Tentu tidak ada yang dapat membayangkan profesi yang akan digeluti seseorang setelah menyelesaikan pendidikan formal. Semua berjalan sesuai dengan garis takdir yang telah ditentukan Sang Maha Kuasa. Demikian hal dengan Bejo yang setelah lulus SMA harus dipaksa orang tuanya untuk kuliah di Akuntansi. Tepatnya di kampus neneknya terdahulu, Universitas Negeri Surabaya yang disingkat UNESA, sehingga sering Bejo memplesetkannya menjadi UNESA = Universitas Nenek Saya. Banyak hal-hal aneh yang dia alami selama menjalani status mahasiswanya, hingga akhirnya dia menemukan pelajaran hidup yang terbaik.
Singkat cerita, menjelang detik-detik pendaftaran orang tua bejo memberikan pilihan untuk memilih jurusan pendidikan ekonomi, pokoknya harus jadi guru begitu ceritanya. Jamak kita temui peristiwa yang dialami bejo, atau bahkan kita sendiri adalah salah satunya. Tidak jarang kita sebagai orang tua merasa paling berhak terhadap anak-anak kita, mulai dari baju apa yang harus mereka pakai, dimana ia harus bersekolah, dengan siapa dia harus berteman, hingga pekerjaan terbaik yang harus dia miliki. Sekarang, cobalah kita renungkan kembali apakah semua itu adalah untuk anak-anak kita, atau ambisi masa muda kita yang gagal kita raih. Lalu, apakah seorang anak tidak boleh memilih dengan bebas, akan menjadi seperti apa dia nanti dengan semua potensinya ?
George Bernard Shaw adalah penulis besar kelahiran Irlandia. Kecerdasannya sangat luar biasa, sehingga Shaw pernah memperoleh hadiah Nobel untuk karya sastra, sekaligus penerima Piala Oscar untuk karyanya yang diangkat ke layar perak. Demikian mengagumkannya kecerdasan seorang George Bernard Shaw, sehingga konon dia pernah dilamar oleh seorang aktris cantik. Dengan maksud, supaya kelak menghasilkan keturunan yang rupawan seperti ibunya, dan cerdas seperti ayahnya. Namun, Shaw kemudian menjawab, “Lalu bagaimana kalau kita memiliki anak dengan otak seperti Anda, dan wajah seperti saya?”. Ya demikianlah menurut ilmu genetika. Pola pikir hahwa banyak hal kita warisi secara turun temurun dari orang tua kita. Kulit kita yang sawo matang, rambut kita yang hitam, hidung kita yang tidak mancung. Hingga ke hal-hal yang sifatnya non fisik seperti misalnya sifat atau bakat tertentu. Maka banyak anak penyanyi yang kemudian menjadi penyanyi, anak jenderal jadi tentara, dan anak pedagang jadi pedagang. Maklum, bakat dari orang tua nya mengalir deras di darah mereka. Mungkin pola pikir ini yang menjadikan Bejo, harus tidak memiliki pilihan lain selain memenuhi profesi yang diturunkan oleh nenek moyangnya terdahulu sebagai guru.
Tapi, apakah benar hingga hal-hal yang bersifat non fisik seperti profesi kita warisi secara turun temurun, atau, mungkinkah bakat seseorang memang bisa berubah?
Prof. Kazuo Murakami, seorang ahli genetika, dalam bukunya The Divine Message of The DNA yang kemudian membuka wawasan saya lebih luas. Ternyata menurut ilmu genetika memang betul, segala sesuatu yang merupakan “bakat” ditentukan oleh kode genetis yang ada dalam DNA kita. Sebagai gambaran, setiap kilogram tubuh kita terdiri dari sekiar 1 trilyun sel. Jadi seorang bayi yang baru lahir sudah memiliki sekitar 3 trilyun sel. Padahal awalnya kita hanyalah satu buah sel yang sudah dibuahi. Yang kemudian membelah menjadi 2, 2 menjadi 4, 4 menjadi 8 dan seterusnya hingga trilyunan tadi. Setiap sel memiliki inti sel (nucleus) yang mengandung DeoxyriboNucleic Acid (DNA). DNA inilah yang menyimpan kode genetis yang menjadi cetak biru tubuh kita. Jadi akan menjadi seperti apa kita, seolah sepertinya sudah terprogram dalam DNA tadi.
Lalu jika dalam setiap sel tubuh kita terdapat DNA yang sama, bagaimana sebuah sel tahu bahwa ia adalah bagian dari rambut, misalnya, dan kapan rambut mulai tumbuh, dsb. Menurut pakar genetika, ternyata terdapat mekanisme “nyala/padam” pada DNA tadi. Sebagai contoh, gen yang menentukan sifat kelamin laki-laki (berkumis, bersuara berat, dsb) yang semula “padam” akan “menyala” pada saat pubertas.
Bahkan, lebih jauh lagi. Proses nyala/padam tadi ternyata dapat terjadi sebagai respon lingkungan yang berubah. Dua ilmuwan dari Institut Pasteur mengamati hal ini. Bakteri E.Coli yang hanya mengkonsumsi glukosa, ternyata ketika ditempatkan pada lingkungan yang hanya ada laktosa, mampu merubah diri menjadi pemakan laktosa. Mekanisme internalnya sangat ajaib, karena bakteri adalah makhluk satu sel. Sehingga perubahan menjadi pemakan laktosa seolah-olah seperti menyalakan sebuah kemampuan yang semula tidak nampak. Dan ini membawa konsekuensi luar biasa. Karena jika benar gen pembawa sifat tadi memiliki mekanisme nyala-padam seperti itu. Kita tidak pernah tahu potensi apa dalam diri kita yang saat ini belum kita nyalakan. Jangan-jangan saya juga memiliki bakat bermain saksofon sebagus Dave Koz, hanya saat ini belum dinyalakan saja. Atau jangan-jangan ada bakat bisnis sehebat Donald Trump yang masih terpendam dalam diri saya, dan menunggu dinyalakan?
Dan memang demikianlah menurut Prof. Murakami. Bahwa bakat seseorang dapat muncul pada umur berapapun. Banyak sekali contoh pemusik atau olahragawan yang semula hanya memperlihatkan “bakat” yang biasa-biasa, namun kemudian tumbuh secara luar biasa seiring dengan disiplin dan latihan yang dilakukan. Atau seorang yang hari ini dikenal sebagai ilmuwan genius, padahal teman SD nya mengenal dirinya dulu sebagai anak yang kurang pandai. Atau seseorang yang hari ini dikenal sebagai politisi dan orator hebat, sementara dulunya anak yang kuper. Jadi kalau anak Anda hari ini kurang pandai matematika, sumbang kalau bernyanyi, atau kurang berprestasi dalam orahraga. Anda tidak perlu buru-buru frustrasi sambil berteriak “Ah, dasar gak bakat”. Siapa tahu, gen positif pembawa bakatnya saja yang belum menyala. Dan disinilah peran orang tua untuk menyalakannya, dengan memberikan ruang yang luas bagi seorang anak mengembangkan bakatnya. Tentu, seorang bejo yang ada dicerita diatas belum tentu akan menjadi guru, atau bahkan akan menjadi guru yang luar biasa jika orang tuanya mampu bertindak demikian. Sekarang, sudahkah kita melakukannya untuk anak kita?
Sumber: netsains.com
0 comments:
Post a Comment