Saya masih berstatus sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta ketika saya mendapat panggilan dari AusAID perihal wawancara Australian Development Scholarship (ADS) di bulan November 2002 silam. Dalam panggilan itu, ada sepucuk surat dengan berbagai lampiran jadwal ujian wawancara dan ujian IELTS serta satu buku panduan yang cukup tebal. Saya masih ingat, warnanya merah bata. Bagi banyak orang di Indonesia, surat ini adalah berkah luar biasa, telah ditunggu berbulan-bulan dalam ketegangan. Ada teman yang berkelakar beberapa tahun setelahnya bahwa jika mendapat surat dengan amplop besar dari AusAID artinya lolos wawancara. Jika amplopnya kecil, artinya hanya berisi surat permohonan maaf alias penolakan. November 2002, saya memang mendapat amplop besar dan tebal.
Januari 2003, saya mulai bekerja secara resmi di Teknik Geodesi UGM dengan mengantongi sebuah undangan ujian ADS. Saya memang mengurus lamaran ADS ketika masih kerja di Astra Jakarta, meskipun di saat yang sama saya sudah diterima sebagai dosen di Teknik Geodesi UGM. Setelah menerima surat itu saya tahu jadwal wawancaranya adalah akhir Januari 2003 dengan dua kompoen ujian utama yaitu wawancara dan ujian Bahasa Inggris IELTS. Karena suatu alasan saya tidak sempat membaca buku panduan dengan seksama. Akibatnya, saya tidak tahu persis tatacara ujian IELTS yang memang belum pernah saya ikuti. Dugaan saya ketika itu, model tesnya tidak jauh berbeda dengan TOEFL. Singat kata waktu ujianpun tiba.
Pagi sebelum jadwal ujian dimulai, saya telah ada di Balairung UGM di Jogja tempat tes berlangsung hari itu. Saya mengenakan kemeja lengan panjang, celana hitam dan sepatu kulit. Saya masih ingat, warna kemejanya biru kotak-kotak kecil. Sepatu saya semir mengkilat walaupun tidak bisa glamor karena sepatunya memang bukan kelas mahal. Singkatnya, saya tampil baik karena saya yakin penampilan yang baik dan wajar itu selalu aman dan rendah risiko.
Saya duduk di satu meja kecil, berhadapan dengan seorang peserta lainnya ketika ujian Listening dimulai. Terbiasa dengan TOEFL, sayapun menunggu kalimat penting pertanda tes dimulai “Question number one”. Cukup lama saya tunggu kalimat itu saat terdengar dua orang bercakap-cakap dalam bahasa Inggris logat British, tetapi kalimat ‘kunci’ itu tidak kunjung terdengar. Setelah beberapa lama, percakapan berhenti dan semua orang terdiam, sayapun terdiam, masih menunggu kalimat “Question number one”. Saya mulai resah karena kalimat itu tidak terdengar sementara waktu terus berjalan. Saya merasakan ketegangan di sekeliling saya, semua orang nampak bekerja dengan tekun. Saya bertanya-tanya dalam hati, ‘apa yang mereka kerjakan karena soalnya pun belum dibacakan?’ Saya menjadi sedikit khwatir jangan-jangan saya salah mengerti apa yang terjadi.
Di tengah kegelisahan itu, tiba-tiba terdengar instruksi untuk beranjak pada kelompok soal berikutnya. Saya terkejut bukan kepalang dan baru sadar bahwa saya harus menjawab pertanyaan isian secara mandiri, tanpa perlu mendengar instruksi “Question number one”. Pelajaran moral penting: biasakan membaca buku petunjuk sebelum memulai sebuah ujian. Ternyata IELTS memang berbeda dengan TOEFL, peserta harus segera menjawab pertanyaan ketika dialog berlangsung tanpa ada instruksi khusus dari narator. Kejadian ini membuat saya gugup dan menjawab beberapa pertanyaan pertama dengan ngawur karena dialognya sudah terlewati. Saya hanya menjawab sesuai dengan ingatan seadanya, sementara soal berikut siap menunggu. Meskipun tergagap-gagap dan gugup, saya toh bisa melewati tes tersebut. Jangan tanyakan hasilnya, itu bukan lagi menjadi kendali saya. Namun mengingat ‘kekonyolan’ saya di ujian Listening, rasanya tidak perlu terkejut jika hasilnya tidak menggembirakan. Benar saja, dua minggu kemudian saya ketahui nilai Listening saya kurang dari 6. Syukur nilai total bisa 6,5.
Berbekal dari kejadian itulah, setiap kali diminta memberi tips untuk ujian IELTS, saya selalu menegaskan bahwa ‘adalah sangat penting untuk mengetahui model soal IELTS’. Seorang peserta ujian harus tahu persis (di luar kepala) struktur ujian, jumlah soal, jenis soal, waktu yang disediakan, dan sebagainya. Jangan pernah tes sebelum tahu persis semua ketentuan administratif itu. Setelah itu tahu, kemampuan Bahasa Inggris tentu saja penting untuk mendapatkan nilai yang baik.
