KulOn: Kulian Online
Saat terjadi gonjag-ganjing anggota DPR yang studi banding ke
Australia pada tahun 2011, banyak yang berpendapat bahwa studi banding
itu tidak perlu. Setidaknya ada dua alasan. Pertama biayanya sangat
mahal dan kedua ketersediaan teknologi informasi sudah memungkinkan
interaksi tanpa harus datang ke seberang benua. Untuk alasan kedua ini,
saya setuju dari awal dan kini lebih setuju lagi.Tanggal 5 Maret 2012 saya memberi kuliah online untuk mahasiswa program Master Teknik Industri ITS, Surabaya. Sementara saya sendiri berada di Wollongong, Australia. Kuliah yang berlangsung lebih dari satu jam itu berjalan sangat nyaman, lancar dan nyaris tanpa gangguan koneksi internet. Interaksi bisa berlangung sangat baik sehingga saya dan peserta lupa bahwa jarak yang memisahkan kami sesungguhnya sekitar 5000 kilometer dengan empat jam perbedaan waktu. Menariknya, saya bisa memberi kuliah dari unit apartemen saya di Wollongong tanpa perlu menyiapkan perangkat khusus. Saat persiapan kuliah dilakukan, saya bahkan bisa sambil masak lele bumbu sere kesukaan saya. Singkat kata, kuliah online lintas benua itu begitu mudah, sangat sederhana dan tanpa tambahan investasi apapun. Kalaupun ada, investasi ini bernama waktu. Sara rasa ini adalah salah satu bentuk kontribusi kecil yang bisa diberikan oleh mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di luar negeri.
Adalah Dr. Imam Baihaqi, kawan baik saya yang merupakan dosen di Teknik Industri ITS, yang mengusulkan kuliah online ini. Kami berteman sejak 2003 ketika sama-sama mengikuti pendidikan Bahasa Inggris (English for Academic Purposes) di Jakarta tahun 2003 silam, saat kami siap-siap berangkat ke Australia untuk pendidikan lanjut dengan beasiswa Australian Development Scholarship (ADS). Persahabatan yang baik memang bisa jadi cikal bakal kolaborasi professional yang tidak terduga manfaatnya.
Kuliah online itu menggunakan dua perangkat komunikasi yaitu Skype yang sudah sangat umum dan Team Viewer, sebuah perangkat mirip skype yang memiliki fasilitas “meeting”. Menariknya, kedua perangkat ini gratis segratis-gratisnya. Meski demikian, keduanya juga memiliki versi berbayar untuk keperluan yang lebih kompleks. Yang jelas, untuk kepentingan kuliah umum tersebut, versi gratis sudah lebih dari cukup.
Sebelum kuliah online saya mengunduh Team Viewer dari websitenya, www.teamviewer.com, dan menginstalnya di laptop. Semuanya dilakukan sangat mudah, hanya dalam hitungan menit. Setelah terinstal, Team Viewer bisa dijalankan dengan tampilan seperti Gambar 1 (kiri):
Gambar 1 Jendela awal (kiri) dan meeting (kanan) Team Viewer
Untuk memulai menggunakannya, saya harus memilih tab “Meeting” lalu
mengklik tombol “Start instant meeting” sehingga muncul jendela baru
seperti Gambar 1 (kanan). Dengan ini, artinya saya sedang merancang
sebuah pertemuan dan saya menjadi “tuan rumah” atau host dari pertemuan
tersebut. Di jendela yang baru ini juga akan muncul “Meeting ID” yaitu
sebuah identitas unik yang akan digunakan oleh pihak lain jika ingin
bergabung dengan “meeting” yang saya rencanakan. Dalam contoh ini,
“Meeting ID” saya adalah m47-628-783.Dalam kuliah online hari ini, Pak Imam sudah siap dengan sebuah komputer di kelasnya di ITS Surabaya yang terhubung ke internet. Dalam hal ini, mengikuti kuliah online pada dasarnya adalah mengikuti (join) meeting yang sudah saya rancang dengan menjalankan Team Viewer. Dengan demikian, Pak Imam di Surabaya cukup memasukkan “Meeting ID” yaitu m47-628-783 di jendela Team Viewer (lihat Gambar 1 – kiri) lalu mengklik “Join meeting”. Alternatifnya, Pak Imam tidak harus menginstal Team Viewer, cukup dengan browser yang memiliki flash add on. Disarankan menggunakan Google Chrome atau Mozila FireFox. Dengan browser ini, “join meeting” bisa dilakukan dengan mengunjungi http://go.teamviewer.com/ dan memasukkan “Meeting ID” seperti pada tampilan Gambar 2.
