“Kecintaan membaca buku dalam bidang apapun, secara awal ditumbuhkan melalui kecintaan membaca karya sastra.
Demikianlah pembibitan awal kebiasaan membaca dilakukan di seluruh
dunia yan beradab. Latihan menulis yang terus menerus dapat mengantarkan
siswa menulis karya sastra, kalau dia berminat, tetapi kalau tidak, dia
akan memiliki kemampuan menulis secara umum”
“Dia akan menjadi insan yang cinta sampai adiksi buku, merasa perpustakaan sebagai rumahnya yang kedua, dan mampu menulis dalam bidang profesinya masing-masing. Bila kelak dia menjadi arsitek, pelaku bisnis, guru, spesialis bedah, kepala direktorat, pakar agronomi, komandan resimen, wartawan, pilot antar benua, ibu rumah tangga dan seterusnya, maka dia adalah profesional yang rujukan utamanya buku bacaan dan mampu menulis dalam spesialisasinya masing-masing”
Demikianlah tujuan utama Taufiq Ismail mendirikan RUMAH PUISI-nya (http://rumahpuisi.com/tentang-rumah-puisi/tujuan-rumah-puisi) Apa yang dicita-citakan Taufik Ismail bukan pertama-tama menjadikan siswa penyair atau sastrawan. Menurutnya, itu bukan yang terpenting. Peningkatan budaya baca buku dan kemampuan menulis anak bangsa, itu yang menjadi tujuan utama.
Apa yang dimulai Taufik Ismail sangat tepat dan dengan tepat pula menjawab persoalan substansial dilema pendidikan bahasa dan sastra di tanah air. Mengapa tidak, pendidikan bahasa dan sastra tidak hanya ‘di-anaktiri-kan’ dalam proses pendidikan, tetapi juga kelaziman (budaya) membaca dan menulis yang merupakan elemen vital pendidikan nyaris hilang diterjang oleh kepadatan kurikulum, kegiatan sekolah yang menumpuk, fasilitas perpustakaan yang tidak memadai, serta minimnya kehadiran guru atau tenaga pengajar yang mumpuni dalam bidangnya.
Jika pun ada kegiatan membaca dan menulis dalam proses pendidikan, baik di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, maupun Sekolah Menengah Atas, kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk membaca dan menulis itu sendiri. Kegiatan membaca dan menulis hanya diwajibkan untuk mendukung berbagai pelajaran yang lain. Membacan dan menulis dengan demikian diletakkan sebagai faktor sekunder dalam proses pendidikan. Tidak lebih.
Padahal kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan inteketual yang tidak semudah dan atau tidak segampang dilakukan dan dilazimkan selama ini. Sebab sejatinya membaca tidak hanya sekedar membaca teks, tetapi juga menyertakan penafsiran atasnya. Membaca berarti kita berdialog dengan teks. Demikian juga dengan kegiatan menulis. Menulis tidak hanya menulis seperti dimintai guru untuk kepentingan angka dan nilai atau tugas tertetu, tetapi melampaui itu adalah menuliskan refleksi dan analisis kritis atas teks dan konteks. Menulis dalam artian ini berarti kita menyatakan hasil dialog dan refleksi atas teks dan konteks dalam tulisan.
Bagiku fakta ini –pembiasaan tidak membaca dan menulis yang sesungguhnya- amat meresahkan. Pendidikan yang mengabaikan kegiatan membaca dan menulis sebagai sebagai sebuah kegiatan intelektual dalam sekolah sudah barang tentu akan membentuk pribadi yang miskin analisis kritis dan eksplorasi akademik. Pun pula miskin berimajinasi (jika ditelisik dari sudut padang sastra).
Berbagai fenomena yang muncul dalam dunia pendidikan semisal menyontek, copy paste karangan, tulisan atau skripsi dilakukan oleh peserta didik, serta tindakan plagiat yang dilakukan oleh individu yang disebut akademisi merupakan dampak buruk dari proses pendidikan yang mengabaikan hakikat kegiatan membaca dan menulis dalam proses pendidikan.
Tulisan kecil ini tidak dimaksudkan untuk meng-kritik para pembuat kebijakan dan juga para pelaku pendidikan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengajukan tawaran evaluatif untuk kita semua. Bahwa kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan vital dalam pendidikan, lantaran itu harus mendapat tempat yang istimewa dalam kurikulum pendidikan kita.
