Proses
menyelesaikan proposal dan mengumpulkan data lapangan total
menghabiskan waktu 10 bulan, artinya tersisa 26 bulan untuk
menyelesaikan tesis. Ini adalah estimasi yang optimis. Bila
direncanakan tesis terdiri dari delapan bab, maka sekitar tiga bulan
dihabiskan untuk satu bab, dan sisa dua bulan untuk revisi secara
keseluruhan. Tapi skenario yang terjadi tidak seperti itu, proses
pengolahan data ternyata memakan waktu yang cukup lama juga (sampai 5
bulanan); menulis tesis dalam bahasa Inggris juga bukan kerjaan enteng
dan tentu saja mencari pola yang cocok untuk menampilkan data, argumen
dan bentuk yang bisa meyakinkan penguji bahwa ini tesis S3 yang layak
lulus adalah proses yang melelahkan secara mental dan fisik. Bagian
terakhir ini menceritakan lika-liku penulisan selama sisa waktu studi
yang dua tahun lebih sedikit itu.
Untuk menganalisis data mentah
tentu memerlukan alat yang tepat. Untuk data kuesioner, relatif lebih
mudah karena cukup dengan mentabulasi hasil; namun untuk data wawancara
perlakuannya sedikit berbeda. Yang pertama tentu melakukan transkripsi
secara lengkap untuk semua wawancara dengan responden. Terdapat
software khusus yang bisa membantu untuk analisis data kualitatif, yaitu
NVivo-2 yang merupakan versi lanjutan dari NUD*IST (
Non-numerical Unstructured Data Indexing, Searching and Theorizing)
yang merupakan produk dari QSR international. Perangkat lunak ini
memang ada di perpustakaan untuk dipinjam, buku manual-nya pun
tersedia; namun untuk mahir menggunakannya tentu memerlukan latihan.
Bareng dengan dua orang penerima beasiswa NZAID lainnya meminta supaya
diberikan kursus NVivo ke
liaison officer dan diberikan
pelatihan selama dua hari di SLSS. Cara kerja software NVivo ini
sebenarnya sederhana, upload semua data teks dalam bentuk
softcopy
(wawancara, observasi, dokumen), kemudian dilihat segmen-segmen dari
setiap file, diberi tanda pada bagian yang menarik; cara memberikan
tanda pada awalnya ‘penuh pertimbangan’ bahwa ini haruslah kode yang
menarik, namun lama kelamaan semakin enak dilakukan karena yang
‘ditandai’ akan teridentifikasi apakah jenis kodenya sudah ada atau
belum. Saat semua
softcopy file sudah selesai ditandai, maka
kode yang ada bisa dilihat apakah ini bagian induk atau turunan;
dilakukan berulang-ulang. Kerja terakhir yang perlu dilakukan adalah
memeriksa satu kode tertentu, misalnya ‘perubahan peran komite sekolah’
maka berbagai pendapat/pandangan/komentar dari berbagai responden
langsung berjejer yang memudahkan untuk menganalisis dan menuliskan hal
tersebut di bagian tesis nantinya.
Saya merencanakan tesis dalam
delapan bab yang terdiri dari empat bagian, yaitu bagian satu yang
terdiri dari pendahuluan (bab satu) dan kajian pustaka (dua bab);
bagian dua berisi metodologi riset; bagian tiga analisis hasil dan
pembahasan (tiga bab); dan terakhir kesimpulan. Masing-masing bagian
mempunyai pola pengerjaan tersendiri, kesulitan dan kerumitan yang unik
serta pencarian model harus seperti apa yang enak dan menarik untuk
disajikan. Bekal mempelajari tiga buah tesis seperti sudah diceritakan
sebelumnya, banyak sekali membantu untuk menyusun harus seperti apa
isi, uraian dan argumentasi yang perlu ditampilkan. Seorang teman
sebelumnya menjelaskan, dalam uraian tesis S3, tidak boleh terdapat
satu jeda yang membuat si pembaca menjadi tertegun dan mempertanyakan
isinya; semuanya harus tersusun secara logis, enak dibaca, didukung
dengan argumen dan fakta yang relevan. Bila tidak jangan harap bisa
lulus.
