“Benci” merupakan sebuah kata yang “kuat” dan sering digunakan. “Aku benci hujan”, “Aku benci mantan kekasihku” dan selanjutnya merupakan kalimat-kalimat yang mengandung kata “benci” dan bermakna negatif. Kita menggunakan kalimat ini setiap hari dengan mudah dan tanpa kita sadari. Mungkin beberapa menit yang lalu pembaca baru saja menggunakan kata tersebut.
Saya ingin sekali mengatakan bahwa saya tidak membenci apapun, akan tetapi tentu saja, itu adalah sebuah kebohongan. Kita semua memiliki kebencian. Kebencian merupakan sebuah kondisi emosional yang mana kita semua lahir dengan hal tersebut dan harus mengatasinya dalam kehidupan sehari-hari. Bilamana kebencian menjadi liar dan tidak terkendali dalam diri kita, hal tersebut akan berubah menjadi perilaku dalam wujud prasangka, kekerasan dan lain sebagainya. Jika kebencian ini merupakan perilaku bukan bawaan lahir, seperti hal yang dipelajari, maka saya yakin itu dapat diubah.
Hampir sebagian besar hal negatif yang terjadi di dunia ini berasal dari kebencian seperti rasisme, anarkisme, vandalisme dan separatisme. Perang adalah salah satu contoh paling nyata dan merupakan produk riil dari sebuah kebencian baik antar individu hingga negara. Dan contoh kecil seperti sepakbola dapat menjadi pelajaran berharga.
Sebagaimana kita ketahui pergelaran Euro 2012 telah berakhir, dimana Spanyol keluar sebagai juara. Ini merupakan gelar Euro kedua mereka berturut-turut setelah tahun 2008. Siapapun yang menonton pertandingan malam Senin itu tahu benar bahwa Italia yang menjadi lawan dibuat tidak berkutik dan kalah telak 4-0.
Jujur, saya adalah penggemar Italia sejak era Roberto Baggio dan Paolo Maldini pada tahun 1994 dan cukup sedih melihat kekalahan Italia. Namun, jauh lebih bersedih ketika melihat pada keesokan harinya banyak beredar di media sosial Facebook, Twitter dan jurnal-jurnal onlinememajang gambar lelucon mengenai salah seorang pemain Italia. Beberapa bahkan saya terima via BlackBerry Messenger.
Mungkin mereka yang membuat gambar tersebut tidak sadar sedang menyebarkan kebencian, jika diperbolehkan dapat juga dikatakan rasis. Mungkin juga bagi mereka itu semua hanya lelucon ringan. Mungkin juga saya yang memandang hal tersebut berbeda dan melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang kurang baik. Atau, seperti beberapa teman saya mengatakan saya terlalu serius.
Pada akhirnya, ketika saya mencoba melihat hal tersebut dari sudut pandang yang berbeda, saya menyadari bahwa “semakin besar seseorang, maka semakin besar pula perhatian tertuju padanya, baik positif maupun negatif”. Perhatian negatif, tetaplah merupakan perhatian, karena mereka menyempatkan waktu untuk membuat lelucon tersebut dan menyebarkannya.
Hidup disusun atas kebaikan dan keburukan, Hal-hal buruk dapat mengajarkan kita untuk menyadari hal-hal yang baik. Satu-satunya hal yang dapat membatasi kebencian merajalela adalah rasa hormat kepada satu sama lain (respek). Sebagaimana Raja Priam dari Troy pernah menghadap Achilles dari Yunani, sang musuh dan berujar “you’re still my enemy tonight, but even enemy can show some respects”.
Semua kembali kepada pribadi masing-masing dan bagaimana tiap individu melihat dunia ini. Tapi, jika memungkinkan, janganlah membenci.
“Don’t hate, it’s too big a burden to bear.” – Martin Luther King.
0 comments:
Post a Comment