Dampak (efek) komunikasi massa bisa
dibagi dua: Efek yang bersifat umum dan efek khusus. Efek umum
menyangkut efek dasar yang diperkirakan dapat terjadi akibat pesan-pesan
yang disiarkan melalui media massa. Komunikasi massa memiliki efek yang
”mengembang” sebab dalam banyak hal komunikasi massa telah mengambil
alih fungsi komunikasi sosial. Secara umum atau luas, komunikasi massa
melalui media massa telah menciptakan suatu jaringan pengertian, yang
tanpa itu tidak mungkin tercipta masyarakat yang besar dan modern.
Efek
seperti itu merupakan efek dasar yang terjadi dari hari ke hari secara
terus-menerus. Ia tidak dapat dilihat, didengar, atau diraba, tetapi ia
benar-benar terjadi.
Dapat disimpulkan bahwa terpaan media massa pada waktunya akan menimbulkan perubahan-perubahan yang mengejutkan.
Efek
khusus menyangkut efek yang diperkirakan akan timbul pada
individu-individu dalam suatu massa audiens pada perilaku mereka, dalam
menerima pesan-pesan media massa.
Karena ada kombinasi yang
berbeda-beda antara situasi, kepribadian dan kelompok di antara
anggota-anggota suatu massa audiens dalam peneriman pesan, jenis efek
yang mungkin timbul (the possible effect) akan berbeda-beda pula.
Intensitas
perhatian individu-individu terhadap pesan-pesan media juga akan
mempengaruhi efek. Misalnya: setiap hari berbagai media menawarkan
sejumlah besar pesan kepada perorangan-perorangan dari penduduk yang
tinggal di perkotaan. Pesan itu berbentuk: berbagai acara televisi;
berbagai berita dan artikel suratkabar, majalah atau buku; berbagai
pilihan film di bioskop; rekaman-rekaman kaset; iklan-iklan; dan
lain-lain.
Semua itu saling bersaing untuk meraih perhatian
penduduk selaku massa audiens yang potensial. Namun semua orang punya
keterbatasan. Seseorang tidak mungkin menerima semua tawaran tadi,
sehingga ia akan melakukan seleksi. Seleksi yang dilakukan seseorang
bisa sangat berbeda dengan yang dilakukan orang lain. Bahkan, jika sudah
menyeleksi, intensitas perhatiannya juga tidak terlalu tinggi.
Bagaimana media mempengaruhi audiens? Ada beberapa teori tentang ini, antara lain:
Teori Peluru Ajaib (Magic Bullet) atau Jarum Suntik (Hypodermic Needle):
Teori
yang populer pada sekitar tahun 1930-an ini mengatakan, pesan media
berdampak pada orang secara langsung, bisa diukur, dan dampak itu
bersifat segera (immediate) kepada khalayak. Jadi, dampaknya seperti
peluru yang menghantam tubuh, atau seperti tubuh yang ditusuk jarum
suntik. Model jarum suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one
step flow).
Namun, sekarang banyak ilmuwan berpendapat, dampak
semacam ini jarang terjadi. Misalnya: Seseorang yang melihat iklan
sepeda motor Honda dan dia langsung membeli motor Honda itu, persis
dengan model sepeda motor yang diiklankan di TV. Atau ada orang yang
melihat tayangan tentang teroris yang mengebom Hotel Marriott dan orang
ini pun segera membuat bom untuk menyerang hotel.
Pendekatan
ini sangat simplistik, karena mengasumsikan bahwa individu itu hanya
bersikap pasif. Individu dianggap akan menyerap semua yang disodorkan
media massa tanpa sikap kritis dan tanpa syarat. Padahal kenyataannya
para individu membaca koran, mendengarkan siaran radio, dan menonton
acara TV dengan cara yang berbeda. Bahkan para individu juga terekspos
pada banyak media, sehingga yang diterima bukan cuma satu suara atau
pesan tunggal.
Teori Peluru Ajaib atau Teori Jarum Suntik
adalah teori dampak kuat. Dalam perkembangan berikutnya, muncul
teori-teori yang merevisi model Peluru Ajaib, dan memandang dampak itu
lebih bersifat minimalis. Misalnya, model Aliran Dua-Tahap (two-step
flow of communication) yang diperkenalkan pertama kali oleh Paul
Lazarsfeld dan Elihu Katz.
Model Aliran Dua Tahap (Two Step Flow):
Model
ini dikembangkan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarsfeld dkk, dalam
kasus pemilihan Presiden Amerika. Tidak seperti teori Peluru Ajaib, yang
menganggap dampak media bersifat langsung, model aliran dua-tahap
menekankan peran manusia perantara (human agency) atau tokoh-tokoh
pemuka pendapat (opinion leader).