Bagian kajian pustaka saya bagi dua, satu bab khusus tentang pendidikan Indonesia dan satu lagi tentang
literature reviews
yang berhubungan dengan topik riset. Perlunya bab tentang tinjauan
pendidikan negara kita atas alasan yang sederhana, penguji tesis
nantinya kemungkinan bukan orang Indonesia dan dia akan sangat dibantu
untuk paham tentang kondisi yang ada dan merefleksikan dengan bagian
diskusi dan analisis. Apa yang perlu diceritakan? ini yang menimbulkan
kebingungan juga, apakah perlu masa merdeka saja atau dari jaman
penjajahan; dengan merujuk ke tesis tentang pengajaran bahasa Inggris
di Indonesia akhirnya diputuskan untuk mereview sejak sekolah formal
diperkenalkan oleh Belanda. Memberikan kajian historis punya keuntungan
untuk menampilkan jalannya pendidikan yang terjadi dan mencatat
peristiwa penting yang mengubah keadaan di masa depan. Tentu untuk
menjadikannya relevan dan menarik harus ditampilkan dengan fakta-fakta
dan rujukan yang valid. Berhubung saya hanya guru kimia dan bukan guru
sejarah, maka proses memperoleh fakta-fakta sejarah yang relevan untuk
penulisan tesis adalah petualangan berikutnya yang mengesankan. Membaca
buku-buku ‘klasik’ seperti karya Ricklefs (
A History of Modern Indonesia),
Kahin, Adrian Vickers atau Herb Feith memberikan kenikmatan
tersendiri; juga buku-buku yang berasal dari tesis seperti tulisan Lee
Kam Hing (1995). Namun apa yang dinikmati tentu tidak bisa dituliskan
sebanyak yang mau, menulis tesis adalah urusan lain dan kadang harus
tega untuk menuliskan paling banyak menyumbangkan satu atau dua
paragraf dari kerja membaca dan menelaah satu buku selama dua minggu
lebih; malah kadang untuk sumber lain kontribusinya dalam tesis hanya
satu kalimat saja. Untuk pendidikan masa Indonesia merdeka terdapat
buku Poerbakawatja (suatu kejutan buku ini bisa ditemukan di
perpustakaan universitas di Selandian Baru) yang memberikan fakta-fakta
unik yang tidak akan didapatkan di pustaka lain. Pembahasan pendidikan
masa Orde Baru adalah yang paling ‘seru’, karena banyak rujukan
tersedia, seperti karya klasik dari Beeby (1979, ‘
Assessment of Indonesian Education’) sampai yang kritis dari Dean Nielsen (‘
Reforms to Teacher Education in Indonesia: does more mean better?‘).
Konstruksi bab pun dibuat sesuai dengan pakem yang biasa terjadi: masa
penjajahan belanda, pendudukan jepang, dan masa kemerdekaan yang
terbagi tiga: orde lama, oder baru dan masa reformasi. Untuk
menunjukkan benang merah, di setiap masa yang dibahas adalah konteks
tentang sistem pemerintahan yang diberlakukan, pendidikan menengah dan
isu partisipasi warga masyarakat dalam pendidikan.
Bab kajian
pustaka berikutnya adalah mengenai isu desentralisasi pendidikan,
manajemen berbasis sekolah dan berbagai seluk beluknya. Tidak seperti
bab tentang pendidikan Indonesia yang perlu melihat contoh yang cocok,
untuk bab kajian pustaka ini berbagai rujukan bagus banyak tersedia dan
tinggal ambil pendekatan yang sesuai saja. Berhubung tesis S3 harus
menampilkan sesuatu yang sebisa mungkin harus baru dan asli, maka
membandingkan berbagai pembahasan, pembagian topik dan uraian yang ada
dan membuat sintesis yang baru ternyata bukan urusan enteng.
