than this something should be a big part of your life
Seorang wali kelas sempat bercerita kepada saya bahwa “Sungguh saya terharu dengan yang terjadi pagi tadi setelah pengumuman lomba majalah dinding kelas (mading), akhirnya kami satu kelas meraih juara meskipun itu hanya juara tiga. Mungkin itulah satu kalimat yang bisa saya susun mewakili perasaan bahagia, disaat nama kelas mereka disebut dalam daftar pemenang lomba mading kelas yang diadakan perpustakaan sekolah”. Ucapan seperti ini tentunya lazim kita dengar dari pada guru disaat anak-anak mereka meraih keberhasilan, namun apakah mereka semua juga hadir disaat anak-anak mereka bekerja keras mengumpulkan semangat untuk bermimpi menjadi juara. Tentunya tidak semuanya berlaku demikian bukan, yang jamak kita lihat dan dengar adalah cibiran yang menghujamkan selaksa mimpi itu ke tanah dan hilang bagai debu diterpa angin. “Memangnya kamu bisa? atau “Memangnya kamu mampu? Pertanyaan-pertanyaan bernada sinis dan pesimistis inilah yang kerapkali meluncur dari mulut para pendidik kita yang terhormat, yang kemudian akan berubah pengakuan sepihak manakala para siswa berhasil dalam usahanya sendiri, “Itu anak-anakku, lho? Siapa dulu gurunya?”. Menurut Anda apakah ada yang aneh dari perilaku para pendidik ini?
Dalam artian yang lain, lomba antar kelas harus difahami sebagai upaya membentuk kebanggaan dan semangat untuk berkompetisi. Terlebih jika disekolah itu ingin membangkitkan perannya sebagai komunitas belajar, lomba antar kelas akan mampu menjadi media efektif bagi penanaman nilai-nilai positif tentang persaingan sehat, kerja keras dan kebersamaan. Apa yang lebih indah jika mulai dari guru wali kelas yang sibuk menyiapkan stereofom bekas untuk mading, siswa-siswa yang menghias dan sekaligus mengumpulkan bahan-bahan untuk dihias dan ditempelkan. Kreatifitas dirajut bersama kebersamaan memberi warna melalui hasil karya mading yang luar biasa. Tanpa harus mendatangkan seorang motivator bertarif mahal, tentunya para guru memiliki potensi untuk memberi motivasi kepada siswanya melalui keterlibatan nyata.
Kolaborasi dan Motivasi
Dari sebuah keterlibatan akan lahir motivasi siswa, dan dari pribadi yang termotivasi diharapkan akan membentuk apa yang kita sebut sebagai self esteem (percaya diri). Rusli Lutan (2003:3) memaparkan bahwa “self-esteem adalah penerimaan diri sendiri, oleh diri sendiri berkaitan bahwa kita pantas, berharga, mampu dan berguna tak peduli dengan apa pun yang sudah, sedang atau bakal terjadi. Tumbuhnya perasaan aku bisa dan aku berharga merupakan inti dari pengertian self-esteem”. Self-esteem merupakan kumpulan dari kepercayaan atau perasaan tentang diri kita atau persepsi kita terhadap diri sendiri tentang motivasi, sikap, perilaku, dan penyesuaian emosi yang mempengaruhi kita (Kidshealth, 2006). Self esteem berkenaan dengan tiga hal: (a) kemampuan kita untuk memahami apa yang dapat kita lakukan dan apa yang telah dilakukan, (b) penetapan tujuan dan arah hidup sendiri, (c) kemampuan untuk tidak merasa iri terhadap prestasi orang lain.