Temuan Lazarsfeld
menunjukkan, peran media massa justru sangat kecil dalam mempengaruhi
opini publik. Media massa hanya berhasil dalam menyampaikan atau
meneruskan informasi atau pengetahuan dasar, namun sangat kurang efektif
dalam mengubah sikap dan perilaku. Yang lebih besar perannya justru
adalah para pemuka pendapat (opinion leaders) sebagai perantara. Temuan
ini pun membuyarkan teori Jarum Suntik.
Model aliran dua-tahap
ini intinya menyatakan, pesan-pesan media tidak seluruhnya mencapai
massa audiens secara langsung. Sebagian besar pesan-pesan itu malah
berlangsung dua tahap. Tahap pertama, dari media massa kepada
orang-orang tertentu di antara massa audiens, atau kalangan yang kita
sebut pemuka pendapat (opinion leaders).
Pemuka pendapat
adalah orang yang memiliki akses terbesar terhadap media, dan memiliki
pemahaman yang lebih tinggi terhadap konten media. Merekalah yang
kemudian menjelaskan dan menyebarkan konten tersebut kepada orang-orang
lain. Mereka berfungsi sebagai penjaga gawang (gate keepers) atas pesan
media. Dari sini, pesan media diteruskan kepada anggota massa audiens
lainnya (tahap yang kedua), sehingga pesan-pesan media akhirnya mencapai
seluruh penduduk.
Para opinion leaders dan pengikutnya
(followers) secara keseluruhan adalah massa audiens. Pada umumnya, opini
leaders lebih banyak bersentuhan dengan media massa ketimbang para
followers. Karena posisinya, opinion leaders mempunyai pengaruh terhadap
followers. Atas peran para leaders-lah, pelan-pelan media memperoleh
efek-efek yang kuat.
Tanpa opinion leaders, walaupun
pesan-pesan media sampai kepada massa audiens secara langsung,
komunikasi cenderung tidak efektif. Pada tahap kedua ini, yang terjadi
adalah komunikasi antarpribadi.
Opinion leader tidak harus
merupakan pemimpin dengan otoritas resmi di masyarakat (presiden,
menteri, gubernur, walikota, dan sebagainya). Tetapi orang-orang yang
dekat dan dipercaya oleh warga. Pemuka pendapat bisa merupakan orangtua,
suami/istri, kakak, pacar, sahabat dekat, ustadz setempat, guru
sekolah, pedagang sekitar, dan sebagainya. Walaupun tentu saja tidak
semua ustadz atau guru bisa menjadi pemimpin opini.
Model Aliran Banyak Tahap (Multistep Flow Model):
Pada
perkembangannya kemudian, setelah riset komunikasi massa semakin
canggih, pendekatan aliran dua tahap ini pun dianggap kurang memadai,
dan berkembang menjadi Multistep Flow Model (Model Aliran Banyak Tahap).
Model
Aliran Banyak Tahap Model ini diharapkan bisa mencakup jaringan
hubungan-hubungan sosial yang kompleks, yang mempengaruhi
individu-individu.
Teori Pembudidayaan atau Kultivasi (Cultivation):
Teori
Kultivasi atau Pembudidayaan lebih berfokus pada bagaimana sikap orang
dipengaruhi oleh media, ketimbang sekadar perilaku orang tersebut. Walau
sikap (attitude) dan perilaku (behavior) berkaitan erat, para penganut
teori kultivasi berfokus pada bagaimana orang berpikir ketimbang pada
apa yang diperbuat orang tersebut.
Banyak dari riset ini melibatkan perbandingan sikap dari para pengguna berat, pengguna menengah, dan pengguna ringan media.
Salah
satu temuan riset ini adalah bahwa ketika orang terekspos oleh
kekerasan yang sarat di media, mereka tampaknya akan memiliki salah
konsepsi dalam penyikapan, yang dinamakan sindrom dunia yang ganas (mean
world syndrome). Ini berarti mereka melebih-lebihkan besarnya tingkat
kekerasan yang benar-benar terjadi dalam komunitasnya dan di bagian
dunia lain. Orang yang kurang terekspos pada kekerasan di media memiliki
rasa yang lebih realistis dalam memandang tingkat kekerasan di dunia
nyata.
Pendekatan Sosiologis terhadap (kekerasan di) Media:
Cara
yang kurang umum dalam mempelajari kekerasan di media adalah pendekatan
sosiologis. Teori-teori sosiologis tentang kekerasan di media
mengeksplorasi cara-cara di mana media berdampak dan memperkuat
ideologi-ideologi dan nilai-nilai yang dominan dalam sebuah budaya.
Misalnya,
seorang peneliti mungkin melihat saling-hubungan (korelasi) antara
kekerasan di media dan sikap-sikap tentang maskulinitas (kelaki-lsakian)
dalam sebuah budaya, atau bagaimana kekerasan media memperkuat dan
mencerminkan kebijakan luar negeri yang kasar dari sebuah negara.
Teori-teori sosiologis tentang media itu tidak bisa diukur. Namun, itu
lebih merupakan cara-cara teoretis tentang bagaimana melihat hubungan
media dengan budaya.