Direka-reka bentuk yang baru namun ‘jejak’-nya memang tidak bisa
dihilangkan, akhirnya diputuskan menggunakan pembagian topik bahasan
yang sudah dibuat pakar saja, dengan konteks dan isi yang disesuaikan
dengan situasi pendidikan di Indonesia. Misal untuk melihat konstruksi
desentralisasi digunakan pembagian yang diramu dengan membaginya dalam
empat dimensi yaitu:
degree of transfer, breadth of transfer, location of transfer, dan
functions transferred;
pembagian ini jelas membuat tulisan dan pembahasan lebih fokus tentu
dengan ilustrasi hasil riset pakar lain dan contoh dalam pendidikan di
Indonesia. Berhubung isu desentralisasi erat hubungannya dengan ilmu
politik, maka ngubek-ngubek kepustakaan tentang
power distribution
ini juga harus dilakukan untuk melihat tren yang terjadi dan seperti
apa hal itu diimplementasikan dalam pendidikan. Suatu nasehat yang
‘mengagetkan’ dari pembimbing utama adalah mengenai pola penulisan
tesis di bab ini yang saya gunakan; dia mengkritik tulisan saya yang
polanya selalu menampilkan nama pakar dahulu, diikuti dengan penjelasan
berdasar apa yang saya pahami kemudian dengan di
back up
dengan pendapat pakar lainnya. Dia mengatakan bahwa pola seperti itu
tidak menunjukkan keberanian berpendapat dan kecenderungan mengekor
pada orang lain; itu perlu diubah katanya. Yang bagus menurutnya,
tampilkan apa yang kamu pahami terlebih dahulu berdasar sintesis
pendapat yang didapat, baru belakangan sebutkan pakar yang sesuai
dengan pendapat itu; dengan begitu kamu menjelaskan kepada pembaca
bahwa kamu adalah pakar dalam hal itu karena memang telah meramu
berbagai ide dan pendapat orang. Suatu nasehat bijak yang saya ikuti
sampai sekarang dan saya selalu sampaikan pada mahasiswa bimbingan.
Walhasil, tahapan bagian pendahuluan tesis pun diselesaikan untuk
memberikan konteks studi dan informasi yang relevan yang tentunya
memberikan bingkai lengkap untuk bisa memahami bagian temuan riset
nanti.
Bagian kedua yang berisi pembahasan tentang metodologi
yang digunakan isinya relatif tidak ada yang ‘baru’. Menjelaskan
tentang tinjauan filosofis kenapa metoda kuantitatif yang digunakan,
tentu disebutkan kelebihan dan kelemahan serta argumen kenapa cara ini
lebih cocok untuk dipakai dalam riset ini. Bagaimana riset dilaksanakan
dijelaskan pilihan studi kasus yang tentunya cocok sesuatu dengan
kondisi, kedalaman studi dan efisiensi sumber daya yang dimiliki (bila
digunakan etnografi maka kemewahan waktu tidak dipunyai, tentu karena
target menyelesaikan tesis yang harus tepat waktu). Berikutnya adalah
penjelasan tentang instrumen, bagaimana data bisa didapatkan, bagaimana
cara analisis dan isu etis dalam riset sehubungan dengan perlakukan
pendapat responden. Tidak lupa juga dijelaskan tentang lokasi riset,
mulai dari statistik dasar, kondisi geografis dan demografis kota
Mataram maupun perubahan yang terjadi setelah era otonomi.
Bagian
berikutnya adalah bagian hasil dan pembahasan yang terbagi dalam tiga
bab; satu bab khusus menganalisis kebijakan di tingkat pusat yang
menjadi landasan implementasi di lapangan; satu bab memotret apa yang
terjadi di tingkat distrik (Kota Mataram); dan satu bab lagi membahas
tentang respon di tingkat sekolah. Saat merancang isi bab yang
menganalisis kebijakan, maka berburu lagi model seperti apa yang cocok
untuk ditampilkan. Bila melihat berbagai tulisan di jurnal analisis
kebijakan publik ataupun analisis kebijakan pendidikan maka didapati
pola pembahasan yang sangat beragam dan ‘banyak tingkah’. Akhirnya
disimpulkan memang tidak terdapat hal baku harus seperti apa, yang
penting adalah bagaimana mengupas kebijakan dengan metoda yang tepat,
menampilkan isinya sesuai dengan kerangka teoritis, disertai kritisi
dan argumen yang logis, apalagi isi bab ini termasuk yang ‘kering’
karena hanya melulu menggunakan analisis dokumen dan sumber-sumber
tertulis lainnya. Dari seorang teman saya diberi tahu bahwa salah satu
perancang kebijakan MBS itu adalah seorang pakar pendidikan di Yogya
yang paling berperan, maka kontak pun dibuat mulai dari secara
elektronik sampai mengutus mantan murid yang jadi mahasiswa di Yogya
untuk menemui beliau di kantornya. Sayangnya sampai saat yang
dinantikan tidak ada respon sama sekali dan diputuskan tidak bisa
menjadikannya sumber informasi. Pada saat yang sama saya pun berburu
pakar, apakah memang ada yang pernah melakukan analisis terhadap
kebijakan ini, dan itu dilakukan dengan searching internet secara
reguler, ikut hadir dalam diskusi berbagai milis dan ngintip
forum-forum diskusi yang jlimet di internet. Didapat pendapat dari
seorang milister yang menarik untuk ditelaah, dihubungi dan secara
cepat memberikan respon yang dinantikan. Namanya Bapak Abdul Malik, dan
beliau saat itu bertugas di BPPT walaupun instansi induknya adalah
Bappenas. Maka diminta kesediaan beliau untuk mengkritisi bab yang
khusus tentang analisis kebijakan ini, dan kritik dan pendapat yang
disampaikan sangat berharga dan memberikan bobot tesis yang diharapkan.