Jika tidak, maka sudah barangtentu kita masih akan terjebak dalam proses awal sebagaimana dilakukan Taufik Ismail dengan RUMAH PUISI-nya. Padahal sudah separuh abad lebih kita merdeka dan bisa menetukan nasib sendiri secara bebas. Lantas, kapan kita bisa ‘naik kelas’ untuk menjadi bangsa yang produktif karena karya-karya tulis yang hebat, jika hingga kini kita masih berkutat dengan ‘sosialisasi’ membaca dan menulis agar menjadi kebiasaan, budaya dan tradisi yang sehat?
http://krisbheda.wordpress.com/ dan atau http://krisbheda.wordpress.com/2010/10/11/jangan-anaktiri-kan-membaca-dan-menulis/
“Dia akan menjadi insan yang cinta sampai adiksi buku, merasa perpustakaan sebagai rumahnya yang kedua, dan mampu menulis dalam bidang profesinya masing-masing. Bila kelak dia menjadi arsitek, pelaku bisnis, guru, spesialis bedah, kepala direktorat, pakar agronomi, komandan resimen, wartawan, pilot antar benua, ibu rumah tangga dan seterusnya, maka dia adalah profesional yang rujukan utamanya buku bacaan dan mampu menulis dalam spesialisasinya masing-masing”
Demikianlah tujuan utama Taufiq Ismail mendirikan RUMAH PUISI-nya (http://rumahpuisi.com/tentang-rumah-puisi/tujuan-rumah-puisi) Apa yang dicita-citakan Taufik Ismail bukan pertama-tama menjadikan siswa penyair atau sastrawan. Menurutnya, itu bukan yang terpenting. Peningkatan budaya baca buku dan kemampuan menulis anak bangsa, itu yang menjadi tujuan utama.
Apa yang dimulai Taufik Ismail sangat tepat dan dengan tepat pula menjawab persoalan substansial dilema pendidikan bahasa dan sastra di tanah air. Mengapa tidak, pendidikan bahasa dan sastra tidak hanya ‘di-anaktiri-kan’ dalam proses pendidikan, tetapi juga kelaziman (budaya) membaca dan menulis yang merupakan elemen vital pendidikan nyaris hilang diterjang oleh kepadatan kurikulum, kegiatan sekolah yang menumpuk, fasilitas perpustakaan yang tidak memadai, serta minimnya kehadiran guru atau tenaga pengajar yang mumpuni dalam bidangnya.
Jika pun ada kegiatan membaca dan menulis dalam proses pendidikan, baik di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, maupun Sekolah Menengah Atas, kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk membaca dan menulis itu sendiri. Kegiatan membaca dan menulis hanya diwajibkan untuk mendukung berbagai pelajaran yang lain. Membacan dan menulis dengan demikian diletakkan sebagai faktor sekunder dalam proses pendidikan. Tidak lebih.
Padahal kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan inteketual yang tidak semudah dan atau tidak segampang dilakukan dan dilazimkan selama ini. Sebab sejatinya membaca tidak hanya sekedar membaca teks, tetapi juga menyertakan penafsiran atasnya. Membaca berarti kita berdialog dengan teks. Demikian juga dengan kegiatan menulis. Menulis tidak hanya menulis seperti dimintai guru untuk kepentingan angka dan nilai atau tugas tertetu, tetapi melampaui itu adalah menuliskan refleksi dan analisis kritis atas teks dan konteks. Menulis dalam artian ini berarti kita menyatakan hasil dialog dan refleksi atas teks dan konteks dalam tulisan.
Bagiku fakta ini –pembiasaan tidak membaca dan menulis yang sesungguhnya- amat meresahkan. Pendidikan yang mengabaikan kegiatan membaca dan menulis sebagai sebagai sebuah kegiatan intelektual dalam sekolah sudah barang tentu akan membentuk pribadi yang miskin analisis kritis dan eksplorasi akademik. Pun pula miskin berimajinasi (jika ditelisik dari sudut padang sastra).
Berbagai fenomena yang muncul dalam dunia pendidikan semisal menyontek, copy paste karangan, tulisan atau skripsi dilakukan oleh peserta didik, serta tindakan plagiat yang dilakukan oleh individu yang disebut akademisi merupakan dampak buruk dari proses pendidikan yang mengabaikan hakikat kegiatan membaca dan menulis dalam proses pendidikan.
Tulisan kecil ini tidak dimaksudkan untuk meng-kritik para pembuat kebijakan dan juga para pelaku pendidikan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengajukan tawaran evaluatif untuk kita semua. Bahwa kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan vital dalam pendidikan, lantaran itu harus mendapat tempat yang istimewa dalam kurikulum pendidikan kita.
Jika tidak, maka sudah barangtentu kita masih akan terjebak dalam proses awal sebagaimana dilakukan Taufik Ismail dengan RUMAH PUISI-nya. Padahal sudah separuh abad lebih kita merdeka dan bisa menetukan nasib sendiri secara bebas. Lantas, kapan kita bisa ‘naik kelas’ untuk menjadi bangsa yang produktif karena karya-karya tulis yang hebat, jika hingga kini kita masih berkutat dengan ‘sosialisasi’ membaca dan menulis agar menjadi kebiasaan, budaya dan tradisi yang sehat?
http://krisbheda.wordpress.com/ dan atau http://krisbheda.wordpress.com/2010/10/11/jangan-anaktiri-kan-membaca-dan-menulis/
0 comments:
Post a Comment