Dengan persiapan yang mengenaskan itu, saya menyelesaikan tes lain yaitu Reading, Writing danSpeaking. Reading tidak terlalu istimewa karena tesnya sama saja dengan model tes lain. Yang jelas ada bacaan dan ada pertanyaan terkait bacaan. Tidak ada hal-hal khusus. Bagian Writingcukup istimewa karena itu adalah kali pertama saya diuji menulis Bahasa Inggris. Ujian TOEFL sebelumnya yang saya ikuti tidak berisi tes menulis. Meski demikian, saya hanya menggunakan naluri umum saja saat menyelesaikan dua soal di Part 1 dan Part 2. Belakangan, setelah saya belajar IELTS dari sumber yang benar (buku, guru, internet) saya baru tahu bahwa Part 1 dan Part 2 di soal Writing itu bisa diselesaikan dengan strategi tertentu. Dengan belajar yang benar, segala sesuatu memang terasa lebih mudah dan sistematis.
Agak berbeda dengan teman-teman lain ketika itu, Speaking adalah bagian yang paling tidak saya risaukan. Saya hanya datang saja dan ngobrol dengan pewawancara tanpa merasa sedang dites. Intinya, saya menjawab saja apa adanya sesuai dengan pertanyaan yang disampaikan. Saya juga terbantu karena bule yang menguji Speaking waktu itu tinggal di Bali sehingga ada banyak hal yang membuat percakapan lebih hangat. Yang sedikit terasa sulit tentu saja ketika ditanya pendapat soal isu tertentu. Karena tidak ada beban, saya jawab saja seadanya sesuai keyakinan saya. Intinya saya menganggap itu percapakan biasa saja, bukan sebuah ujian serius. Saya membayangkan sedang ngobrol dengan seseorang yang baru saja saya jumpai. Sayapun tidak bertarget harus bisa menjawab semua pertanyaan dengan sempurna. Mengapa harus sempurna karena itu adalah percapakan biasa saja antara dua orang yang baru kenal? Kira-kira demikian rupanya perasaan saya ketika itu. Meski demikian, saya juga tahu bahwa setiap orang akan bisa menilai secara naluri apakah orang yang diajaknya bicara itu antusias atau tidak, menunjukkan respek atau tidak. Meski tidak harus bisa menjawab semua pertanyaan dengan sempurna, setidaknya saya berusaha dengan sungguh-sungguh memberikan respek atas pertanyaannya dan menjawab dengan segenap kemampuan saya. Jika ada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab sempurna, saya hanya meminta maaf saja, tidak bisa mengelaborasi lebih dari itu. Singkat kata, ujian IELTS pun selesai.
Beberapa hari kemudian saya mengikuti ujian lanjutan berupa wawancara. Kali ini wawancara lebih terkait pada persiapan saya bersekolah di Australia, bukan tetang Bahasa Inggris. Saya masih ingat, saya berhadapan dengan dua orang ketika itu. Satu orang adalah Profesor dari University of Canberra dan satu lagi adalah Dr. Kopong dari Universitas Nusa Cendana di Kupang yang merupakan alumni AusAID senior. Seperti halnya ketika menghadapi IELTS, saya tidak melakukan persiapan secara khusus tetapi setidaknya mengumpulkan informasi terkait universitas yang saya tuju yaitu UNSW di Sydney. Saya juga memantapkan kembali pemahaman saya terhadap bidang yang akan saya tekuni saat kuliah nanti yaitu geodesi atau surveying. Terus terang, saya tidak melakukan persiapan khusus karena menduga bahwa pewawancara saya tidak akan tahu banyak soal ilmu saya karena memang tidak populer. Saya cukup yakin bisa menguasai keadaan.
Professor dari Canberra yang banyak bertanya, sementara Dr. Kopong menyimak dengan seksama. Saya merasa sangat rilex ketika itu, meskipun tetap menghadapi wawancara itu dengan serius dan sungguh-sungguh. Ketika ditanya soal riset, saya menyebutkan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang terkait pengelolaan peta dan informasi berbasis komputer. Di luar dugaan saya, Profesor dari Canberra itu pernah terlibat suatu proyek yang melibatkan SIG meskipun beliau adalah ilmuwan sosial. Hal ini mempermudah percakapan saya karena tidak perlu susah-sudah menjelaskan konsep dasar SIG. Meski demikian sang professor tetap saja adalah orang awam terkait SIG sehingga saya bisa di atas angin dalam percakapan, terutama ketika berbicara hal-hal detil. Saya sangat menikmati bercakap-cakap dengan orang intelek yang tidak menguasai bidang saya secara rinci. Percakapan bisa sangat produktif.