Untuk memberikan gambaran betapa sentralnya kebijakan pendidikan ini
dianalisis, disertakan potongan pidato menteri pendidikan saat itu
mengenai hal ini; tinjauan historis kenapa kebijakan perlu dibuat yang
merupakan buah pemikiran dari tim yang dibentuk dan didanai oleh Bank
Dunia (malah mereka disebut
forty best brains) di akhir
1990-an; sampai kepada berbagai kutipan dari pejabat teras depdiknas di
media cetak yang berhubungan dengan isu kebijakan itu dan berbagai
rilis resmi dari Dedpiknas. Setelah buram (
draft) bab ini
selesai, masih terasa sangsi apakah ini memang memenuhi standar
kualitas untuk tesis S3 atau tidak; komentar dari pembimbing tidak
menjawab rasa ingin tahu itu, artinya harus menunggu penilaian dari
penguji tesis nantinya, karena mereka lah yang memutuskan nantinya.
Bab
analisis berikutnya yang mencoba menjawab pertanyaan riset mengenai
implementasi di tingkat Kota Mataram; maka aktornya pun jelas dan sudah
selesai diwawancara dan ditranskripsi (serta beberapa tema yang
menonjol pun sudah muncul dengan NVivo), serta didukung dengan
wawancara dari lapis bawah (sekolah dan komite sekolah). Untuk
memudahkan penjelasan, maka isi bab dibagai kepada kebijakan di tingkat
kepala daerah dan DPRD, kemudian peran yang dimainkan oleh dinas
pendidikan, dan terakhir kiprah lembaga baru yang bernama Dewan
Pendidikan (DP). Konstruksi bab seperti ini pun sifatnya ‘meraba-raba
dan coba-coba’, karena saat membaca berbagai tesis yang relevan, tidak
didapati model yang cocok harus seperti apa ini ditulis. Dengan kata
lain tinggal tunggu penilaian dari penguji tesis saja sebagai vonis
penentuan. Isi bab dimulai dengan kebijakan yang dilakukan oleh kepala
daetah dan partnernya (DPRD), ternyata sejak otonomi tidak ada
kebijakan khusus yang menyangkut pendidikan sama sekali, yang ada
adalah deretan perda retribusi untuk menambah kas daerah (suatu gejala
‘umum’ yang terjadi di berbagai daerah berhubung ‘ancaman’ bahwa
anggaran dari pusat/DAU tidak akan mencukupi di masa mendatang, yang
ternyata hanya isapan jempol). Berhubung dokumen dari sekretariat dewan
pun tidak ada, maka satu-satunya dokumen publik yang bisa ditelaah
adalah APBD. Dan tentu saja melihat ‘jeroan’ APBD ini banyak temuan
menarik, dan terlihat dengan jelas seperti apa politik pendidikan yang
diterapkan, misalnya didapati bahwa anggaran pembangunan dan renovasi
fisik sekolah nominalnya sangat fantastis dibanding dengan pelatihan
buat guru, apalagi untuk sosialisasi dan pelatihan bagi komite sekolah.
