Komisi Nasional Perlindungan Anak menilai Ujian Nasional yang diselengjian nasional teror psikis pemerintah pada anak," ujar Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kamis 14 April 2011. Komnas mendesak ujian nasional harusnya hanya untuk menentukan nilai sekolah bukan nilai kelulusan siswa, dikarenakan ada ketimpangan pendidikan antara sekolah di kota besar dan di daerah. "Sekolah saat ini hanya sekedar tempat bimbingan belajar. Sekolah harusnya menjadi tempat yang menyenangkan," ujarnya.
Ia mengatakan, kalau UN terus dilakukan maka Negara melakukan teror terhadap siswa dan melanggar undang undang tentang perlindungan anak soal kekerasan psikis, mental dan emosi."Belajar harusnya lebih fokus sesuai minat dan bakat siswa," ujarnya.
Komnas sendiri mengkritisi adanya Istigosah massal setiap kali menjelang ujian nasional. Sebab, kata dia, sekolah, siswa dan orang tua siswa ikut stres dengan adanya ujian nasional. Apalagi pelaksanaa UN juga di pantau oleh kepolisian. "Format UN yang di klaim baru oleh pemerintah tidak ada bedanya. Kelulusan tetap ditentukan oleh 120 menit."
Muhamad Abduhzen Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI) mengatakan, nilai ujian nasional tetap menentukan kelulusan siswa walaupun 40 persen nilai UN diambil dari nilai sekolah. Tapi, kata dia, hal itu tidak akan signifikan menaikan nilai siswa."Ujian nasional tahun ini signifikasi ketidaklulusannya akan tinggi," katanya.
Untuk itu, kata dia, PGRI mendesak pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan tidak terpaku pada nilai kelulusan siswa. Adanya ujian nasional itu, ata dia juga menjadi hidden curiculum dan menimbulkan mental korup karena adanya kecurangan bersama. "UN ini kacau, karena mencapur adukan antara pementaan mutu dan hasil belajar."
Karena itu, kata dia, PGRI mendesak agar ujian nasional tahun 2011 harus menjadi ujian nasional terakhir. Dengan adanya ujian nasional, kata Abduhzen, siswa kelas tiga selama satu semester hanya melakukan kegiatan uji coba (try out) menjawab soal ujian nasional."Itu tidak baik dan buruk," katanya.
Sumber: http://www.tempointeraktif.com
Ia mengatakan, kalau UN terus dilakukan maka Negara melakukan teror terhadap siswa dan melanggar undang undang tentang perlindungan anak soal kekerasan psikis, mental dan emosi."Belajar harusnya lebih fokus sesuai minat dan bakat siswa," ujarnya.
Komnas sendiri mengkritisi adanya Istigosah massal setiap kali menjelang ujian nasional. Sebab, kata dia, sekolah, siswa dan orang tua siswa ikut stres dengan adanya ujian nasional. Apalagi pelaksanaa UN juga di pantau oleh kepolisian. "Format UN yang di klaim baru oleh pemerintah tidak ada bedanya. Kelulusan tetap ditentukan oleh 120 menit."
Muhamad Abduhzen Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI) mengatakan, nilai ujian nasional tetap menentukan kelulusan siswa walaupun 40 persen nilai UN diambil dari nilai sekolah. Tapi, kata dia, hal itu tidak akan signifikan menaikan nilai siswa."Ujian nasional tahun ini signifikasi ketidaklulusannya akan tinggi," katanya.
Untuk itu, kata dia, PGRI mendesak pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan tidak terpaku pada nilai kelulusan siswa. Adanya ujian nasional itu, ata dia juga menjadi hidden curiculum dan menimbulkan mental korup karena adanya kecurangan bersama. "UN ini kacau, karena mencapur adukan antara pementaan mutu dan hasil belajar."
Karena itu, kata dia, PGRI mendesak agar ujian nasional tahun 2011 harus menjadi ujian nasional terakhir. Dengan adanya ujian nasional, kata Abduhzen, siswa kelas tiga selama satu semester hanya melakukan kegiatan uji coba (try out) menjawab soal ujian nasional."Itu tidak baik dan buruk," katanya.
Sumber: http://www.tempointeraktif.com
0 comments:
Post a Comment