Tempo hari saya menerima keluhan dari siswa karena tugas yang dikerjakannya dibuku hanya dikembalikan dalam kondisi ditandatangani saja oleh guru. Sepontan saja waktu itu saya jawab, “mungkin pekerjaan kalian sama semua alias “contekan” karena itu guru hanya memberikan tanda tangan”. Siswa hanya menggerutu saja mendengar jawaban saya. Tentu ada alasan mengapa guru bertindak demikian, enggan mengkoreksi pekerjaan siswa dengan dalih jawaban yang seragam. Tetapi apakah semua siswa akan berlaku hal yang sama, padahal kita tahu praktek kecurangan biasanya hanya dilakukan oleh beberapa siswa, sedangkan siswa yang lain belum tentu berbuat yang sama. Apakah guru harus memberikan perlakukan yang sama kepada mereka ? coba kita runtut kejadian ini dari aktivitas sekolah setiap hari untuk menjawabnya.
Sebagai guru, saya juga merasakan betapa menumpuknya tugas-tugas administratif hingga tanggung jawab koreksi tugas siswa yang tidak jarang menumpuk dengan tanggung jawab lainnya diluar tugas sebagai guru di sekolah. Pemberian tugas sering terjadi karena guru memiliki kesibukan lain sehingga tidak bisa hadir dikelas secara langsung. Berharap siswa berlatih mandiri melalui tugas yang diberikan merupakan tujuan lain yang ingin dilakukan guru selain tujuan diatas. Guru sungguh tidak dapat kompromistis untuk urusan tugas, kapan tugas harus dikumpulkan adalah deadline yang berarti “harga mati”. Tidak jarang keterlambatan sering diartikan sebagai “pengurangan nilai”. Siswa yang mengeluh karena guru yang lain juga memberikan tugas yang demikian banyaknya, dicap sebagai siswa yang terlalu “banyak omong”. Dan pasti akan dicatat guru sebagai kandidat peraih hadiah “nobel” (nomor belek atau nilai jelek).
Bias penilaian oleh guru kepada siswa memang sering terjadi, terkesan tidak adil bagi siswa jika prestasi siswa diukur dari kesan baik buruk komunikasi siswa dengan guru. Menghukum siswa yang kritis dengan nilai yang buruk sama artinya dengan menutup ruang kebebasan atau demokrasi yang kita sepakati harus ada dan hidup didunia pendidikan. Setidaknya sekolah mampu menjadi media penanaman nialai-nilai demokrasi dalam diri siswa sejak dini. Mengajarkan siswa sesuatu tentu akan lebih mudah dengan mendidik siswa akan sesuatu.
Guru sering lupa bahwa pendidikan tidak hanya sebatas tugas dan koreksi saja, tetapi juga berkaitan dengan penanaman nilai-nilai kepribadian. Kita tahu betapa mudahnya memberikan ancaman dibandingkan memberikan sebuah pembelajaran. Melalui tugas sebenarnya terdapat ruang bagi guru untuk berkomunikasi dengan siswa secara tidak langsung. coretan beserta catatan adalah bentuk dari komunikasi tersebut. Melalui catatan dan coretan pada tugas yang telah dikumpulkan siswa seorang guru telah memberi bukti bahwa ia telah melakukan konsistensi akan tugas dan tanggung jawabnya. Konsistensi sendiri tidak hanya sebatas perilaku, tetapi ia merupakan kata kunci keberhasilan bangsa Jepang yang telah diterapkan selama bertahun-tahun yang lalu. Dan menurut Max Weber konsistensi ini lahir dari nilai-nilai ajaran sintho yang dipegang teguh masyarakat Jepang. Oleh sebab itu, guru perlu memegang teguh nilai-nilai pedagogik, yang mensyaratkan komunikasi yang manusiawi antara guru dan siswa.
Problem Konsistensi
Konsistensi memang tidak akan muncul tiba-tiba, perlu waktu dan pembiasaan sehingga seseorang dapat berlaku konsisten. Semangat inilah yang sebenarnya harus dibangun disekolah dan dimulai oleh guru. Konsistensi yang berarti tanpa perbedaan atau kontradiksi ini hanya bisa diajarkan dari sebuah keteladanan. Saat kita ingin agar siswa kita mampu belajar tentang tanggung jawab, maka akan dirasa perlu adanya “reward” dan “punishment”. Tentu kita akan mengatakan tidak adil, jika sesorang yang tidak melakukan apa-apa akan diberikan “reward”. Setiap tindakan yang dilakukan sesorang akan berdampak baik bagi dirinya maupun orang lain terlepas apa yang dilakukan itu baik atau buruk. Dalam hal ini sungguh perilaku guru yang konsisten atas apa yang disampaikannya, akan membentuk pribadi siswa yang dididiknya menjadi konsisten pula. Tentunya perilaku untuk memperlakukan tugas siswa dengan sebagaimana mestinya.
Untuk semua tugas siswa, guru harus meluangkan waktu untuk memeriksanya, tidak peduli sesibuk apapun guru itu. Kesediaan meluangkan waktu untuk sekedar memeriksa pekerjaan siswa adalah bentuk kejujuran guru dalam mengartikan pentingnya keberadaan siswa disekolah. Guru tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya siswa, demikian sebaliknya siswa tidak akan bisa melakukan yang benar apabila tidak dididik oleh guru dengan konsisten. Kita tahu betapa pentingnya sebuah penghargaan kepada terhadap potensi seseorang, hingga dia mampu mengembangkan semua potensi yang dia miliki.
Kembali pada topik tentang tugas siswa yang ada diawal tulisan ini, kesediaan guru untuk memeriksa tugas siswa tanpa kita sadari memiliki dampak pedagogik yang besar. Betapa dengan meluangkan waktu untuk memeriksa lembar demi lembar tugas siswa, guru telah memberikan penghargaan yang besar atas kerja keras yang lahir dari potensi siswa itu sendiri. Urusan men”copy” pekerjaan teman adalah permasalahan yang dapat disampaikan guru secara terbuka dikelas.
Kehidupan sering mengajarkan pada kita bahwa apa yang kita lakukan adalah cermin pribadi kita sendiri. Seringkali kita ingin dihargai orang lain tetapi engan menghargai orang lain. Padahal saat kita memberikan penghargaan kepada seseorang tidak jarang penghormatan ibarat pasukan kepada jenderal kita terima. Tentunya sebagai guru hal inilah yang ingin kita ajarkan. Bahwa penghargaan akan datang pada diri seseorang manakala seseorang mampu konsisten atas apa yang dilakukannya. Jujur dalam menyelesaikan tugas dalam arti “mengerjakan sendiri” tugas itu, adalah yang kemudian harus dibangun oleh guru pada diri siswa jika terbukti mereka melakukan tindakan tidak “sportif”. Namun sebelum itu semua dilakukan, setiap pribadi guru harus mengajar dirinya untuk konsisten atas tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Sumber: netsains.com
0 comments:
Post a Comment