Opini dan komentar dari wawancara melengkapi cerita untuk analisis hal
ini. Bergerak kepada dinas pendidikan, didapati terjadinya ‘
power syndrome’ berhubung kekuasaan yang meningkat drastis dan menjadi pusat yang baru menggantikan Jakarta (
decentralized centralism),
mereka tidak segan untuk membantah mantan atasannya yaitu dinas
pendidikan provinsi (dahulu kantor wilayah P&K) dalam berbagai isu
yang muncul ke permukaan (di dokumentasikan dengan berita oleh koran
lokal) yang sedang menikmati ‘
post-power syndrome‘. Yang unik,
saat ditelaah apa yang dilakukan dan bukti dari wawancara, ternyata
kelebihan kekuasana itu hanya melaksanakan apa yang sudah biasa
dilakukan, artinya memang tidak terdapat keberanian untuk melakukan
sesuatu yang baru. Beralih ke cerita dewan pendidikan, maka yang muncul
adalah cerita tentang ‘derita anak tiri’; sangat nampak mulai dari
bagaimana dibentuk, fasilitas yang diberikan, komunikasi yang dilakukan
dan tentu saja anggaran yang bisa digunakan. Berbagai anekdot yang
relevan yang didengar dari guru, kepala sekolah, pengurus organisasi
guru, pengawas melalui wawancara dengan mereka disentesis menjadi bahan
cerita dengan plot yang menarik untuk menampilkan seperti apa perubahan
yang terjadi di distrik tersebut sehubungan dengan otonomi daerah dan
reaksi terhadap kebijakan baru yang dibuat oleh depdiknas.
Bab
analisis yang terakhir menampilkan respon yang terjadi di tingkat
sekolah. Untuk konstruksi bab ini, banyak contoh dan model bisa ditiru
untuk menulis seperti apa bagusnya dikerjakan. Bab ini juga termasuk
yang paling banyak lembarannya dibanding kedua bab analisis hasil
sebelumnya, berhubung banyaknya metoda pengumpulan data yang digunakan
(dokumen, observasi, kuesioner dan wawancara). Perlu dijelaskan dulu
seperti apa sekolah menengah yang dijadikan objek riset, dimana datanya
didapat dari observasi sekolah, mulai dari segi organisasional dan
struktur, aktivitas pengajaran maupun pola hubungan birokrastis yang
diterapkan. Untuk memudahkan objek kajian maka ini terbagi dalam kepala
sekolah, guru dan pengurus komite sekolah (KS); typikal kepala sekolah
adalah laki-laki, namun yang unik dalam postur pengurus KS pun didapati
‘
male dominated society‘ dari lapis yang paling elit (semua
lulusan S1, ada beberapa yang juga mempunyai gelar S2) sedangkan pada
guru tidak ditemukan perbedaan jender yang mencolok. Pembahasan
dilanjutkan dengan berbagai aspek yang berhubungan dengan isu
desentralisasi di tingkat lokal dan respon dengan kemunculan lembaga
baru yang bernama komite sekolah. Dari berbagai isu tersebut, yang
selalu muncul lagi dan lagi adalah peran kepala sekolah; artinya
perubahan menguntungkan posisi beliau karena semakin kuat dibanding
aktor di tingkat lokal lainnya. Isu sentralnya apalagi kalau bukan
pengelolaan dana yang diperoleh bukan dari pemerintah, yaitu dari orang
tua murid. Yang menarik adalah bagaimana mekanisme pemungutan,
pengumpulan dan pemberian dana tersebut ke pihak sekolah, suatu hal
yang tidak masuk akal saat mendapati duit yang nominalnya ratusan juta
rupiah diserahkan seperti dana shadaqah, yang berdampak minim
transparansi dan akuntabilitas. Pengumpulan dana pun seolah-olah
sandiwara yang dipaksakan oleh satu pihak sesuai dengan agenda yang
dibuatnya sendiri melalui acara yang namanya rapat komite dimana yang
diundang kelompok eksklusif yang tidak banyak tahu tentang keadaan
sekolah (ortu siswa baru) dan lainnya. Saat mendiskusikan berbagai hal
ini ke pembimbing, dia pun sedikit heran dan bertanya-tanya terus
mengenai status “sumbangan komite” itu, apakah ini
another form of taxation?
dia tahu sendiri itu lembaga publik, tapi jelas namanya bukan kantor
pajak tapi sekolah. Terdapat juga berbagai temuan-temuan lain yang bila
dicoba diakurkan dengan tinjauan di kajian pustaka, memang hanya
terdapat di negara kita adanya. Proses menulis bab ini memakan waktu
yang paling lama, karena harus mensinkronkan temuan di lapangan dari
berbagai metoda pengumpulan data, dan disaat yang sama harus menemukan
rujukan yang cocok untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Tidak aneh,
menulis untuk bab ini membutuhkan waktu lebih lama dan membuat target
beres tiga tahun studi pun meleset.