Self-esteem berbeda dengan narsis, atau yang adalam istilah psiklogi dikenal sebagai Narcissistic Personality Disorder (NPD). Sigmund Freud menggunakan istilah narsis untuk mengambarkan seseorang yang merasa dirinya begitu penting daripada orang lain dan ingin selalu menerima perhatian dari orang lain. (Cooper dan Ronningstam, 1992). Orang dengan NPD merasa dirinya sangat penting namun hal tersebut sangat tidak beralasan dan sangat memperhatikan diri mereka sendiri sehingga mereka memiliki tingkat sensitivitas dan kepedulian yang rendah terhadap orang lain (Gunderson, Ronningstam, dan Smith, 1995). Siswa yang memiliki self-esteem yang sehat, akan melakukan berbagai aktivitas dengan kepercayaan diri yang tinggi yang didasari oleh alasan-alasan yang rasional. Dan sebaliknya apabila siswa memiliki self-esteem yang rendah, maka setiap tindakannya akan didorong oleh kepercayaan diri yang rendah pula. Inilah yang melatarbelakangi kesulitan beberapa siswa untuk berprestasi dalam bidang apapun. Seseorang yang memiliki self-esteem yang sehat, maka ia akan pandai dalam mengelola suatu kegagalan yang dihadapinya dan akan menerima kekurangan-kekurangannya dengan alasan-alasan yang rasional. Perilaku mencari kambing hitam (defend-mechanism) yang irasional adalah refleksi dari self esteem yang tidak sehat. Sehingga jika seseorang selalu merasakan bodoh dan tanpa harapan karena kegagalan yang dialaminya sampai pada akhirnya merendahkan diri sendiri, maka ia akan terjerumus ke dalam rasa rendah diri yang mendalam.
Rusli Lutan (2003:10-11) mengemukakan self-esteem bagi seseorang ibarat fondasi sebuah bangunan rumah. Self-esteem merupakan sebuah struktur penting bagi perkembangan kemampuan yang lainnya. Di atas self-esteemlah akan terbangun prestasi. Bila self-esteem dan penilaian diri rendah maka apapun yang kita bangun di atasnya niscaya akan mudah retak. Itulah sebabnya self-esteem harus dibangun sekokoh mungkin agar kita dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Self-esteem yang sehat bisa dibentuk dan dibina (ditumbuhkembangkan) yang tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: diri sendiri, teman sejawat, orang tua, guru, dan pencapaian prestasi.
KidsHealts memaparkan mengenai dua jenis self-esteem yaitu Unhealty Self-Esteem dan Healthy Self-Esteem. Self-esteem yang rendah atau tidak sehat pada anak ditandai dengan tidak adanya keinginan melakukan sesuatu hal yang baru, anak selalu berkata negatif atas kemampuan yang dimilikinya misalnya “Saya bodoh !”, “Saya tidak pernah belajar dengan baik”. Ciri yang lainnya adalah anak tidak memiliki toleransi, frustasi, dan pesimis. Sedangkan pada anak yang memiliki self-esteem yang sehat ditandai dengan senang memelihara hubungan dengan yang lain, aktif dalam kelompoknya, menyenangkan dalam berhubungan sosial, mampu menemukan solusi ketika peluang menipis, memahami kekuatan dan kelemahannya serta memiliki sikap optimis. Siswa yang memiliki self-esteem tinggi atau self-esteem yang sehat pada umumnya memiliki kepercayaan diri dan keyakinan yang tinggi pula untuk dapat melakukan tugas gerak yang diinstruksikan guru. Mereka biasanya bersungguh-sungguh dalam melakukan aktivitas dan selalu berupaya memperbaiki kekurangan dan terus berlatih meningkatkan kemampuannya. Ciri ini akan sangat berbeda dengan siswa yang rendah self-esteemnya atau yang tidak memiliki self-esteem. Umumnya mereka enggan atau bermalas-malasan, melakukan tugas karena merasa khawatir atau tidak percaya terhadap kemampuan yang dimilikinya, tidak bekerja keras memperbaiki kekurangannya, dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukannya. Self-esteem yang sehat atau tinggi dapat dilatih dan dikembangkan. Latihan merupakan cara terbaik untuk membina self-esteem dengan selalu memperhatikan tiga hal yang mempengaruhi hidup yakni perilaku (tindakan), pola pikir (kepercayaan dan sikap), emosi (perasaan/mood) (Rusli Lutan, 2003:17).
