“Lalu dari manakah aturan tentang baris berbaris itu diatur?” lanjut saya bertanya. Beliau pun menambahkan, “Peraturan baris berbaris diseluruh Indonesia hanya mengacu pada Peraturan Baris Berbaris Militer yang terdapat dalam Buku Peraturan tentang Baris Berbaris Angkatan Bersenjata. Buku ini disahkan oleh Surat Keputusan Pangab dan peraturan yang terakhir adalah Skep Pangab nomor : Skep/011/X/1985 tanggal 2 Oktober 1985, tetapi tahun 1992 ada perubahan pada Skep tersebut pada tempo langkah biasa dan langkah tegap dari 96 langkah tiap menit menjadi 120 langkah tiap menit. Kalau Anda ingin mengenal lebih jauh, sebenarnya berbaris pertama kali dikenal pada jaman Kekaisaran Romawi pada saat Kaisarnya Julius Caesar, dengan maksud agar pasukan yang berada dibawah kekuasaannya mempunyai rasa tanggungjawab, disiplin yang tinggi dengan melihat hasil lahir, yaitu kerapihan, kekompakan, ketertiban dan kesigapan. Bentuk disiplin yang dilakukan oleh Julius Caesar ini kemudian terbukti efektif sebagai taktik manajemen manusia dan berhasil membentuk tentara yang kuat diera kekuasaannya”.
“Dalam kaitan propaganda politik, baris berbaris merupakan salah satu cara untuk membangun psikologis bagi tentara dan warga negara. Hal ini dibuktikan oleh parade pasukan NAZI Jerman di tahun 1930 yang benar-benar mengagumkan, cepat dan kuat. Mereka jelas sekali menggunakan parade tersebut sebagai alat manipulasi psikologis, sehingga mampu membuat masyarakat merasa kuat dan bangga, membuat mereka bahagia berada dibelakang para pasukan yang sangat berdedikasi dan menginspirasi. Contoh lain berasal dari Korea Utara Tahun 2002/2003 disaat menghadapi politik agresif Amerika Serikat terkait pengembangan senjata nuklir. Korea Utara menempatkan sejumlah besar parade militer, yang terkadang beberapa regu yang terdiri dari anak-anak dengan memainkan instrument dan menampilkan Rigid Dance (tarian dalam formasi baris berbaris). Hingga tindakan ini menarik perhatian masyarakat melalui liputan berita yang disiarkan, hingga dari setiap liputan tersebut berkomentar betapa modern militer dan tentara Korea Utara. Tentunya ini adalah strategi untuk membangun psikologis tentang betapa terlatihnya dan siapnya tentara Korea Utara terhadap ganguan apa saja yang mungkin akan dialami oleh negaranya”.
Demikian petikan diskusi pagi yang singkat namun benar-benar berkesan dan sarat makna yang dalam bagi saya, tanpa kita sadari ternyata baris-berbaris adalah manifestasi peninggalan budaya yang demikian mengakar baik secara filosofis maupun pragmatis. Di sekolah pelatihan bagi penanaman pendidikan karakter yang diwakili salah seorang guru beberapa bulan yang lalu selama 30 hari, ternyata dilaksanakan markas komando Kopassus. Kopassus adalah sebutan untuk Komando Pasukan Khusus sebagai bagian dari Bala Pertahanan Pusat yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat yang memiliki kemampuan khusus seperti bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian, dan anti teror. Dalam perjalanan sejarahnya, Kopassus berhasil mengukuhkan keberadaannya sebagai pasukan khusus yang mampu menangani tugas-tugas yang berat. Mencermati hal ini saya pun menjadi bertanya-tanya apa keterkaitan pendidikan karakter dan militer, namun tentunya saya tidak anti militer tetapi hanya anti pada bentuk militeristik yang kerapkali arogan dan represif.
Permasalahan dasar pendidikan karakter
Permasalahan digalakkannya pendidikan karakter muncul berawal dari keprihatinan para orangtua yang menyaksikan kenyataaan semakin banyaknya deviasi yang berkaitan dengan karakter sebagian kecil anaknya yang kurang baik. Beberapa karakter dasar yang dianggap kurang baik itu antara lain tanggungjawab (responsibility) kedisiplinan (diciplinary), peduli (care), hormat (respect), jujur (honest), cinta tanah air (patriotism). Kurangnya kepedulian, kurangnya rasa hormat dan etika sopan santun terhadap para guru dan karyawan, tidak ada tegur sapa. Semakin banyaknya mahasiswa melakukan tindakan tidak jujur seperti penyontekan ketika ujian, hingga kerap ditemukannya siswa membuat tugas hanya meniru hingga sekedar “copy paste” dari tugas temannya.