Bab terakhir yang berisi
kesimpulan riset, tadinya mau mengikuti pola yang baku, dimana
dijejerkan pertanyaan riset, terus dijawab satu demi satu berdasar
berbagai fakta yang muncul dalam bab hasil dan pembahasan. Namun
setelah dipikir lagi, tentu akan menarik untuk menuliskannya seperti
plot cerita tentang otonomi daerah yang berkelindan dengan perubahan
kebijakan pendidikan dalam hal pelibatan komunitas dan desentralisasi
kekuasaan yang terjadi. Diharapkan penceritaan ini lebih memberikan
kesan mendalam dan menguatkan pesan tentang perubahan yang terjadi di
Indonesia di masa reformasi dalam hal desentralisasi pendidikan.
Pada
saat selesainya bab terakhir ini dituliskan dalam bentuk buram, maka
jatah studi (April 2006) sudah dilewati, namun pihak pembimbing
mendukung saya dengan melaporkan progres studi yang telah terjadi,
disertai argumentasi memang susahnya menulis tesis dalam bahasa Inggris
untuk taraf S3 bagi yang English-nya merupakan bahasa asing kepada
sponsor beasiswa. Maka dengan itu saya dapat bonus masa studi tiga
bulan untuk melakukan perbaikan tesis dan penyempurnaan sebelum secara
resmi diserahkan ke fakulti. Pembimbing ternyata memerlukan waktu lama
juga untuk dua kali perbaikan secara menyeluruh, dan terakhir diminta
untuk meminta seorang
proof reader (dibayar oleh NZAID) yang
akan memperbaiki kualitas English tesis dalam hal tata bahasa dan
ekspresinya. Maka secara resmi pada 20 Juni 2006 tesis diserahkan
sebanyak tiga buah eksemplar ke fakulti (serta masing-masing satu ke
tiap pembimbing), setelah itu mengurus kepulangan ke tanah air sambil
menunggu laporan dari penguji tesis yang diperkirakan akan diberikan
sekitar tiga bulan kemudian.
—oOo—
Berita itu akhirnya
datang juga melalui email, dari kantor fakultas mengirimkan laporan
hasil pengujian tesis. Isinya singkat saja, bahwa tesis diterima dan
perlu perbaikan kecil yang akan diperiksa oleh pembimbing utama. Proses
penilaian tesis memang sederhana, dikirimkan ke tiga orang pakar, dua
dari New Zealand, dan satu orang di luar Selandia Baru; para penguji
kemudian akan memberikan evaluasi tertulis mengenai tesis dan
menyatakan apakah diterima, diterima dengan perbaikan atau ditolak.
Sesuatu yang tidak saya duga, tiga orang pakar tersebut (seorang
professor dari Massey University dan seorang associate professor dari
Victoria University of Wellington, keduanya dari New Zealand; dan
seorang lagi associate professor dari Sydney University, Australia)
menyatakan tidak keberatan gelar doktor diberikan, dan menyarankan
perbaikan kecil saja sehubungan terdapat beberapa ekspresi dalam
English yang kurang tepat. Beberapa keraguan pribadi mengenai
konstruksi beberapa bab dalam tesis yang sifatnya ‘eksperimen’ tidak
menjadi keberatan mereka, dan menganggapnya hal yang biasa saja. Malah
saat membaca laporan lengkap pengujian tesis, saya melihat ini peluang
yang bisa dipergunakan untuk bekal masa depan nanti.
Hasil yang
tidak dikira ini ternyata menutup kemungkinan untuk melakukan perbaikan
tesis paling tidak satu bulan penuh di Wellington yang akan dibiayai
oleh NZAID, yang tadinya juga akan saya pergunakan untuk berpetualang
dari pulau utara sampai ke ujung selatan Selandia Baru di Bluff tidak
bisa terjadi. Berhubung saran perbaikan yang disyaratkan oleh
supervisor sebagai
final refinement tesis ternyata hanya perlu waktu 12 menit saja, tidak memakan masa sampai satu bulan. Setelah itu si
supervisor sendiri yang melakukan kerja bakti buat mahasiswa-nya dengan cara mencetak dan menjilid
hardcover, malah beberapa eksemplar dikirimkan ke rumah segala.
From netsains.com