Wednesday, August 17, 2011

Cerita Menulis Tesis (bagian 1)


Mulai semester ini mahasiswa bimbingan S3 meningkat menjadi 10 orang (peningkatan 150%) dari tahun lalu. Uniknya mereka mayoritas orang Indonesia yang berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan dan profesinya pun guru (baik di bawah Kemendiknas atau Kemenag).  Dari segi komunikasi jelas tidak bermasalah karena sama-sama paham Bahasa Indonesia, yang jadi kendala tentu hal yang klasik: kesiapan melakukan studi di tingkat doktoral. Maka acara berbagi pengalaman saat saya mengerjakan tesis dulu (walaupun konteksnya berbeda), menjadi hal yang diulang-ulang diceritakan ke mereka dengan harapan bisa punya gambaran dan mengambil pelajaran berharga serta tidak melakukan kekeliruan yang sama. Tapi rasanya memang apa yang diceritakan seperti ‘masuk telinga kiri, keluar dari telinga kanan’. Cara lain supaya mereka sedikit “nyahok” adalah dengan menuliskan pengalaman menulis tesis dulu di blog ini (dengan harapan mereka juga membacanya sehingga tidak perlu sampai meningkatkan dosis ‘ceramah motivasi’ yang memang akan membosankan kedua pihak).
Secara resmi saya memulai studi S3 pada April 2003, dapat beasiswa dari NZAID yang menyatakan bahwa tiga tahun harus selesai. Dosen pembimbing (supervisor) pun sudah ditentukan, yaitu dipilih berdasar bidang kepakaran yang akan diteliti dan sebisa mungkin punya pengalaman dalam dunia pendidikan di negara berkembang. Fakultas memilih Dr. Kabini Sangat sebagai pembimbing utama (namun setiap komunikasi tatap muka/elektronik cukup nyebut nama depannya saja tanpa perlu embel-embel Mr. Sanga atau Dr Kabini Sanga). Dia berasal dari negara Solomon Islands [relatif terbelakang dibanding Indonesia], punya pengalaman bekerja sebagai kepala sekolah, birokrat pendidikan dan peneliti di Canada sebelum akhirnya kerja sebagai dosen di Victoria University of Wellington (VUW) di Selandia Baru. Pertemuan pertama dengannya bertukar pengalaman dan menjelaskan topik riset yang akan saya lakukan, serta menjelaskan tentang Indonesia dan dunia pendidikannya. Sarannya singkat saja, siapkan proposal dan dia akan cari pembimbing kedua yang akan ikut membantu.
Studi S3 di universitas di Selandia Baru (juga Australia dan tentu saja di Malaysia) sifatnyafull research, dimana tidak ada kelas yang harus diikuti. Sejak pertama kali secara resmi terdaftar, maka semua hal dilakukan sendiri, biasanya kontak dengan supervisor bila memang ada masalah. Kalau pun banyak meminta nasehat dan petatah-petitih dalam menyelesaikan masalah, maka pembimbing pun akan menilai bahwa kita memang tidak siap untuk studi doktoral, dan dianggap tidak independen dalam studi.  Sebagai mahasiswa S3, kita dianggap setara dengan staf dosen, atau lebih tepatnya sedang menjalani magang sebagai peneliti. Maka fasilitas untuk studi pun diberikan mirip seperti dosen, dikasih ruangan kerja, komputer dan akses internet, akses ke mesin fotocopy, jumlah buku yang bisa dipinjam di perpustakaan sampai kepada dana riset untuk pengumpulan data di lapangan.
Dalam keadaan yang ‘linglung’ dan dianggap mandiri dalam melakukan kerja, maka cara yang dilakukan adalah membaca buku ringan tentang bagaimana supaya sukses dalam studi PhD. Dua nasehat yang terus membekas sampai sekarang adalah: pertama, untuk bisa menyusun tesis dalam bidang riset kita, maka pelajari lah dengan seksama tesis yang telah dinyatakan lulus dalam bidang tersebut; kedua, jaga hubungan baik dan lakukan lah kontak secara teratur dengan pembimbing, dan dokumentasikan segala hal itu dengan baik [untuk sebagai bukti bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan].
Sesuai dengan nasihat bijak tersebut, maka dimulai lah perburuan mencari tesis dalam bidang riset kita yang bisa dijadikan pedoman bagi penulisan tesis nantinya. Saat ini untuk mendapatkan info mengenai tesis tidak begitu sulit, database di perpustakaan bisa memberikan daftar judul tesis berdasarkan kata kunci yang diberikan dalam hitungan detik. Namun laman web favorit adalah dengan mengandalkan Te Puna, yaitu website National Library of New Zealand; berhubung dengan akses Te Puna maka semua karya tulis seluruh New Zealand terpangpang dengan mudah dan hard copy-nya pun bisa didapatkan dengan cara pemesanan Inter-library loan. Pernah mendapati beberapa hasil penelitian yang menarik ternyata menjadi koleksi di satu perpustakaan di universitas di Australia, namun untuk mendapatkan aksesnya disamping mahal juga lelet (menunggu sampai tiga bulanan), malah ada beberapa yang tidak boleh dipinjam keluar Australia sama sekali [walaupun New Zealand adalah sekutu paling terpercaya, namun dalam urusan riset tidak menjadikan hal itu 'akrab' dan bebas berbagi].
