Adalah Paijo yang dengan tegas berteriak dengan memegang megaphone,
“Berapa banyak anak yang terpaksa “menunda” masuk sekolah karena tidak
ada biaya? Mengapa di tahun ke-66 Indonesia merdeka pendidikan masih
menjadi barang mewah bagi banyak orang? Rasanya kita dikhianati oleh
pemerintah kita sendiri.. Negara harusnya “mencerdaskan kehidupan bangsa
(UUD’45)” tapi yg terjadi sebaliknya.., bangsa kita disuruh bayar mahal
untuk menjadi cerdas.. apa pula ini????
Paijo adalah saksi betapa
kerasnya seleksi alam dunia pendidikan di Indonesia. Betapa tidak,
hampir setiap tahun angka putus sekolah terus saja meningkat.
Kementerian Pendidikan Nasional sendiri seperti dikutip dalam Kompas.com
25 Juli 2011, mengaku kesulitan menekan jumlah siswa miskin di jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kepala Bagian Perencanaan dan
Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas Nono Adya
Supriatno mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia
hampir mencapai 50 juta.
Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta
siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa
setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa
tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah.
Sungguh ironis memang kenaikan anggaran pendidikan secara signifikan
sejak 2005 ternyata tak membuat biaya pendidikan menurun. Dalam APBN-P
2010, pemerintah menaikkan anggaran pendidikan Rp 11,9 triliun dari Rp
209,5 triliun menjadi Rp 221,4 triliun, tetapi biaya pendidikan terus
meningkat, akibat belanja pendidikan yang tidak tepat sasaran. Kenaikan
terebut merupakan amanat UUD 1945, yang mensyaratkan anggar-an
pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Ironisnya lagi, kualitas
pendidikan juga belum beranjak naik.
Berdasarkan data BPS,
kenaikan biaya pendidikan pada Juli 2009 dibanding tahun 2000 mencapai
227 persen. Pada 2000, indeks harga biaya pendidikan berada di level
100, sedangkan pada 2009 mencapai 327. Kenaikan itu berada jauh di atas
kenaikan harga secara umum yang mencapai 115 persen dan kenaikan harga
pangan sebesar 122 persen. Sesuai inflasi, biaya pendidikan dari tahun
ke tahun juga terus merangkak naik. Perencana Keuangan atau Financial
Planner Aidil Akbar (Sindo, 2 Mei 2011) menjelaskan, inflasi yang
merupakan kenaikan harga secara umum dan berkaitan dengan mekanisme
pasar turut memengaruhi bidang pendidikan terutama dalam pembiayaan. Dia
mengatakan, inflasi di Indonesia dalam waktu 10 tahun terakhir berkisar
12–15%. Sementara kenaikan biaya pendidikan setiap tahunnya mencapai
20%. Hal ini berarti kenaikan biaya pendidikan lebih tinggi daripada
inflasi setiap tahunnya.
Menurut ekonom dari Institute for
Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, meningkatnya
indeks harga biaya pendidikan di tengah terus bertambahnya anggaran
pendidikan yang disediakan APBN, disebabkan alokasi anggaran pendidikan
itu yang tidak tepat sasaran. Akibatnya, tidak mampu mengurangi biaya
pendidikan yang harus dikeluarkan masyarakat. Setiap tahun ajaran baru,
terjadi kenaikan laju inflasi yang cukup signifikan, khususnya disumbang
sektor pendidikan. Jika demikian maka dapat disimpulkan bahwa unsur
pemerataan dari alokasi anggaran pendidikan kurang memperhatikan
kegiatan usaha ekonomi.
Trend Kenaikan Biaya Pendidikan
Dampak
kenaikan biaya pendidikan memang akan paling terasa bagi para mahasiswa
dari kalangan ekonomi rendah. Namun, imbas ini juga memengaruhi mereka
yang berasal dari kalangan kelas menengah. Meski keluarga dari kelompok
ini mampu menyediakan biaya pendidikan putra-putrinya, tak urung
kenaikan biaya pendidikan pun membuat mereka memutar otak. Sebab,
biasanya mereka tidak memiliki banyak uang atau tidak menyediakan
tambahan untuk kenaikan tersebut.
Apa yang terjadi Indonesia
sungguh sebuah ironi, kenaikan anggaran pendidikan selalu diiringi
kenaikan biaya pendidikan. Setiap tahun ajaran baru, semua orangtua
bergegas, mengulangi ritual yang harus dijalaninya setiap tahun:
menyiapkan sekolah untuk anak-anaknya dengan segala keluh-kesah yang
terus berulang. Uang masuk, biaya gedung, biaya tahunan, biaya buku,
biaya seragam, biaya kegiatan ekstra-kurikuler, dan aneka rincian biaya
lain yang harus dibayarkan. Biaya terus membubung yang tak sama sekali
tak ada kaitannya dengan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan
meningkat atau tidak, biaya tetap harus naik.
