Peran ilmu pengetahuan dalam meningkatkan kualitas hidup manusia memang mengagumkan. Bayangkan, dengan ilmu bioteknologi, tanaman bisa disulap menjadi pabrik obat. Lho, apa maksudnya? Mari ikuti artikel berikut.
Ilmu bioteknologi kini tengah menapaki generasi ketiga dalam perkembangannya. Pada mulanya, generasi pertama bioteknologi hanya meningkatkan efisiensi produksi tanaman, kemudian generasi kedua bioteknologi mulai menambahkan nilai produk pangan dengan tambahan nutrisi. Generasi ketiga bioteknologi mulai memanfaatkan tanaman seperti jagung, tembakau, padi dan kacang sebagai pabrik penghasil protein untuk keperluan pengobatan, seperti antibodi monoklonal, enzim dan protein darah. Protein terapeutik ini dikenal dengan nama Plant Made Pharmaceutical (PMP). Pada PMP, para peneliti menempatkan gen pengkode protein yang berfungsi medis ke dalam suatu tanaman, lantas tanaman itu digunakan sebagai mesin pemroduksi protein tersebut. Jadi plant-made pharmaceuticals ini tidak dikonsumsi secara langsung dengan memakan mentah-mentah suatu tanaman.
Penelitian tentang plant-made pharmaceuticals ini merupakan ide yang relatif baru dalam 10 tahun terakhir. Penelitian ini ditumbuhkembangkan oleh beberapa perusahaan dan sekitar 20-an universitas di seluruh dunia. Pada tahun 2006, sebuah vaksin yang dihasilkan dari tumbuhan telah mendapat persetujuan dari pihak berwenang untuk dipasarkan. FDA dan USDA (Badan POM dan Departemen Agrikultur Amerika) sangat gencar melakukan penelitian ini. Demikian pula dengan Kanada dan negara-negara Eropa serta beberapa negara di Asia. Ini tidak lepas dari meningkatnya kebutuhan akan protein terapeutik di dunia pengobatan modern.
Penyembuh
Protein terapeutik yang dihasilkan dapat berguna untuk penyakit seperti Alzheimer, kanker, COPD (chronic obstructive pulmonary disease), Crohn, cystic fibrosis, diabetes, penyakit jantung, penyakit ginjal, multiple sclerosis, obesitas, rheumatoid arthritis, cedera sumsum tulang belakang dan sebagainya. Beberapa plant-made pharmaceuticals telah diuji klinis pada manusia untuk pengobatan cystic fibrosis, suatu penyakit genetik yang menyebabkan tubuh memproduksi mukosa berlebihan sehingga menyelimuti paru-paru dan pankreas, ini menyebabkan terhambatnya sekresi enzim-enzim pencernaan. Untuk itu diperlukanlah enzim pencernaan (seperti lipase) yang dapat diperoleh dari tanaman yang telah dimodifikasi secara genetik. Saat ini obat-obat berbasis protein sudah memasuki pasar dan masih banyak yang sedang berada dalam pengujian klinis tahap akhir. Meningkatnya kebutuhan persediaan protein terapeutik menyebabkan diperlukannya suatu alternatif cara produksi protein yang efisien, efektif dan lebih produktif dari sebelumnya.
Produksi Protein
Pada dasarnya terdapat beberapa cara memproduksi protein, yakni menggunakan mamalia, kultur sel mikrobial atau tanaman. Menurut Roger Beachy, Ph.D., presiden dari Donald Danforth Plant Science Center, tanaman adalah produsen protein yang paling efisien di muka bumi. Sebagai pabrik penghasil protein, tanaman memiliki beberapa keunggulan karena hanya membutuhkan modal yang sederhana seperti cahaya matahari, tanah, air, mineral, serta satu set gen yang tepat untuk menghasilkan protein yang diinginkan. Selain itu, metode PMP juga memiliki kapasitas volume produksi yang besar dibandingkan metode konvensional, serta keamanan yang relatif baik dari potensi cemaran virus dan mikroba. Teknologi yang digunakan dalam metode PMP pun sebenarnya tidak terlalu sulit dicari, yakni serupa seperti ketika memperlakukan bakteri, namun bedanya dibutuhkan ladang juga untuk menumbuhkan genetically modified plant ini. Sebelumnya, produksi protein dengan memanfaatkan bakteri dan sel mamalia merupakan metode yang sangat mahal dan kapasitas produksinya sulit memenuhi kebutuhan skala industri yang terus meningkat. Teknologi kultur sel konvensional memerlukan sejumlah besar waktu dan dana dimana diperkirakan bahwa fasilitas pembuatan kultur sel dapat mencapai $250 juta sampai $450 juta. Dibandingkan dengan metode produksi konvensional menggunakan kultur sel, metode PMP dapat menghemat sejumlah besar waktu dan sumber daya.
Tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan dengan metode ini adalah jagung, tembakau, beras, tebu, tomat, kedelai, wortel, kentang, bayam, pisang, dan beberapa tanaman lain. Tanaman yang digunakan berada dalam pengawasan dari U.S. Department of Agriculture (USDA), Animal and Plant Health Inspection Service (APHIS) dan oleh Food and Drug Administration (FDA). Pada umumnya digunakan tanaman yang juga digunakan sebagai tanaman penghasil makanan karena telah terdapat data agrikultural yang luas mengenai tanaman tersebut. Demikian pula dengan sifat-sifat genetik, agronomi dan dampak lingkungan yang dimiliki tanaman ini, dimana informasi ini sangat penting dalam pengembangan metode untuk menangani tanaman ini.
Bayangkan apabila kita mampu membuat vaksin HIV atau flu burung, hormon insulin, dan enzim-enzim dari ladang-ladang palawija Indonesia. Ketika ladang tembakau dijadikan pabrik enzim ketimbang digunakan untuk produksi rokok. Jika dapat terwujud, tentu kualitas hidup masyarakat Indonesia akan meningkat.
Bagaimana menurut pandangan Anda?
Ide Awal Tulisan dari : http://fakhria.wordpress.com
Referensi :
1. Economic Implications of Plant-made Pharmaceutical Production in North Carolina. Rural Advancement Foundation International – USA. January 2008
2. www.in-pharmatechnologist.com/Materials-Formulation/Dow-receives-world-s-first-plant-made-vaccine-approval
Ilmu bioteknologi kini tengah menapaki generasi ketiga dalam perkembangannya. Pada mulanya, generasi pertama bioteknologi hanya meningkatkan efisiensi produksi tanaman, kemudian generasi kedua bioteknologi mulai menambahkan nilai produk pangan dengan tambahan nutrisi. Generasi ketiga bioteknologi mulai memanfaatkan tanaman seperti jagung, tembakau, padi dan kacang sebagai pabrik penghasil protein untuk keperluan pengobatan, seperti antibodi monoklonal, enzim dan protein darah. Protein terapeutik ini dikenal dengan nama Plant Made Pharmaceutical (PMP). Pada PMP, para peneliti menempatkan gen pengkode protein yang berfungsi medis ke dalam suatu tanaman, lantas tanaman itu digunakan sebagai mesin pemroduksi protein tersebut. Jadi plant-made pharmaceuticals ini tidak dikonsumsi secara langsung dengan memakan mentah-mentah suatu tanaman.
Penelitian tentang plant-made pharmaceuticals ini merupakan ide yang relatif baru dalam 10 tahun terakhir. Penelitian ini ditumbuhkembangkan oleh beberapa perusahaan dan sekitar 20-an universitas di seluruh dunia. Pada tahun 2006, sebuah vaksin yang dihasilkan dari tumbuhan telah mendapat persetujuan dari pihak berwenang untuk dipasarkan. FDA dan USDA (Badan POM dan Departemen Agrikultur Amerika) sangat gencar melakukan penelitian ini. Demikian pula dengan Kanada dan negara-negara Eropa serta beberapa negara di Asia. Ini tidak lepas dari meningkatnya kebutuhan akan protein terapeutik di dunia pengobatan modern.