Gambar 2 Team Viewer yang diakses dari Browser
Sesaat setelah itu, saya akan melihat di jendela meeting saya ada
koneksi dari 1 pengguna yang artinya ada satu pihak yang sedang
mengikuti meeting saya. Saya harus memastikan bahwa “screen sharing”
sudah diaktifkan (lihat “screen sharing” pada Gambar 1 – kanan) sehingga
Pak Imam, atau siapapun yang mengikuti meeting saya, bisa melihat layar
komputer saya melalui komputernya. “Peserta” meeting ini bisa lebih
dari satu di lokasi berbeda dengan memasukkan Meeting ID seperti
penjelasan sebelumnya. Artinya, memungkinkan bagi saya untuk memberi
kuliah dari Wollongong dengan beberapa kelompok peserta di Surabaya,
Yogyakarta, Amerika atau tempat lain. Selain itu, partisipasi juga bisa
dilakukan dengan mobil device lain seperti iPhone dan iPad. Saya belum
pernah mencoba menggunakan merek lain, tetapi saya yakin perangkat
berbasis Android juga memiliki kemampuan menggunakan Team Viewer.Mulai saat ini, layar komputer saya sudah ‘terkloning’ pada komputer Pak Imam di Surabaya. Karena komputer di Surabaya terhubung ke LCD proyektor maka apa yang Nampak di layar komputer saya, nampak juga di sebuah layar besar di depan kelas. Jika saya menampilkan bahan kuliah berupa presentasi Power Point maka yang nampak di Surabaya adalah presentasi yang sama. Inilah inti dari kuliah online itu. Saya menjalankan presentasi di laptop saya di Wollongong dan mahasiswa melihat hal yang sama di Surabaya melalui layar besar di depan kelas seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Tampilah bahan kuliah/presentasi di layar besar di Surabaya
Bagaimana dengan suara? Meskipun Team Viewer memiliki fasilias
transfer suara yang bernama “Voice over IP”, kami memilih untuk
menggunakan perangkat lain yaitu Skype. Hal ini dilakukan untuk
memastikan kualias gambar presentasi dan suara sama-sama bagus karena
ditangani secara terpisah menggunakan perangkat yang berbeda.
Konsekuensinya, saya dan Pak Imam masing-masing harus memiliki dua
komputer yaitu satu komputer untuk interaksi Team Viewer (untuk gambar
hasil kloning layar komputer saya) dan satu komputer lagi untuk
interaksi dengan Skype (suara dan video). Misalnya di Surabaya ada dua
komputer A dan B maka komputer A adalah untuk interaksi dengan Team
Viewer yang terkoneksi ke LCD proyektor dan komputer B adalah untuk
interaksi menggunakan Skype dengan volume speaker yang dibesarkan agar
suaranya terdengar oleh semua peserta kuliah. Selain untuk suara,
koneksi Skype juga digunakan untuk mentransfer video. Dengan demikian,
saya bisa melihat suasana di kelas dengan leluasa dan peserta kuliah
bisa mendengar sekaligus melihat saya karena komputer B juga terhubung
ke LCD proyektor. Hal ini bermanfaat secara psikologis mengingat saya
merasa benar-benar mengajar secara langsung karena bisa melihat reaksi
peserta. Ini berarti bahwa kamera pada komputer B mengarah ke ruang
kelas.Sementara itu saya di Wollongong menghadapi dua komputer yang saling berdekatan, sebut saja komputer 1 dan 2. Komputer 1 adalah host Team Viewer untuk menjalankan presentasi saya (terhubung dengan komputer A di Surabaya) dan kompuer 2 untuk koneksi Skype yg mentransfer suara dan video saya ke Komputer B di Surabaya. Saya menggunakan iPad sebagai komputer 2 dan bisa mengamati suasana di Surabaya seperti yang nampak pada Gambar 4.
Gambar 4 Tampilan di iPad menggambarkan suasana di ruang kelas di Surabaya
Dengan pengaturan seperti ini, pengalaman memberi kuliah benar-benar
seperti live, sangat mengesankan dan interaktif. Saya bisa berkelakar
dan mahasiswa merespon dengan baik. Saya juga bisa melihat ekspresi
mereka. Pengalaman kuliah tanggal 5 Maret 2012 sangat baik, saya melihat
wajah-wajah antusias. Saya yakin, kuliah online ini juga menjadi
sesuatu yang baru bagi kebanyakan peserta. Tentu menjadi pengalaman yang
baru melihat seorang dosen muncul di layar seperti pada Gambar 5
berikut.
Gambar 5 Tampilan video dosen yang ditayangkan dengan LSD proyektor
Harus diakui ada jeda dalam transisi animasi atau dari satu lembar
tayang ke lembar tayang berikutnya tetapi itu sama sekali tidak
mengganggu jalannya kuliah. Pemberi dan peserta kuliah memang perlu
sedikit lebih sabar karena transisi antarlembar tayang bisa berlangsung
5-7 detik. Jika sudah diantisipasi, hal ini tidak menimbulkan masalah
sama sekali.Selain kuliah monolog, interaksi tanya jawab juga berlangsung sangat lancar. Rupanya Pak Imam menggunakan komputer dengan microphone yang cukup sensitive sehingga peserta cukup berada di deretan bangku terdepan dan saya sudah bisa mendengar suara mereka. Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta kuliah dapat saya dengar dan tanggapi dengan baik. Selain itu, saya juga mengawali kuliah dengan menyebut akun twitter saya dan meminta peserta untuk bertanya lewat twitter dengan metode mention saat kuliah berlangsung. Dengan demikian, saya bisa melihat pertanyaan melalui twitter untuk dibahas saat diskusi. Hal ini juga untuk membantu mereka yang masih kesulitan dalam berekspresi secara verbal di depan umum. Dalam kuliah pagi tadi, saya menerima beberapa pertanyaan lewat twitter.
Harus diakui, pengalaman memberi kuliah online ini sangat berkesan bagi saya. Tidak saja saya telah berkesempatan berbagi, saya juga belajar banyak dan terinspirasi untuk menerapkan metode ini secara berkala. Kalau banyak orang yang mengatakan anggota DPR tidak perlu studi banding dan teknologi informasi sudah bisa menggantikannya, maka istilah dosen terbang mungkin juga perlu ditinjau lagi. Rupanya perlu adanya revisi terhadap pemahaman bahwa jarak bisa menjadi tirani seperti yang diungkapkan Geoffrey Blainey dalam bukunya “The Tyranny of Distance”. Dengan adanya teknologi informasi yang semakin terjangkau, distance does not matter. Bahwa jarak yang jauh sudah tidak layak lagi mendikte sebuah interaksi.
from netsains.net
0 comments:
Post a Comment