Dukungan Komunikasi Efektif
Stephen Covey, bahkan mengatakan bahwa komunikasi merupakan keterampilan yang paling penting dalam kehidupan kita. Ia mengibaratkan komunikasi itu layaknya bernapas yang sudah secara otomatis kita lakukan setiap hari. Akibatnya, kita tidak memiliki kesadaran untuk melakukan komunikasi itu dangan efektif: bagaimana membaca dan menulis efektif, dan bagaimana mendengar dan berbicara dengan efektif. Kita terkadang lebih banyak berbicara daripada mendengar, padahal mulut kita hanya satu dan telinga kita ada dua yang berarti kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Menggaris bawahi pernyataan tersebut maka dalam rangka membangun self esteem sehat maka peran keterampilan berkomunikasi seorang guru menjadi bagian yang sangat penting. Bila seorang guru mampu berkomunikasi dengan baik, jelas, terbuka, dan sopan, maka ia dapat menciptakan perasaan nyaman bagi seluruh siswanya. Agar dapat berkomunikasi secara efektif, maka hal pertama yang harus dilakukan guru adalah bersedia untuk berterus terang perihal penampilan setiap siswa dengan tidak membuat perasaan siswa menjadi “tidak anak” atau terganggu. Sampaikan penilaian yang sebenarnya sesuai dengan kemampuan dan keberhasilan yang sudah dicapai oleh siswa. Ketika siswa sukses melakukan suatu tugas, sampaikan bahwa ia benar-benar telah berhasil. Sebaliknya, ketika siswa gagal dalam melaksanakan tugas, jangan utarakan bahwa ia “tidak berhasil” melainkan “belum berhasil” dan masih ada kesempatan lebar untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Kedua, guru mampu berempati atau memiliki kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan dan mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti orang lain. Tentunya menjadi pendengar yang baik tidak berarti hanya memasang telinga lebar-lebar, melainkan juga memperlihatkan sikap memperhatikan yang dicirikan dengan reaksi fisik dan sikap yang munjukkan bahwa kita tertarik terhadap apa yang dibicarakan lawan bicara. Seorang guru yang baik akan selalu berupaya mendengarkan keinginan dan mengerti kebutuhan setiap siswa dalam usahanya untuk mencapai tujuan belajar. Ini dimaksudkan agar guru mampu memberi umpan balik (feedback) yang sesuai guna meningkatkan keterampilan siswa. Guru yang menjadi pendengar yang baik secara langsung telah memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap keberadaaan siswa di lingkungannya.
Ketiga, guru mampu memiliki sikap rendah hati. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri. Sikap ini terkait upaya guru membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki kita mampu merasakan perasaan orang lain, dalam hal ini menerima perasaan orang lain merupakan bagian penting dari komunikasi efektif. Kita akan merasa nyaman dalam berkomunikasi manakala kita dapat memahami perasaan orang lain, terampil mendengar, dan jelas adalah hal menyampaikan buah pikiran kita (Rusli Lutan, 2003:25).
Kemampuan berkomunikasi secara efektif sesungguhnya merupakan salah satu faktor dari penyampaian hasil evaluasi yang telah dilakukan guru untuk menumbuhkembangkan self-esteem yang positif pada diri siswa. Evaluasi yang diterima oleh setiap siswa tidak akan memberikan manfaat bagi peningkatan sikap dan keterampilannya apabila tidak tersampaikan dengan baik dan jelas. Proses saling menghargai antara guru dengan siswa diantaranya melalui proses penentuan bentuk evaluasi yang sesuai dengan materi dan tujuan pembelajaran. Proses evaluasi merupakan umpan balik (feedback) bagi guru dan siswa tentang keberhasilan yang telah dicapai selama proses pembelajaran. Evaluasi tidak semata-mata hanya menempatkan anak pada posisi mampu dan tidak mampu melaksanakan tugas ajar, atau memberikan status sangat baik, baik, cukup atau kurang.
Kembali pada cerita diatas maka pelaksanaan lomba mading antar kelas merupakan bentuk upaya positif dalam membentuk sel esteem (percaya diri) siswa yang sehat. Tentunya upaya ini tidak hanya akan berhenti pada pelaksanaan lomba saja, akan tetapi menjadi lebih baik melalui keteladanan moral atas keterlibatan dan kepedulian guru kepada siswanya. Sehingga pada gilirannya seorang guru akan mampu menjadi inspirasi bagi setiap anak didik, sebab sang guru telah menjadi hal yang diajarkan menjadi bagian besar dalam hidupnya.
From netsains.com
0 comments:
Post a Comment