Setelah baca berbagai tesis dengan perkiraan menarik dari judulnya, akhirnya didapati tiga buah tesis S3 dijadikan rujukan. Yang pertama adalah tesis mengenai riset pengajaran bahasa Inggris di Indonesia, yang kedua  penelitian tentang devolusi pendidikan di satu negara kepulauan pasifik dan ketiga adalah disertasi mengenai perubahan radikal kebijakan penilaian pendidikan yang terjadi di Selandia Baru. Secara teliti dipelajari lah tiga tesis berbahasa Inggris itu untuk didapatkan strukturnya, cara mereka menuliskan pertanyaan riset, metodologi yang dipakai, bahasa ekspresi dan argumen yang dipakai, style penulisan dan pengutipan dan hal detail lainnya. Bisa dikatakan mempelajari ini diperlukan waktu hampir dua bulan penuh (disamping juga membaca rujukan untuk kajian pustaka), sampai dikira paham dengan sepenuhnya dan bisa menuliskan karya saya sendiri seperti ketiga tesis tersebut (tentu kemudian didapati bahwa apa yang disebut ‘paham’ masih dalam taraf awal, saat mulai menulis draft tesis kesulitan mengeksplorasi dan sesuai standar untuk tesis S3 terjadi di berbagai kesempatan; untungnya ada referensi yang bisa terus digunakan, yaitu membaca kembali ketiga tesis itu).
Mengenai pembimbing kedua yang saya sangka urusannya enteng ternyata bertele-tele dan kadang bikin repot, malah akhirnya sampai mengalami tiga orang dosen lain sebagai second supervisor ini. Yang pertama, lelaki orang kulit putih (di New Zealand disebut pakeha) ternyata hanya sempat diskusi bersama satu kali saja, berhubung bulan berikutnya dia memilih kerja sebagai dosen di Irlandia; yang kedua perempuan (pakeha), beliau malah tahu sejarah Indonesia dan beberapa kali pergi ke Sumatera Utara karena dia aktivis kristen, namun di tengah jalan beliau tidak bisa melanjutkan membimbing berhubung memilih pensiun. Yang ketiga dan terakhir, lelaki pakeha juga, walaupun kepakarannya beda namun sedikit bawel dan banyak mengkritisi (lebih tepatnya mengejek) tulisan English saya (yang memang jelek). Bila disuruh memilih, saya menyukai kerja dengan pembimbing yang perempuan, walaupun saat diskusi selalu dipojokan, dan mengkritisi hebat pola pikir saya, namun saya belajar banyak dari beliau tentang bagaimana menulis dalam English, dan selalu mengingatkan melalui email secara reguler tentang apa yang dikerjakan dan seberapa jauh kemajuan studi yang didapat. Keberadaan pembimbing keduanya tentu membantu kalau yang pertama ‘kerepotan’, namun pernah dalam tempo selama empat bulan, tidak bertemu dengan kedua pembimbing sekaligus berhubung yang pertama sedang cuti sabatikal dengan mengajar di universitas di Canada dan yang kedua melakukan tugas sebagai aktivitis-nya di India, sehingga satu-satunya tetap kontak adalah berkirim email tentang apa yang saya kerjakan (kemudahan yang lima belas tahun dulu belum ada).
Mulailah pada bulan Mei 2003 merancang proposal dan menuliskan isinya. Di fakultas tempat saya terdaftar, rata-rata mahasiswa menyelesaikan proposal dalam waktu satu semester (6 bulanan), dan isi proposal nantinya adalah bab pertama dari tesis. Isinya pun kurang lebih harus menunjukkan kajian literatur yang ‘terlihat bentuknya’ untuk dikembangkan menjadi bab kajian pustaka dan metodologi. Proses menulis proposal tentu tidak sekaligus, namun dicicil dengan mencomot dari berbagai sumber bacaan yang relevan, dituliskan, dikirim via email untuk minta komentar dan kritik; selanjutnya diskusi tatap muka (paling tidak sebulan sekali) dan hasil akhirnya adalah dicorat-coret, perbaikan, revisi dan perbaikan lagi. Pada waktu bulan ke-empat bentuk proposal sudah nampak yang tidak lain merupakan upaya revisi sampai dua belas kali dari pertama kali dibuat.
Pada saat itu, kedua dosen pembimbing memutuskan bahwa proposal sudah dianggap matang, dan perlu disiapkan instrumen riset yang sesuai dengan apa yang dituliskan di proposal. Di mulailah perburuan melengkapi dan mencari bentuk instrumen riset yang pas, yaitu melalui kuesioner dan wawancara, khususnya detail pertanyaan dan prosedur pengumpulan data. Beberapa kali draft diajukan, dan diakhiri dengan coretan ketidaksetujuan dan singkatnya ditolak, sampai akhirnya didapati model kuesioner yang cocok dan daftar pertayaan untuk wawancara yang tepat. Proposal lengkap dengan instrumen riset itu diajukan ke komisi etik fakultas untuk mendapatkan persetujuan boleh tidaknya pengumpulan data lapangan dilakukan, dalam hal ini mahasiswa tidak perlu tampil untuk presentasi, cukup diwakili oleh supervisor saja (sistem yang simpel dan berdasar kepercayaan).
Komisi etik menilai apakah isi riset dan prosedur pengumpulan datanya mengandung hal yang ‘berbahaya’, maksudnya apakah isinya sensitif, diskriminatif atau sejenisnya. Terus juga menanyakan bagaimana memperlakukan pendapat yang didapat dari responden, dalam hal ini kebijakan universitas sangat tegas, bahwa responden berhak atas consent (dengan ijin) untuk berpartisipasi, confidential (rahasianya dijaga dengan baik) dan anonymous (tidak ada satu hal yang bisa mengindikasikan identitas responden). Dalam waktu satu minggu keputusan persetujuan sudah didapat dan supervisor mengatakan bahwa secara resmi saya sekarang adalah doctorate candidate. Dan proposal yang diajukan bisa dikatakan adalah ‘kontrak tertulis’ tantara si mahasiswa dengan universitas. Maka tahapan pertama menulis tesis berhasil dijalani. [bersambung]

From netsains.com

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More