Berbagai kekhwatiran yang muncul terhadap produk transgenik merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat sejumlah pernyataan aman dari lembaga resmi internasional, seperti WHO (World Health Organization) dan FAO (Food and Agriculture Organization).
Masyarakat Amerika Serikat sejak tahun 1996 telah mengkonsumsi kedelai transgenik dan hingga kini tidak ada laporan dampak negatif yang timbul akibat mengonsumsinya. Masyarakat Eropa yang pada awalnya menentang produk transgenik kini sudah mulai menerima ditandai dengan adanya pernyataan dari Komisi Pusat Masyarakat Eropa di Brussel pada bulan Oktober 2001. Berdasar hasil dari 18 proyek penelitian selama 15 tahun, terbukti tidak ada risiko bagi kesehatan manusia dan lingkungan yang ditimbulkan dari tanaman hasil modifikasi genetika.
Sementara itu, Dr. Bruce Chassy dari University of Illinois menyatakan bahwa tanaman yang dihasilkan melalui bioteknologi telah terbukti aman sebagaimana halnya dengan tanaman yang dihasilkan dari pemuliaan konvensional. Lebih jauh ia mengupas bahwa tanaman ini bahkan dapat lebih aman, penggunaan kapas Bt contohnya. Kapas ini lebih sedikit menggunakan pestisida jadi lebih sedikit paparan pestisidanya terhadap petani, lingkungan sekitar dan organisme nontarget. Artikel Chassy yang berjudul "Evaluasi Keamanan Pangan Hasil Bioteknologi" telah diterbitkan dalam jurnal American College of Nutrition, vol. 21, nomor 3 (2002). Ia menggambarkan proses evaluasi makanan bioteknologi sebelum tanaman itu disetujui untuk komersialisasi. Ia memberikan analogi tentang pendekatan wait and see terhadap teknologi ini.
Ia mengatakan bahwa Amerika pernah menunggu untuk mengumpulkan bukti bahwa mereka tidak akan memanfaatkan kereta api karena perjalanannya yang pertama tidak aman dan bahkan mematikan. Ia juga mengatakan bahwa kita juga pernah mengabaikan listrik karena banyaknya kebakaran, luka dan korban jiwa saat pertama kali digunakan. "Kebalikannya, tanaman bioteknologi telah dicoba selama lima tahun dan tidak ada satu laporanpun yang menyakinkan seorang ilmuwan untuk mempertanyakan keamanan tanaman transgenik ini," ujar Chassy.
Pelajaran yang dapat dipetik adalah kita harus menganalisis dan mengambil keputusan tentang keamanan suatu produk dari pemanfaatannya ketimbang teknologi itu sendiri. Negara pengembang Bukan hanya negara-negara di Amerika dan Eropa, negara-negara di Asia pun kini mulai bersaing dalam industri bioteknologi. Menteri Ilmu Penggetahuan dan Teknologi Republik Korea, Seo Jung-Uck, telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan peringkat negara tersebut dalam hal bioteknologi dari peringkat 14 menjadi ke-7 pada tahun 2010. Ia juga mencanangkan tahun ini sebagai "Tahun Bioteknologi" yang akan membantu para pengusaha, ilmuwan, dan teknisi untuk merampungkan 600 usaha patungan bioteknologi sampai akhir tahun ini. Dalam rapat kebijakan tahunan, Menteri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Seo Jung-Uck melaporkan rencana pengembangan industri bioteknologi ini kepada Presiden Kim Dae Jung.
Menteri ini mengalokasikan dana sebesar 323,8 milyar won (259 juta dolar AS) untuk penelitian dn pengembangan bioteknologi DNA, protein, dan bioinformasi. Menteri juga mengumumkan rencana untuk mendirikan Pusat Penelitian Genetik Nasional dan membuat aturan mengenai etika ilmiah dalam rangka memberikan dasar bagi penelitian genom. Sementara itu, Science Magazine edisi Januari 2002 mengungkapkan saat ini Cina sedang mengembangkan secara besar-besaran produk bioteknologi, tidak ada satu pun negara di luar Amerika Utara yang bisa menandinginya, termasuk di dalamnya pengembangan tanaman pangan GM seperti padi, gandum, kacang tanah, dan kentang.
Dengan jumlah staf peneliti mendekati 2.000 orang dan anggaran untuk tahun 1999 sebesar 112 juta dolar AS, Cina sedang mengerjakan program pengembangan tanaman bioteknologi terbesar di dunia. Suatu survei yang diselenggarakan oleh suatu tim dari University of California menunjukkan bahwa peneliti Cina mempunyai 141 tanaman GM untuk dikembangkan, menurut laporan Jurnal Science. Dari 141 tanaman, 65 di antaranya telah disetujui untuk di lepas ke lingkungan. Bagaimanapun, survei terbaru ini menunjukkan bahwa China's Institutes sedang memusatkan pengembangan pada tanaman pangan yang dapat ditanam oleh petani kecil dan miskin, yakni tanaman pangan tersebut tidak dikembangkan oleh negara-negara maju.
Penelitian yang didukung oleh para penasehat pemerintah akan menekankan bahwa tanaman GM membutuhkan lebih sedikit bahan kimia untuk tumbuh, dan uji coba yang dilaksanakan tidak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan dan tidak ada resiko yang telah diketahui terhadap manusia.
