Ada yang membuat saya trenyuh. Pemandangan tiga remaja puteri bersepeda motor, namun tak satupun memakai helm sebagai pelindung kepala.
Salah satu potret kehidupan masyarakat kita tersebut, saya temui di sekitar Jl Raya Parung, Depok, Sabtu (5/3/2011). Tentu saja, pemandangan serupa amat mudah kita jumpai diberbagai pelosok negara kita. Tak hanya anak-anak dan remaja, bahkan para orang tua pun ada yang lupa memakai helm ketika bersepeda motor.
Pengalaman saya mengajak anak remaja saya untuk memakai helm juga tidak mudah dan butuh waktu. Saat saya bonceng, dia manut untuk memakai helm. Namun, kadang ketika naik ojek motor untuk pergi les, kadang saya diberi tahu dia tidak memakai helm. Alasannya, tukang ojek gak ada helm cadangan. Atau, males bawa helm ke ruang les. Setelah melalui proses cukup panjang, termasuk dengan memberikan berbagai contoh dampak luka di kepala akibat tidak memakai helm, anak remaja saya perlahan memahami pentingnya helm.
Menanamkan pemahaman pentingnya memakai helm dan menempatkan helm sebagai kebutuhan ketika bermotor, memang mesti tekun. Ajakan sejak dini pada anak-anak merupakan langkah penting. Ketika sejak anak-anak terbiasa memakai helm, ketika beranjak remaja dan dewasa, kebiasaan itu lebih mudah tertanam di benak seseorang.
Kita semua tahu bahwa helm bisa melindungi risiko lebih fatal. Benturan di kepala akibat insiden kecelakaan bersepeda motor bisa menimbulkan luka fatal. Helm menjadi bagian dari upaya kita melindungi diri. Mengurangi risiko jika terjadi kecelakaan. Kepala merupakan organ sangat penting bagi kita. Harganya tak ternilai. Apalagi jika dibandingkan dengan sebuah helm.
Di sisi lain, kita juga tahu bahwa ada aturan soal pemotor dan yang dibonceng untuk wajib memakai helm. UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) mencantumkan sanksi maksimal denda Rp 250 ribu atau kurungan badan maksimal satu bulan. Aturan dalam UU tersebut sesungguhnya lebih ringan jika dibandingkan UU 14/1992 tentang LLAJ. Dalam UU No 14/1992 sanksi maksimal tidak memakai helm sebesar Rp 1 juta.
Okelah kalau soal sanksi hukum. Uang bisa dicari, tapi kalau soal keselamatan? Rasanya, ikhtiar menjadi penting. Memakai helm hanya satu langkah kecil, tapi bisa berdampak besar. Saat ini, kita dengan mudah menemui para penjual helm, termasuk di super market.
Sumber: netsains.com
Salah satu potret kehidupan masyarakat kita tersebut, saya temui di sekitar Jl Raya Parung, Depok, Sabtu (5/3/2011). Tentu saja, pemandangan serupa amat mudah kita jumpai diberbagai pelosok negara kita. Tak hanya anak-anak dan remaja, bahkan para orang tua pun ada yang lupa memakai helm ketika bersepeda motor.
Pengalaman saya mengajak anak remaja saya untuk memakai helm juga tidak mudah dan butuh waktu. Saat saya bonceng, dia manut untuk memakai helm. Namun, kadang ketika naik ojek motor untuk pergi les, kadang saya diberi tahu dia tidak memakai helm. Alasannya, tukang ojek gak ada helm cadangan. Atau, males bawa helm ke ruang les. Setelah melalui proses cukup panjang, termasuk dengan memberikan berbagai contoh dampak luka di kepala akibat tidak memakai helm, anak remaja saya perlahan memahami pentingnya helm.
Menanamkan pemahaman pentingnya memakai helm dan menempatkan helm sebagai kebutuhan ketika bermotor, memang mesti tekun. Ajakan sejak dini pada anak-anak merupakan langkah penting. Ketika sejak anak-anak terbiasa memakai helm, ketika beranjak remaja dan dewasa, kebiasaan itu lebih mudah tertanam di benak seseorang.
Kita semua tahu bahwa helm bisa melindungi risiko lebih fatal. Benturan di kepala akibat insiden kecelakaan bersepeda motor bisa menimbulkan luka fatal. Helm menjadi bagian dari upaya kita melindungi diri. Mengurangi risiko jika terjadi kecelakaan. Kepala merupakan organ sangat penting bagi kita. Harganya tak ternilai. Apalagi jika dibandingkan dengan sebuah helm.
Di sisi lain, kita juga tahu bahwa ada aturan soal pemotor dan yang dibonceng untuk wajib memakai helm. UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) mencantumkan sanksi maksimal denda Rp 250 ribu atau kurungan badan maksimal satu bulan. Aturan dalam UU tersebut sesungguhnya lebih ringan jika dibandingkan UU 14/1992 tentang LLAJ. Dalam UU No 14/1992 sanksi maksimal tidak memakai helm sebesar Rp 1 juta.
Okelah kalau soal sanksi hukum. Uang bisa dicari, tapi kalau soal keselamatan? Rasanya, ikhtiar menjadi penting. Memakai helm hanya satu langkah kecil, tapi bisa berdampak besar. Saat ini, kita dengan mudah menemui para penjual helm, termasuk di super market.
Sumber: netsains.com
0 comments:
Post a Comment