Hal-hal teknis yang ditanyakan ketika itu adalah seberapa siap saya belajar di Australia dengan lingkungan sosial dan akademik baru. Terkait ini, kebetulan saya sudah bertanya sekilas ke beberapa senior yang pernah sekolah di Australia sehingga saya punya sedikit pengetahuan. Saya sampaikan bahwa saya sudah berusaha mencari informasi dan memaparkan pemahaman saya itu semampu saya. Saya sampaikan bahwa situasi akademik di Australia memang berbeda dan memerlukan kemandirian yang lebih tinggi (seperti yang disampaikan senior saya). Untuk itu saya sudah bersiap dan akan berusaha maksimal. Ketika ditanya soal peran saya di Indonesia, saya hanya mengatakan bahwa saya akan kembali ke UGM dan menjadi pengajar dan peneliti. Saya sampaikan juga pengalaman saya yang pernah bekerja di Unilever dan Astra dan akhirnya memilih UGM karena idealisme tersendiri. Ini saya jadikan suatu bukti kesungguan saya untuk bergelut di dunia pendidikan. Terkait ini saya juga pernah menulis dalam sebuah email kepada seorang kawan:
“Saya sarankan untuk menguasai benar-benar topik yang diajukan (proposal riset). Namun begitu, bukan tidak mungkin pewawancara adalah mereka yang tidak mengerti bidang Anda. Maka dari itu, berhasil mengaitkan topik sulit itu dengan isu populer tentu sangat bagus. Gunakan bahasa yang sederhana ketika menjelaskan topik riset. Intinya, kalau kita menguasainya, kita akan lebih mudah menyampaikan satu analogi atau pengandaian yang dimengerti orang awam. Pewawancara kita adalah (umumnya) orang awam dalam bidang riset kita, kecuali hal istimewa terjadi.”
Saya juga memperhatikan sopan santun saat wawancara. Maka dari itu, beberapa tahun kemudian, ketika ada kawan yang bertanya pada saya soal tips wawancara, saya menjawab seperti ini:
“Saya selalu yakin bahka attitude adalah sesuatu yang common sense. Sopan santun misalnya, meskipun dalam detailnya berbeda di satu kawasan dengan kawasan lainnya, memiliki komponen-komponen yang universal. Saya kira kalau kita memang memiliki sikap ini, tidak sulit untuk menampilkan diri sebagai orang yang simpatik dan menarik.”
Saya juga menambahkan:
“Duduk yang baik di depan pewawancara, saya yakini adalah yang tegak, punggung tidak nyandar di kursi, sekaligus lengan juga tidak bertumpu di meja. Posisi yang baik adalah tegak, kepalan tangan boleh ada di meja. Menyimak pertanyaan dengan baik dilakukan dengan menatap mata penanya, memainkan air muka dan mengangguk seperlunya menunjukkan pengertian. Saat berbicara pun demikian, tatap mata orang yang mewawancarai, gunakan senyum seperlunya atau berubah serius ketika berbicara hal penting. Gerakan mata dan alis adalah bahasa yang sangat penting untuk menyampaikan pesan secara utuh. Gerakan tangan yang elegan juga membantu.”
Belajar dari pengalaman, saya selalu menasihatkan bahwa persiapan lain yang penting adalah membaca website universitas yg kita tuju dan mempelajari kehidupan di Australia secaara umum. Seorang kandidat perlu memahami kehidupan akademik di Australia dan bedanya dengan Indonesia, serta yang terpenting bagaimana kesiapan kita untuk menghadapinya. Seorang kawan lain memiliki pengalaman yang agak berbeda. Kebetulan waktu itu Australia memiliki perdana mentri baru yaitu Kevin Rudd. Dia diajak ngobrol soal perdana mentri baru itu dan pandangannya terkait prospek hubungan Australia-Indonesia di bawah kepemimpinan Kevin Rudd. Pertanyaan begini cukup umum jika kandidat berasal dari bidang sosial. Meski demikian, bukan tidak mungkin pertanyaan serupa ditanyakan kepada seorang surveyor atau insinyur, jika percakapan sebelumnya terkait hal-hal seperti ini. Oleh karena itu, akan selalu lebih baik jika kandidat juga memiliki pengetahuan yang cukup baik terkait hal-hal umum di Indonesia dan Australia, terutama isu-isu yang mempengaruhi kedua negara.
Jika diminta memberikan tips wawancara, satu buku mungkin tidak cukup karena sifatnya sangat relatif dan subyektif. Apa yang bagus berdasarkan pengalaman saya mungkin saya tidak berlaku bagi orang lain. Pertanyaan yang disampaikan kepada satu kandidat sangat mungkin berbeda dengan kandidat lainnya. Pewawancara yang berbeda juga tentu memiliki gaya yang berbeda. Ini juga sangat mempengarui jenis pertanyaan ketika proses seleksi sedang berlangsung.
Informasi yang ada di posting ini akan lebih lengkap jika disandingkan dengan beberapaposting lain yang saya tulis terkait seleksi ALA dan posting khusus seputar Tips Wawancara. Akhirnya, kepada para pejuang, saya ucapkan selamat berjuang. Setelah usaha dikerahkan dengan segenap upaya maka ijinkan doa memeluk mimpi-mimpi itu sehingga menjelma menjadi kenyataan.