Sudah sepekan terakhir ini, saya diminta seorang teman lab (satu supervisor) untuk mendampinginya dalam pekerjaan lab. Dari pengalaman ini, saya mendapatkan sekelumit cerita yang mungkin menarik para pembaca sekalian.
Teman saya, yang berinisial NCH, adalah seorang thésarde (sebutan untuk pelajar S3 di Perancis) yang berasal dari negeri Gajah Putih. Penelitian beliau terfokus kepada Embriogenesis Somatik (ES) Tanaman Karet. Tujuan penelitian beliau adalah menemukan faktor kunci teknik ES yang ternyata berbeda untuk tiap jenis tanaman karet. Sayangnya dikarenakan perubahan politik di negaranya dan juga kerjasama antara Perancis dan Negeri Gajah Putih, beliau harus merubah tema penelitian, menjadi lebih ke Biologi Molekuler.
Rasanya, teman-teman Biologi dahulu sangat familiar dengan kata ‘Biologi Molekuler’ yang membahas tentang DNA, RNA, mikro RNA, mekanisme transkripsi, translasi, ekspresi gen, transgenik, modifikasi protein. Ini merupakan mata kuliah momok kala itu.
Nah, teman saya ini, tidak memiliki background sedikit pun di bidang ini, yang ternyata sangat membuat beliau kesulitan. Terbayang betapa frustasi-nya beliau. Pada akhirnya, supervisor beliau yang kebetulan juga supervisor saya meminta saya secara ekslusif (wuiihh, haha) mendampingi beliau. Tentu saja, berniat baik saya mengatakan ‘iya’, tanpa berfikir sedangkal apa pengetahuan beliau ini terhadap Biologi Molekuler.
Apa yang saya takutkan terjadi, bahkan untuk melakukan aktivitas pipet yang sederhana saja, beliau ini sungguh kesulitan. Alhasil, saya harus mengajarkan pada beliau mulai dari teknik mendasar, bagaimana memipet. Beberapa kali beliau tidak siap berada di lab, seperti belum memiliki kesadaran untuk mempersiapkan segala keperluan (reagen, alat-alat, etc) sebelum memulai kegiatan lab. Saya terus dengan sabar mengingatkan setiap saat.
Suatu ketika di minggu kemarin, beliau ini salah memipet sampel atau singkatnya, beliau mengkontaminasi RNA sampel. Saya melihat betapa paniknya wajah beliau dan sepertinya ingin menangis. Kali ini saya harus maju dengan filosofi-filosofi tentang bagaimana kesalahan itu wajar terjadi di lab, walau dalam hati, saya berujar berbeda ‘ampun, itu kan sampel satu-satunya’. Saya keep kejadian ini dari supervisor saya. Bilamana dia tahu, pastilah angkara murka.
Hari ini, tugas saya menemani beliau selesai dan entah kenapa saya merasakan lelah yang sangat. Beliau akhirnya paham dan mengerti mengenai prinsip yang kami lakukan di lab. Lalu, apa sih sebenarnya yang ingin saya bagi dengan para pembaca ? Yaitu bahwa, terkadang kita ini dengan mudah meremehkan pekerjaan yang bernama ‘mengajar’. Saya merasakan sendiri, mengajar, hanya satu orang saja itu sungguh sebuah perjuangan. Sulit.
Seorang teman saya, dosen, pernah mengatakan, ‘memberikan kuliah kepada mahasiswa itu mudah, tetapi membuat mereka mengerti itu pekerjaan lain’. Ya, saya paham sekali. Itulah sebabnya, tidak semua orang berbakat dalam menyebarkan ilmu yang mereka miliki, secerdas apapun mereka. Karena memang mengajar itu sebuah aktivitas yang spesial.
Mengajar sama sekali tak mudah, jika kau ingin merasakannya, kau harus pernah menjadi seorang murid yang “belum tau apa-apa”, lalu ketika sudah pintar kau mengajar orang lain, baru kau akan merasakannya sendiri… Prof. Dr. Soekarti Moeljopawiro, Fak. Biologi UGM.Jadi, marilah kita menghargai siapapun pengajar kita, hormati dan berusaha memahami ilmu yang sedang mereka sampaikan. Tidak menutup kemungkinan hanya untuk para guru dan dosen kita, namun juga ilmu non formal yang kita peroleh lewat kehidupan sehari-hari.
Sumber: netsains.com
0 comments:
Post a Comment