Menyikapi hal ini dalam implementasi pendidikan karakter beberapa kalangan didunia pendidikan sempat berwacana perlu pemberlakuan wajib militer. Hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan sebagian negara-negara besar, contohnya Amerika Serikat dan China, yang juga memberlakukan wajib militer. Amerika Serikat adalah negara yang menganut politik supermasi sipil (warga Negara sipil yang boleh ikut berpolitik praktis, militer tidak), tapi sejak lama sudah memberlakukan UU Wajib Militer dinegaranya. Para pemimpin bangsa Amerika, hampir seluruhnya adalah veteran perang dunia II atau perang Vietnam yang sangat berpengalaman dalam manajemen militer yang kemudian ditransformasikan kedalam manajemen sipil di Amerika Serikat. Sejak lulus sekolah menengah, para pemuda masuk dalam pusat pelatihan militer. Para pemuda digembleng menegakkan disiplin selama berbulan-bulan. Tentu saja hasilnya rata-rata pemuda negeri-negeri tersebut memiliki karakter yang baik, yaitu memiliki sikap tanggungjawab, disiplin, mandiri, peduli, maupun patriotik.
Dalam tataran ideal, seharusnya pembelajaran karakter yang paling baik adalah sejak di sekolah taman kanak-kanak, hingga pendidikan dasar dan menengah. Pembelajaran tersebut sebenarnya merupakan pendidikan kecakapan hidup mendasar (general lifeskills education) yang menjadi materi dasar utama di pendidikan dasar, yaitu di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Semakin ke jenjang lebih tinggi, katakanlah di pendidikan menengah, misalnya Sekolah Menengah Atas, porsinya semakin berkurang. Sehingga pada saat di perguruan tinggi mental dan karakter anak itu dengan sendirinya telah terbentuk. Hal ini membuktikan bahwa dalam tolok ukur ideal tatanan pendidikan karakter kita disekolah belum mampu berlaku ideal.
Dalam sejarah perkembangannya sebenarnya pendidikan karakter adalah gagasan dipopulerkan Lawrence Kohlberg. Sosok Lawrence Kohlberg sendiri adalah seorang profesor Psikologi Pendidikan dan Sosial di Harvard University. Ia dikenal sebagai teoritikus moral dan karakter yang berpengaruh pada abad 20. Salah satunya adalah Teori Tahapan Perkembangan Moral yang menjadi cikal bakal format Pendidikan Karakter. Di Amerika Serikat Pendidikan karakter popular sebagai upaya Presiden Bill Clinton untuk menekan angka kehamilan remaja, pemakaian narkotika, kekerasan di sekolah, dan kriminalitas jalanan yang penanganannya bagai buntu ditengah jalan. Meskipun pasca Bill Clinton meminta para guru (pada tanggal 23 Januari 1997) untuk memasukkan pendidikan karakter sebagai kurikulum pengajaran, kehidupan remaja Amerika relatif tidak banyak mengalami kemajuan. Kegagalan pendidikan karakter yang dicanangkan oleh Presiden Bill Clinton ini sebenarnya sudah diperkirakan oleh Edward Wyne and Kevin Ryan. Dua tokoh pendidikan ternama di Amerika menilai bahwa Pendidikan Karakter memang rentan kritik. Sebab model pendidikan ini gagal untuk menjawab pertanyaan, “Nilai-nilai apa yang harus diajarkan dalam pendidikan karakter?” tanya Wynne and Ryan. Mencermati hal ini sejatinya, pendidikan Karakter menyimpan ruang problem yang cukup lebar saat harus dilaksanakan disekolah disaat sekolah tidak bisa menjawab pertanyaan dasar tentang persoalan nilai tersebut.