Teori Pudarnya Kepekaan (Desensitization):
Teori
ini mengatakan, karena orang sudah terlalu banyak terekspos oleh
kekerasan di media, misalnya, maka kekerasan tidak lagi memberi dampak
emosional pada dirinya. Banyak orang tampaknya akan setuju dengan
pandangan bahwa karena sering melihat tayangan kekerasan di TV, maka
seseorang tidak akan terlalu terganggu jika disuruh melihat film yang
mengandung adegan kekerasan.
Yang kini menjadi perdebatan,
apakah orang juga akan kehilangan kepekaan terhadap kekerasan dalam
kehidupan nyata. Jika seseorang meninggalkan gedung bioskop sehabis
menonton film berisi adegan kekerasan, dan lalu melihat sesosok mayat
nyata yang tergeletak di jalan, apakah dia tetap mengalami hilangnya
kepekaan?
Teori Narcoticizing Dysfunction:
Teori
ini menyatakan, media jarang memberi energi pada orang untuk bertindak,
seperti mendorong orang untuk ke luar rumah dan memberi suara pada
seorang kandidat dalam Pilkada. Sebaliknya, media justru mendorong orang
untuk bersikap pasif.
Banyak orang tenggelam dalam arus
informasi dan berita yang begitu melimpah, sehingga mereka justru
cenderung menarik diri dari keterlibatan dalam isu-isu publik. Jadi,
keterlibatan intelektual mereka telah menjadi pengganti dari
keterlibatan aktif konkret.
Misalnya: orang yang terlalu
banyak mengunyah informasi tentang isu kemiskinan, dan ia percaya telah
melakukan sesuatu untuk menangani problem kemiskinan. Padahal, faktanya
ia hanya sangat tahu dan mendalami informasi tentang kemiskinan.
Teori Spiral of Silence:
Teori ini diperkenalkan oleh ilmuwan politik Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann, dan berangkat dari pendekatan psikologis.
Teori
ini menegaskan, orang cenderung untuk tidak mengekspresikan opininya
tentang topik tertentu, jika orang itu merasa hanya sebagai minoritas,
karena takut akan pembalasan, pengucilan, atau dampak buruk lain dari
pihak mayoritas. Maka, bisa terjadi, orang-orang yang merasa mewakili
suara mayoritas, dengan penuh percaya diri akan mudah menyuarakan
opininya di media.
Opini yang dimuat di media itu tidak
mendapat tantangan, karena orang yang merasa minoritas cenderung tidak
membantahnya. Maka, meski sering digembar-gemborkan bahwa media adalah
wahana yang menerima opini seluruh kalangan masyarakat, nyatanya hanya
kalangan yang merasa mewakili suara mayoritas yang akan muncul di media.
Teori Penetapan Agenda (Agenda Setting):
Menurut
teori ini, media menetapkan agenda bagi opini publik, dengan cara
mengangkat isu-isu tertentu. Sesudah mempelajari cara peliputan kampanye
politik, ternyata dampak utama media berita adalah dalam penetapan
agenda. Misalnya, dengan memberitahu masyarakat untuk berpikir tentang
topik-topik tertentu.
Topik-topik yang tidak diangkat oleh
media menjadi kurang atau tidak dianggap penting oleh publik. Jadi,
pengaruh media bukanlah dalam persuasi (bujukan) atau perubahan sikap
audiens. Penetapan agenda ini biasanya lebih sering dirujuk sebagai
fungsi media, dan bukan teori.
Agenda setting adalah kemampuan
media untuk menentukan isu atau berita apa yang dianggap penting, yang
harus diperhatikan oleh publik, atau harus segera ditangani oleh
pemerintah. Isu yang dianggap penting itu bisa diberi porsi yang lebih
besar dan penempatan yang lebih menarik perhatian.
Untuk media
suratkabar, hal itu berarti penempatan di halaman 1 dan pemberian space
yang lebih luas. Untuk media TV, hal itu bisa berarti penayangan pada
alokasi slot prime time (antara jam 18.00-22.00, saat jumlah pemirsa
terbanyak) dan pemberian durasi penayangan yang lebih panjang.
Penetapan
agenda oleh media bisa berpengaruh pada banyak hal. Misalnya:
Popularitas calon legislatif atau kandidat kepala daerah, yang sedang
bertarung pada pemilihan umum di wilayah tertentu. Kandidat yang
dianggap lebih berkualitas bisa mendapat porsi pemberitaan yang lebih
besar, sehingga mereka menjadi lebih populer dan lebih berperluang untuk
menang.
Atau, media menentukan isu-isu apa –yang menyangkut
kepentingan publik—yang harus segera ditangani pemerintah. Misalnya, isu
kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, kenaikan harga sembako
menjelang bulan puasa, dan sebagainya.
from netsains.com
0 comments:
Post a Comment