Netsains.Com -
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan mengadakan
sertifikasi. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap kinerja guru
akan meningkat dan pada gilirannya mutu pendidikan nasional akan
meningkat pula. Namun, beberapa pihak ada yang berpendapat bahwa
sejatinya sertifikasi adalah alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Bahkan yang lebih berani mengatakan bahwa sertifikasi adalah
akal-akalan pemerintah untuk menaikkan gaji guru.
Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan kecemburuan profesi lain. Meski tentunya, kita tidak mengesampingkan kenyataan bahwa United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Hingga hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN.
Dalam hal ini tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan Indeks Pengembangan Manusia. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang rendah. Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %. Namun pemahaman bahwa sertifikasi tidak lain hanya meningkatkan kesejah teraan guru seperti diatas juga tidak terlalu salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Namun, persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahteran guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Di samping itu, menurut Samami dkk. (2006:3), yang perlu disadari adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.
Kunci Keberhasilan Pendidikan
Pada dasarnya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah menempati kedudukan yang sangat penting dan tanpa mengabaikan faktor penunjang yang lain, guru sebagi subyek pendidikan sangat menentukan keberhasilan pendidikan itu sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman & Loxley pada tahun 1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara berbagai masukan (input) yang menentukan mutu pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Lengkapnya hasil studi itu adalah: di 16 negara sedang berkembang, guru memberi kontribusi terhadap prestasi belajar sebesar 34%, sedangkan manajemen 22%, waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%. Di 13 negara industri, kontribusi guru adalah 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22% dan sarana fisik 19% (Dedi Supriadi, 1999: 178). Fasli Jalal (2007:1) mengatakan bahwa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Oleh karena itu keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu.
Hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang bermutu. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan
mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut, yang tentunya memiliki penerapan berbeda dibeberapa negara Hasil studi Educational Testing Service (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat (Samami dkk., 2006:34).
Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar. Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru.
Di Indonesia, untuk mengikuti kegiatan sertifikasi ditahun 2011 ini para guru harus mengikuti tes awal untuk menilai kompetensi pendidik yang sebenarnya. Pelaksanaan sertifikasi guru yang bertujuan menjadikan pendidik profesional mulai tahun ini mengalami perubahan signifikan. Kelayakan guru memperoleh sertifikat pendidik profesional tidak hanya melalui penilaian portofolio, tetapi tes awal menjadi tolok ukur utama. Berdasarkan pengalaman jika hanya berkas portofolionya yang dinilai dan mayoritas guru lulus, sehingga berkas-berkas tersebut bisa saja dimanipulasi. Oleh sebab itu, dari kuota sertifikasi untuk 300.000 guru tahun 2011, hanya satu persen yang dijatah lulus lewat penilaian portofolio.Bagi yang tidak lulus pada jalur portofolio tersebut otomatis harus mengikuti sertifikasi jalur PLPG di masing-masing rayon atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Bagi para guru yang lulus pada tahap awal, berkas portofolio yang merupakan track record para guru tersebut akan dinilai. Sebagaimana dilansir Suara Merdeka.com 28 Juli 2011 Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat menyebutkan sebanyak 99% peserta atau 1.309 guru gagal atau tidak lulus dalam tes awal sertifikasi portofolio yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dari 1.323 guru yang mengikuti tes awal melalui sistem online, hanya 14 guru yang lulus dan bisa dinilai berkas portofolionya. Koordinator Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat Prof Wahyu Hardiyanto mengungkapkan, ketidaklulusan itu karena para pendidik tersebut tidak bisa memenuhi ketentuan nilai yang disyaratkan. ”Sesuai dengan ketentuan, para peserta harus bisa menyelesaikan 75% soal tes awal dalam bentuk pilihan ganda dengan waktu 100 menit untuk materi eksakta dan non-eksakta serta pedagogik. Kalau itu tidak terpenuhi, dianggap gagal untuk mengikuti penilaian berikutnya
Umumnya yang lulus merupakan guru-guru berprestasi menonjol. Sebagian besar guru akan mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) selama sepuluh hari di lembaga pendidikan tenaga pendidikan (LPTK) negeri dan swasta yang ditunjuk pemerintah. Para guru yang disertifikasi lewat jalur PLPG itu akan diuji kompetensi standar yang disiapkan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) .
