dan aneka rincian biaya lain yang harus dibayarkan. Biaya terus membubung yang tak sama sekali tak ada kaitannya dengan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan meningkat atau tidak, biaya tetap harus naik.
Apa pun persoalannya, kenaikan biaya pendidikan yang terus berlangsung tiap tahun merupakan beban finansial dan psikologis bagi hampir semua orang tua siswa. Sebab, tidak banyak pilihan untuk menghindar. Tidak banyak pilihan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dengan biaya relatif murah.
Amanat UU Sistem Pendidikan Nasional tentang otonomi sekolah di satu pihak dan tanggung jawab bersama pemerintah, sekolah, keluarga, serta masyarakat untuk bertanggung renteng memajukan pendidikan nasional merupakan argumentasi yang umumnya digunakan menjustifikasi kenaikan biaya pendidikan. Lalu apakah tidak ada solusi untuk hal ini? Tentu  inilah yang selalu ada dibenak semua orang tua yang anaknya sedang mengenyam pendidikan.
Implikasi Kenaikan Biaya Pendidikan
Robert T. Kiyosaki, penulis buku “Rich Kid Smart Kid”: “Setiap pilihan mempunya konsekuensi. Jika kita tidak menyukai pilihan dan konsekuensinya, kita harus mencari sebuah pilihan baru dengan konsekuensi baru.” Inilah yang bisa kita lakukan sebagai orangtua dan anggota masyarakat yang berkepentingan atas pendidikan anak-anak kita? Sebagai orang tua kita harus dengan bijak dan cermat memilih sekolah bagi anak kita, tentu tidak semua sekolah yang mahal memiliki jaminan kualitas yang baik dan begitu pula sekolah yang murah belum tentu memiliki kualitas yang jelek.
Namun ternyata pernyataan ini berlaku di Indonesia manakala rasionalitas biaya pendidikan tak lagi terkait dengan kualitas output yang dihasilkannya. Biaya pendidikan hanya dihitung berdasarkan biaya produksi dan penyelenggaraan pendidikan. Semuanya terkait dengan inflasi dan kenaikan harga-harga barang, hingga asumsi bahwa biaya pendidikan di Indonesia yang dinilainya masih sangat murah mempengaruhi mutu dan daya saing. Tapi keterkaitannya dengan output pendidikan tak pernah dibicarakan sebagai sebuah pertanggung jawaban atas biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua. Ironinya, semua keluh-kesah itu terus berulang setiap tahun. Orangtua “dipaksa” untuk menerima dan menelan semua biaya yang diajukan oleh sekolah. Proses penyesuaian biaya tidak pernah terjadi pada sistem pendidikan, tetapi selalu orangtua yang menjadi korban dan harus menyesuaikan keuangan keluarga. Orangtua seolah tak berdaya dan tak memiliki pilihan selain menerima semuanya.
Menurut Sumardiono (sekolahrumah.com) menyatakan bahwa penyesuaian terus menerus yang dilakukan oleh orangtua itu dikhawatirkan akan menciptakan jebakan “katak rebus”. Jebakan katak rebus adalah sebuah teori manajemen mengenai matinya seseorang/sistem karena kemampuan menyesuaikan dirinya tak dapat lagi mengikuti tekanan eksternal yang diterimanya secara gradual. Ide mengenai teori “katak rebus” berasal dari percobaan seekor katak yang dimasukkan dalam bejana air dingin yang diletakkan di atas api. Seiring dengan meningkatnya suhu air yang ditempatinya, katak itu tak melompat untuk melarikan diri. Alih-alih, dia menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu air yang ada di sekitarnya. Demikian, air sedikit demi sedikit menjadi panas, demikian pun suhu tubuh katak. Ketika air semakin mendidih, katak tak lagi memiliki kekuatan untuk melompat. Matilah dia dalam rebusan air yang menjadi tempat hidupnya.
Tentu saja kita tak menginginkan orangtua dan keluarga Indonesia “mati” oleh tekanan sosial eksternal yang dialaminya dengan intensitas yang terus meningkat. Walaupun memiliki kemampuan adaptasi dan menyesuaikan diri, selalu ada batas alam sebelum ada kematian atau “ledakan”. Itulah pelajaran dan peringatan dari alam yang mengingatkan kita. Sekolah mungkin menolak kritik terhadap mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan yang harus ditanggung orangtua. Pemerintah pun terus berdalih kurangnya dana untuk anggaran di bidang pendidikan. Lalu, kemanakah kita harus mengadu?

From netsains.com

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More