Arti Penting Pendidikan Karakter dan Kebangsaan
Terkait dengan permasalahan nilai yang ditanamkan tentunya beberapa pihak memiliki solusinya sendiri, namun hal yang jamak kita temui adalah keterlibatan militer dalam proses pembentukan karakter siswa. Atas dasar untuk membentuk anak didik agar memiliki karakter yang bagus, SMKN 5 Kota Malang membuat terobosan baru dalam Masa Orientasi Sekolah (MOS). Dengan membawa langsung anak didik yang baru diterima, menjalani pelatihan karakter di Dodikjur Kodam V Brawijaya, Kota Malang, Senin sampai dengan Rabu atau dari tanggal 11 sampai dengan 13 Juli 2011. Dalam persepsi kelembagaan SMKN 5 Kota Malang tentunya memiliki perpsepsi bahwa jika dibandingkan dengan sekolah tentunya militer sebagai lembaga harus diakui telah mampu membangun dan menjalankan pendidikan karakter yang professional yang sudah dimiliki militer sejak lama. Memandang persepsi ini tentu hal yang membedakan keduanya menurut saya adalah pola disiplin yang tinggi yang telah membudaya dilingkungan militer. Oleh sebab itu meski tanpa harus melibatkan militer secara institusi untuk mendidik karakter siswa, sebenarnya sekolah mampu untuk itu asalkan dapat menanamkan pola disiplin tingkat tinggi kepada siswa. Ini dilakukan sebagai salah satu jalan untuk bisa menciptakan generasi unggul yang salah satu kuncinya adalah dengan memiliki disiplin tinggi. Sesuatu yang menurut saya mulai jarang dan sulit diterapkan disekolah-sekolah hari ini, kunci yang bermuara pada keteladanan guru sebagai kontekstual idol bagi siswanya.
Namun keberdayaan sekolah dalam menumbuhkan kedisiplinan yang tinggi tentu tidak serta kemudian meniadakan peran militer dalam pembentukan karakter siswa. Pilihan untuk melibatkan militer dalam pembentukan karakter haruslah dilakukan secara proporsional, dengan tanpa melupakan peran sekolah sebagai lembaga yang mencetak lulusan terdidik dan bermoral. Baik sekolah maupun militer memiliki peran beserta keahlian dibidangnya masing-masing yang bukan berarti menggantikan tugas dan peran masing-masing. Dalam kaitan ini, peran militer harus ditetapkan pada rangkaian pembentukan “character nation”, yang secara nomenklatur merupakan bagian tidak terpisahkan dari institusi militer khususnya dalam konteks bela negara.
Diakui atau tidak nilai-nilai patriotism dan nasionalisme yang notabene adalah nilai-nilai kebangsaan, kian hari semakin luntur dari pribadi generasi muda kita. Oleh karena itu dalam rangka mengaktifkan kembali pola penanaman nilai-nilai kebangsaan tersebut, peran militer menjadi penting khususnya dalam membentuk sinergitas sebagai salah satu komponen bangsa. Dan sekolah bergerak dalam pola pendidikan dan pembelajaran perilaku yang baik dari para guru ditopang oleh implementasi aturan tata tertib siswa yang konsisten. Peran sekolah dan militer dalam hal ini, harus dilihat sebagai dua ahli yang berbeda dalam bidang keahliannya masing-masing. Sinergitas dan pemahaman fungsi dan peran masing-masing pihak menjadi jawaban terhadap bentuk pendidikan karakter yang akan ditampilkan. Hingga pada akhirnya pendidikan karakter akan melahirkan calon pemimpin bangsa yang bermoral, professional, berkualitas dan mampu menghadapi tantangan masa depan.
Untuk mewujudkan itu semua maka bukan berarti sekolah harus memiliterkan dirinya, atau dengan memiliterkan seragam sekolahnya. Sekolah hanya perlu untuk menerapkan beberapa hal yang dalam militer menjadi hal yang pokok atau dasar. Oleh karenanya kembali pada konteks dialog yang ada diawal tulisan ini. Maka hal sederhana yang bisa dilakukan sekolah untuk memulai pendidikan karakter adalah dengan mulai mengenalkan kembali prinsip-prinsip baris berbaris sebagai elemen dasar sikap tanggungjawab, disiplin, mandiri, peduli, maupun patriotik. Seperti yang pernah disampaikan seorang tokoh besar dunia bahwa keberhasilan selalu dimulai dari hal-hal sederhana yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten.
From netsains.com
0 comments:
Post a Comment