Penyembuh
Protein terapeutik yang dihasilkan dapat berguna untuk penyakit seperti Alzheimer, kanker, COPD (chronic obstructive pulmonary disease), Crohn, cystic fibrosis, diabetes, penyakit jantung, penyakit ginjal, multiple sclerosis, obesitas, rheumatoid arthritis, cedera sumsum tulang belakang dan sebagainya. Beberapa plant-made pharmaceuticals telah diuji klinis pada manusia untuk pengobatan cystic fibrosis, suatu penyakit genetik yang menyebabkan tubuh memproduksi mukosa berlebihan sehingga menyelimuti paru-paru dan pankreas, ini menyebabkan terhambatnya sekresi enzim-enzim pencernaan. Untuk itu diperlukanlah enzim pencernaan (seperti lipase) yang dapat diperoleh dari tanaman yang telah dimodifikasi secara genetik. Saat ini obat-obat berbasis protein sudah memasuki pasar dan masih banyak yang sedang berada dalam pengujian klinis tahap akhir. Meningkatnya kebutuhan persediaan protein terapeutik menyebabkan diperlukannya suatu alternatif cara produksi protein yang efisien, efektif dan lebih produktif dari sebelumnya.
Produksi Protein
Pada dasarnya terdapat beberapa cara memproduksi protein, yakni menggunakan mamalia, kultur sel mikrobial atau tanaman. Menurut Roger Beachy, Ph.D., presiden dari Donald Danforth Plant Science Center, tanaman adalah produsen protein yang paling efisien di muka bumi. Sebagai pabrik penghasil protein, tanaman memiliki beberapa keunggulan karena hanya membutuhkan modal yang sederhana seperti cahaya matahari, tanah, air, mineral, serta satu set gen yang tepat untuk menghasilkan protein yang diinginkan. Selain itu, metode PMP juga memiliki kapasitas volume produksi yang besar dibandingkan metode konvensional, serta keamanan yang relatif baik dari potensi cemaran virus dan mikroba. Teknologi yang digunakan dalam metode PMP pun sebenarnya tidak terlalu sulit dicari, yakni serupa seperti ketika memperlakukan bakteri, namun bedanya dibutuhkan ladang juga untuk menumbuhkan genetically modified plant ini. Sebelumnya, produksi protein dengan memanfaatkan bakteri dan sel mamalia merupakan metode yang sangat mahal dan kapasitas produksinya sulit memenuhi kebutuhan skala industri yang terus meningkat. Teknologi kultur sel konvensional memerlukan sejumlah besar waktu dan dana dimana diperkirakan bahwa fasilitas pembuatan kultur sel dapat mencapai $250 juta sampai $450 juta. Dibandingkan dengan metode produksi konvensional menggunakan kultur sel, metode PMP dapat menghemat sejumlah besar waktu dan sumber daya.
Tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan dengan metode ini adalah jagung, tembakau, beras, tebu, tomat, kedelai, wortel, kentang, bayam, pisang, dan beberapa tanaman lain. Tanaman yang digunakan berada dalam pengawasan dari U.S. Department of Agriculture (USDA), Animal and Plant Health Inspection Service (APHIS) dan oleh Food and Drug Administration (FDA). Pada umumnya digunakan tanaman yang juga digunakan sebagai tanaman penghasil makanan karena telah terdapat data agrikultural yang luas mengenai tanaman tersebut. Demikian pula dengan sifat-sifat genetik, agronomi dan dampak lingkungan yang dimiliki tanaman ini, dimana informasi ini sangat penting dalam pengembangan metode untuk menangani tanaman ini.
Bayangkan apabila kita mampu membuat vaksin HIV atau flu burung, hormon insulin, dan enzim-enzim dari ladang-ladang palawija Indonesia. Ketika ladang tembakau dijadikan pabrik enzim ketimbang digunakan untuk produksi rokok. Jika dapat terwujud, tentu kualitas hidup masyarakat Indonesia akan meningkat.
Bagaimana menurut pandangan Anda?
Ide Awal Tulisan dari : http://fakhria.wordpress.com
Referensi :
1. Economic Implications of Plant-made Pharmaceutical Production in North Carolina. Rural Advancement Foundation International – USA. January 2008
2. www.in-pharmatechnologist.com/Materials-Formulation/Dow-receives-world-s-first-plant-made-vaccine-approval
0 comments:
Post a Comment