Kualitas Pendidikan dan Sertifikasi Guru
Problematika apakah sertifikasi akan secara otomatis meningkatkan mutu kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan, masih menajdi perdebatan dikalangan pendidikan. Sebagaimana dirilis Kompas.com beberapa pihak mengatakan sertifikasi guru sebenarnya bukan ukuran yang tepat untuk menilai peningkatan mutu guru. Sebab, sertifikasi guru lebih merupakan proses untuk menetapkan guru apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Pasalnya, peningkatan mutu guru pascasertifikasi tidak serta-merta meningkat tajam. Karena itu, program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah hingga tahun 2015, baik lewat penilaian portofolio maupun pendidikan dan pelatihan guru, tetap harus diikuti dengan pembinaan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan
Hal inilah yang menyebabkan pertanyaan, adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu perlu dijawab secara kritis analitis, karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat kebijakan sertifikasi bagi guru belum berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan amat lambat. Sebagai contoh dalam kurun waktu sepuluh tahun, mulai tahun 1997 – 2006, Amerika Serikat hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang dalam kurun waktu yang sama mentargetkan mensertifikasi 2,7 juta guru sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan. (Fasli Jalal. 2007: 2)
Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi guru akan meningkatkan mutu pendidikan. Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju mutu. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai mutu. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi. Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang bersentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis.
Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut. Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal toleransi. Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
Membangun Sistem Jaminan Mutu
Untuk melakukan penjaminan pelaksanaan sertifikasi guru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan maka perlu dilakukan pembinaan guru secara terus menerus dan berkesinambungan. Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih di kandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru. Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.
Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat.
P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:
Meningkatnya kinerja guru akan meningkatkan kualitas pembelajaran, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan, karena ujung tombak dari kegiatan pendidikan adalah pada kegiatan pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru.
Pelaksanaan sertifikasi guru sebagai bentuk upaya ideal tentunya akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Dalam hal ini pemerintah perlu membangun jejaring untuk menjamin apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru. Oleh sebab itu, pembinaan dan pemberdayaan guru pasca sertifikasi secara berkesinambungan pada gilirannya akan menjadi bagian terepenting untuk menjamin pelaksanaan sertifikasi yang tepat sasaran. Sekaligus berperan sebagai perwujudan syarat mutlak menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang bermutu melalui guru-guru yang berkualitas. Pembinaan dan pemberdayaan yang kurang tepat tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan kegiatan sertifikasi sekedar kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan guru sebagai tujuan antara, sementara tujuan akhir dari kegiatan sertifikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi kurang mendapat perhatian dari peserta sertifikasi.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan. Jakarta.
Fasli Jalal. (2007). Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Bermutu?. Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Unair, tanggal 28 April 2007 di Surabaya
Muchlas Samani. (2008). Sertifikasi Guru Sebagai Bagian Peningkatan Kualitas Pendidikan. Makalah disampaikan pada seminar Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan. Program Pascasarjana UNY, 22 Maret di Yogyakarta
from netsains.com
Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan kecemburuan profesi lain. Meski tentunya, kita tidak mengesampingkan kenyataan bahwa United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Hingga hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN.
Dalam hal ini tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan Indeks Pengembangan Manusia. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang rendah. Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %. Namun pemahaman bahwa sertifikasi tidak lain hanya meningkatkan kesejah teraan guru seperti diatas juga tidak terlalu salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Namun, persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahteran guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Di samping itu, menurut Samami dkk. (2006:3), yang perlu disadari adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.
Kunci Keberhasilan Pendidikan
Pada dasarnya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah menempati kedudukan yang sangat penting dan tanpa mengabaikan faktor penunjang yang lain, guru sebagi subyek pendidikan sangat menentukan keberhasilan pendidikan itu sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman & Loxley pada tahun 1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara berbagai masukan (input) yang menentukan mutu pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Lengkapnya hasil studi itu adalah: di 16 negara sedang berkembang, guru memberi kontribusi terhadap prestasi belajar sebesar 34%, sedangkan manajemen 22%, waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%. Di 13 negara industri, kontribusi guru adalah 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22% dan sarana fisik 19% (Dedi Supriadi, 1999: 178). Fasli Jalal (2007:1) mengatakan bahwa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Oleh karena itu keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu.
Hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang bermutu. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan
mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut, yang tentunya memiliki penerapan berbeda dibeberapa negara Hasil studi Educational Testing Service (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat (Samami dkk., 2006:34).
Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar. Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru.