Coba kita cermati apa yang dikatakan William Shakespeare dalam Measure for Measure, keraguan adalah pengkhianatan, membuat kita kehilangan peluang untuk menang karena rasa takut untuk mencoba. Bagaimana dengan di Indonesia? Sudah saatnya diperlukan ketegasan pemerintah untuk menyatakan kesiapan Indonesia dalam penerimaan teknologi rekayasa genetika selain itu juga memberikan bimbingan kepada produsen benih guna memproduksi benih transgenik.***
Sumber: netsains.com
Masyarakat Amerika Serikat sejak tahun 1996 telah mengkonsumsi kedelai transgenik dan hingga kini tidak ada laporan dampak negatif yang timbul akibat mengonsumsinya. Masyarakat Eropa yang pada awalnya menentang produk transgenik kini sudah mulai menerima ditandai dengan adanya pernyataan dari Komisi Pusat Masyarakat Eropa di Brussel pada bulan Oktober 2001. Berdasar hasil dari 18 proyek penelitian selama 15 tahun, terbukti tidak ada risiko bagi kesehatan manusia dan lingkungan yang ditimbulkan dari tanaman hasil modifikasi genetika.
Sementara itu, Dr. Bruce Chassy dari University of Illinois menyatakan bahwa tanaman yang dihasilkan melalui bioteknologi telah terbukti aman sebagaimana halnya dengan tanaman yang dihasilkan dari pemuliaan konvensional. Lebih jauh ia mengupas bahwa tanaman ini bahkan dapat lebih aman, penggunaan kapas Bt contohnya. Kapas ini lebih sedikit menggunakan pestisida jadi lebih sedikit paparan pestisidanya terhadap petani, lingkungan sekitar dan organisme nontarget. Artikel Chassy yang berjudul "Evaluasi Keamanan Pangan Hasil Bioteknologi" telah diterbitkan dalam jurnal American College of Nutrition, vol. 21, nomor 3 (2002). Ia menggambarkan proses evaluasi makanan bioteknologi sebelum tanaman itu disetujui untuk komersialisasi. Ia memberikan analogi tentang pendekatan wait and see terhadap teknologi ini.
Ia mengatakan bahwa Amerika pernah menunggu untuk mengumpulkan bukti bahwa mereka tidak akan memanfaatkan kereta api karena perjalanannya yang pertama tidak aman dan bahkan mematikan. Ia juga mengatakan bahwa kita juga pernah mengabaikan listrik karena banyaknya kebakaran, luka dan korban jiwa saat pertama kali digunakan. "Kebalikannya, tanaman bioteknologi telah dicoba selama lima tahun dan tidak ada satu laporanpun yang menyakinkan seorang ilmuwan untuk mempertanyakan keamanan tanaman transgenik ini," ujar Chassy.
Pelajaran yang dapat dipetik adalah kita harus menganalisis dan mengambil keputusan tentang keamanan suatu produk dari pemanfaatannya ketimbang teknologi itu sendiri. Negara pengembang Bukan hanya negara-negara di Amerika dan Eropa, negara-negara di Asia pun kini mulai bersaing dalam industri bioteknologi. Menteri Ilmu Penggetahuan dan Teknologi Republik Korea, Seo Jung-Uck, telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan peringkat negara tersebut dalam hal bioteknologi dari peringkat 14 menjadi ke-7 pada tahun 2010. Ia juga mencanangkan tahun ini sebagai "Tahun Bioteknologi" yang akan membantu para pengusaha, ilmuwan, dan teknisi untuk merampungkan 600 usaha patungan bioteknologi sampai akhir tahun ini. Dalam rapat kebijakan tahunan, Menteri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Seo Jung-Uck melaporkan rencana pengembangan industri bioteknologi ini kepada Presiden Kim Dae Jung.
Menteri ini mengalokasikan dana sebesar 323,8 milyar won (259 juta dolar AS) untuk penelitian dn pengembangan bioteknologi DNA, protein, dan bioinformasi. Menteri juga mengumumkan rencana untuk mendirikan Pusat Penelitian Genetik Nasional dan membuat aturan mengenai etika ilmiah dalam rangka memberikan dasar bagi penelitian genom. Sementara itu, Science Magazine edisi Januari 2002 mengungkapkan saat ini Cina sedang mengembangkan secara besar-besaran produk bioteknologi, tidak ada satu pun negara di luar Amerika Utara yang bisa menandinginya, termasuk di dalamnya pengembangan tanaman pangan GM seperti padi, gandum, kacang tanah, dan kentang.
Dengan jumlah staf peneliti mendekati 2.000 orang dan anggaran untuk tahun 1999 sebesar 112 juta dolar AS, Cina sedang mengerjakan program pengembangan tanaman bioteknologi terbesar di dunia. Suatu survei yang diselenggarakan oleh suatu tim dari University of California menunjukkan bahwa peneliti Cina mempunyai 141 tanaman GM untuk dikembangkan, menurut laporan Jurnal Science. Dari 141 tanaman, 65 di antaranya telah disetujui untuk di lepas ke lingkungan. Bagaimanapun, survei terbaru ini menunjukkan bahwa China's Institutes sedang memusatkan pengembangan pada tanaman pangan yang dapat ditanam oleh petani kecil dan miskin, yakni tanaman pangan tersebut tidak dikembangkan oleh negara-negara maju.
Penelitian yang didukung oleh para penasehat pemerintah akan menekankan bahwa tanaman GM membutuhkan lebih sedikit bahan kimia untuk tumbuh, dan uji coba yang dilaksanakan tidak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan dan tidak ada resiko yang telah diketahui terhadap manusia.
Coba kita cermati apa yang dikatakan William Shakespeare dalam Measure for Measure, keraguan adalah pengkhianatan, membuat kita kehilangan peluang untuk menang karena rasa takut untuk mencoba. Bagaimana dengan di Indonesia? Sudah saatnya diperlukan ketegasan pemerintah untuk menyatakan kesiapan Indonesia dalam penerimaan teknologi rekayasa genetika selain itu juga memberikan bimbingan kepada produsen benih guna memproduksi benih transgenik.***
Sumber: netsains.com
0 comments:
Post a Comment