Apa pun
persoalannya, kenaikan biaya pendidikan yang terus berlangsung tiap
tahun merupakan beban finansial dan psikologis bagi hampir semua orang
tua siswa. Sebab, tidak banyak pilihan untuk menghindar. Tidak banyak
pilihan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dengan biaya relatif
murah.
Amanat UU Sistem Pendidikan Nasional tentang otonomi
sekolah di satu pihak dan tanggung jawab bersama pemerintah, sekolah,
keluarga, serta masyarakat untuk bertanggung renteng memajukan
pendidikan nasional merupakan argumentasi yang umumnya digunakan
menjustifikasi kenaikan biaya pendidikan. Lalu apakah tidak ada solusi
untuk hal ini? Tentu inilah yang selalu ada dibenak semua orang tua
yang anaknya sedang mengenyam pendidikan.
Implikasi Kenaikan Biaya Pendidikan
Robert
T. Kiyosaki, penulis buku “Rich Kid Smart Kid”: “Setiap pilihan
mempunya konsekuensi. Jika kita tidak menyukai pilihan dan
konsekuensinya, kita harus mencari sebuah pilihan baru dengan
konsekuensi baru.” Inilah yang bisa kita lakukan sebagai orangtua dan
anggota masyarakat yang berkepentingan atas pendidikan anak-anak kita?
Sebagai orang tua kita harus dengan bijak dan cermat memilih sekolah
bagi anak kita, tentu tidak semua sekolah yang mahal memiliki jaminan
kualitas yang baik dan begitu pula sekolah yang murah belum tentu
memiliki kualitas yang jelek.
Namun ternyata pernyataan ini
berlaku di Indonesia manakala rasionalitas biaya pendidikan tak lagi
terkait dengan kualitas output yang dihasilkannya. Biaya pendidikan
hanya dihitung berdasarkan biaya produksi dan penyelenggaraan
pendidikan. Semuanya terkait dengan inflasi dan kenaikan harga-harga
barang, hingga asumsi bahwa biaya pendidikan di Indonesia yang
dinilainya masih sangat murah mempengaruhi mutu dan daya saing. Tapi
keterkaitannya dengan output pendidikan tak pernah dibicarakan sebagai
sebuah pertanggung jawaban atas biaya yang harus dikeluarkan oleh
orangtua. Ironinya, semua keluh-kesah itu terus berulang setiap tahun.
Orangtua “dipaksa” untuk menerima dan menelan semua biaya yang diajukan
oleh sekolah. Proses penyesuaian biaya tidak pernah terjadi pada sistem
pendidikan, tetapi selalu orangtua yang menjadi korban dan harus
menyesuaikan keuangan keluarga. Orangtua seolah tak berdaya dan tak
memiliki pilihan selain menerima semuanya.
Menurut Sumardiono
(sekolahrumah.com) menyatakan bahwa penyesuaian terus menerus yang
dilakukan oleh orangtua itu dikhawatirkan akan menciptakan jebakan
“katak rebus”. Jebakan katak rebus adalah sebuah teori manajemen
mengenai matinya seseorang/sistem karena kemampuan menyesuaikan dirinya
tak dapat lagi mengikuti tekanan eksternal yang diterimanya secara
gradual. Ide mengenai teori “katak rebus” berasal dari percobaan seekor
katak yang dimasukkan dalam bejana air dingin yang diletakkan di atas
api. Seiring dengan meningkatnya suhu air yang ditempatinya, katak itu
tak melompat untuk melarikan diri. Alih-alih, dia menyesuaikan suhu
tubuhnya dengan suhu air yang ada di sekitarnya. Demikian, air sedikit
demi sedikit menjadi panas, demikian pun suhu tubuh katak. Ketika air
semakin mendidih, katak tak lagi memiliki kekuatan untuk melompat.
Matilah dia dalam rebusan air yang menjadi tempat hidupnya.
Tentu
saja kita tak menginginkan orangtua dan keluarga Indonesia “mati” oleh
tekanan sosial eksternal yang dialaminya dengan intensitas yang terus
meningkat. Walaupun memiliki kemampuan adaptasi dan menyesuaikan diri,
selalu ada batas alam sebelum ada kematian atau “ledakan”. Itulah
pelajaran dan peringatan dari alam yang mengingatkan kita. Sekolah
mungkin menolak kritik terhadap mahalnya biaya penyelenggaraan
pendidikan yang harus ditanggung orangtua. Pemerintah pun terus berdalih
kurangnya dana untuk anggaran di bidang pendidikan. Lalu, kemanakah
kita harus mengadu?
From netsains.com
0 comments:
Post a Comment