Di Indonesia, untuk mengikuti kegiatan sertifikasi ditahun 2011 ini para guru harus mengikuti tes awal untuk menilai kompetensi pendidik yang sebenarnya. Pelaksanaan sertifikasi guru yang bertujuan menjadikan pendidik profesional mulai tahun ini mengalami perubahan signifikan. Kelayakan guru memperoleh sertifikat pendidik profesional tidak hanya melalui penilaian portofolio, tetapi tes awal menjadi tolok ukur utama. Berdasarkan pengalaman jika hanya berkas portofolionya yang dinilai dan mayoritas guru lulus, sehingga berkas-berkas tersebut bisa saja dimanipulasi. Oleh sebab itu, dari kuota sertifikasi untuk 300.000 guru tahun 2011, hanya satu persen yang dijatah lulus lewat penilaian portofolio.Bagi yang tidak lulus pada jalur portofolio tersebut otomatis harus mengikuti sertifikasi jalur PLPG di masing-masing rayon atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Bagi para guru yang lulus pada tahap awal, berkas portofolio yang merupakan track record para guru tersebut akan dinilai. Sebagaimana dilansir Suara Merdeka.com 28 Juli 2011 Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat menyebutkan sebanyak 99% peserta atau 1.309 guru gagal atau tidak lulus dalam tes awal sertifikasi portofolio yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dari 1.323 guru yang mengikuti tes awal melalui sistem online, hanya 14 guru yang lulus dan bisa dinilai berkas portofolionya. Koordinator Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat Prof Wahyu Hardiyanto mengungkapkan, ketidaklulusan itu karena para pendidik tersebut tidak bisa memenuhi ketentuan nilai yang disyaratkan. ”Sesuai dengan ketentuan, para peserta harus bisa menyelesaikan 75% soal tes awal dalam bentuk pilihan ganda dengan waktu 100 menit untuk materi eksakta dan non-eksakta serta pedagogik. Kalau itu tidak terpenuhi, dianggap gagal untuk mengikuti penilaian berikutnya
Umumnya yang lulus merupakan guru-guru berprestasi menonjol. Sebagian besar guru akan mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) selama sepuluh hari di lembaga pendidikan tenaga pendidikan (LPTK) negeri dan swasta yang ditunjuk pemerintah. Para guru yang disertifikasi lewat jalur PLPG itu akan diuji kompetensi standar yang disiapkan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) .
Kualitas Pendidikan dan Sertifikasi Guru
Problematika apakah sertifikasi akan secara otomatis meningkatkan mutu kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan, masih menajdi perdebatan dikalangan pendidikan. Sebagaimana dirilis Kompas.com beberapa pihak mengatakan sertifikasi guru sebenarnya bukan ukuran yang tepat untuk menilai peningkatan mutu guru. Sebab, sertifikasi guru lebih merupakan proses untuk menetapkan guru apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Pasalnya, peningkatan mutu guru pascasertifikasi tidak serta-merta meningkat tajam. Karena itu, program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah hingga tahun 2015, baik lewat penilaian portofolio maupun pendidikan dan pelatihan guru, tetap harus diikuti dengan pembinaan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan
Hal inilah yang menyebabkan pertanyaan, adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu perlu dijawab secara kritis analitis, karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat kebijakan sertifikasi bagi guru belum berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan amat lambat. Sebagai contoh dalam kurun waktu sepuluh tahun, mulai tahun 1997 – 2006, Amerika Serikat hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang dalam kurun waktu yang sama mentargetkan mensertifikasi 2,7 juta guru sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan. (Fasli Jalal. 2007: 2)
Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi guru akan meningkatkan mutu pendidikan. Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju mutu. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai mutu. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi. Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang bersentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis.
Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut. Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal toleransi. Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
Membangun Sistem Jaminan Mutu
Untuk melakukan penjaminan pelaksanaan sertifikasi guru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan maka perlu dilakukan pembinaan guru secara terus menerus dan berkesinambungan. Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih di kandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru. Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.
Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat.
P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:
- menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
- mengembangkan model-model pembelajaran
- mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
- memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP
- mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan MGMP
- menjadi narasumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
- mengembangkan inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP
- menjamin keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP
- motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
- menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
- mengembangkan inovasi pembelajaran
- menjadi narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP
Meningkatnya kinerja guru akan meningkatkan kualitas pembelajaran, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan, karena ujung tombak dari kegiatan pendidikan adalah pada kegiatan pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru.
Pelaksanaan sertifikasi guru sebagai bentuk upaya ideal tentunya akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Dalam hal ini pemerintah perlu membangun jejaring untuk menjamin apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan mutu kompetensi guru. Oleh sebab itu, pembinaan dan pemberdayaan guru pasca sertifikasi secara berkesinambungan pada gilirannya akan menjadi bagian terepenting untuk menjamin pelaksanaan sertifikasi yang tepat sasaran. Sekaligus berperan sebagai perwujudan syarat mutlak menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang bermutu melalui guru-guru yang berkualitas. Pembinaan dan pemberdayaan yang kurang tepat tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan kegiatan sertifikasi sekedar kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan guru sebagai tujuan antara, sementara tujuan akhir dari kegiatan sertifikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan menjadi kurang mendapat perhatian dari peserta sertifikasi.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan. Jakarta.
Fasli Jalal. (2007). Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Bermutu?. Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Unair, tanggal 28 April 2007 di Surabaya
Muchlas Samani. (2008). Sertifikasi Guru Sebagai Bagian Peningkatan Kualitas Pendidikan. Makalah disampaikan pada seminar Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan. Program Pascasarjana UNY, 22 Maret di Yogyakarta
from netsains.com
0 comments:
Post a Comment