Saturday, July 2, 2011

Pembelajaran Tanpa Verbalisme, Bukan Hal Mudah

Masih ingat Phi bukan ? benar sekali “lingkaran”. Phi erat sekali dengan lingkaran. 3,14 angka Phi yang sakral itu tahukah darimana…seketika siswa dikelas itu terdiam. “Ya dari sananya begitu Pak!!” jawab seorang siswa sambil diikuti tawa teman-teman kelasnya. Padahal kita tahu Phi adalah hasil dari keliling dibagi diameter. Jika diameter 7 cm pasti kelilingnya 22cm dan jika keliling 44 cm pasti diameternya 14 cm contoh keliling 44cm dibagi 14cm sama dgn 3,14285714 cm jika dibaca 2desimal 3,14 cm jika dibaca pecahan 22/7. Atau jika kita lebih yakin dengan  membuat lingkaran berdiameter 7 cm, kemudian anda bagi menjadi 22 garis. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah keliling 22 cm pasti setiap garis adalah 1cm, bagaimana jadi benar keliling 22 cm kan”. Demikian percakapan seorang guru matematika dengan murid-muridnya dikelas, suatu pagi disebuah sekolah.
Tentu salah satu diantara Anda yang membaca tulisan ini akan bertanya-tanya, mengapa percakapan guru dan murid diatas harus ada diawal tulisan ini. Seperti halnya murid-murid dalam dialog tersebut, Anda mungkin saja baru tahu kalo Phi yang sama dengan 3,14 itu hasil dari keliling dibagi diameter. Kenapa terjadi demikian, seorang murid bisa saja hafal suatu rumus tapi tidak pernah tahu apa aplikasinya, mereka juga hafal nama para sastrawan dan karyanya tetapi tidak pernah membaca karya sastra apalagi mengapresiasinya, mereka tahu bagaimana mengkonversi satuan derajat Fahrenheit ke derajat Celcius tapi tidak pernah tahu cara menggunakan thermometer, mereka tahu istilah fotosintesis tapi tak pernah mengamatinya, mereka hafal tanggal-tanggal bersejarah tapi justru gagal belajar dari sejarah, mereka tahu tentang reboisasi tetapi tak pernah sekalipun belajar menanam pohon dan merawatnya. Jika demikian adanya maka tidak salah jika dikatakan bahwa sekolah kita telah terjebak dengan verbalisme. Pendidikan yang lebih mengedepankan hapalan dan bukannya pemahaman, menyukai formulasi dan bukannya substansi, lebih mengagungkan prestasi belajar dan bukannya tradisi ilmiah.
Verbalisme, demikian pakar pendidikan menyebutnya sebagai "a statement empty  of  meaning the pupil learns his lesson but he does not learn", pemyataan yang kosong dari makna, kelihatannya  siswa  belajar  mata  pelajaran  tetapi  sebenamya  mereka  tidak  belajar (Witherington & Burton, 1986:97). Lalu mengapa hal ini dapat terjadi? adakah yang salah dari pola pembelajaran yang kita laksanakan selama ini. Sebelum menjawab hal tersebut, nampaknya perlu kita redefinisi kembali pemahaman kita tentang tiga hal, anak-anak pintar, pembelajar dan ilmuwan.
Dalam tolok ukur capaian angka-angka seseorang anak kerapkali disebut pintar oleh gurunya, dari sinilah definisi anak pintar kemudian muncul. Pembelajar adalah pribadi pembelajar yang tiada henti belajar dan berlatih mengembangkan kualitas dirinya karena dengan belajar, akan membuka cakrawala pemikiran manusia menjangkau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kebiasaan ini dapat membentuk karakter manusia yang terus berkembang. Sedangkan ilmuwan berdiri setelah sebagai pribadi yang memiliki memiliki tradisi ilmiah yang kokoh dan terus mengembangkan keilmuannya dengan maksimal.
Adanya tiga konsep tentang anak pintar, pembelajar dan ilmuwan, sebenarnya ingin saya asosiasikan denga realitas yang terjadi sekarang. Bahwa secara sadar atau tidak, sebenarnya kita sendiri mengalami verbalisme dalam memandang fungsi lembaga pendidikan. Sejauh ini sekolah seolah dirancang sebagai lapangan pacuan kuda. Di sana anak-anak dipacu untuk mengetahui lebih banyak. Bukan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik. Tapi untuk mengalahkan orang lain. Kemajuan belajar diukur dengan capaian angka-angka. Bukan dengan perubahan-perubahan mendasar pada cara berpikir, struktur emosi dan pola sikap. Di sekolah seperti itu kasta-kasta baru dibangun berdasarkan kecerdasan!!! Sekolah semacam itu biasanya melahirkan anak-anak pintar, bukan pembelajar apalagi ilmuwan. Mereka mempunyai prestasi belajar yang baik, tetapi tidak memiliki tradisi ilmiah yang kokoh.
Lalu,  mampukah kita mewujudkan hal yang ideal dalam pembelajaran disekolah kita?
Untuk menciptakan pembelajaran tanpa verbalisme tentu tidaklah mudah, namun bukan berarti kita tidak dapat mewujudkannya. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun lingkungan sekolah yang kondusif dan menyenangkan sekaligus mampu menjadi sumber belajar bagi para siswa. Sehingga dengan demikian keberadaan lingkungan sebagai sumber belajar dapat member manfaat yang  positif  seperti membangkitkan  minat,  aktivitas  dan    motivasi  belajar  siswa. Kedua, guru-guru harus mampu merubah dirinya sebagai pribadi yang dinamis. Pribadi yang senantiasa memperbaharui diri dan mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi. Ketiga, memilih metode pembelajaran yang dapat meningkatkan rasa ingin tahu dan minat siswa terhadap pembelajaran. Dan keempat, mentradisikan kompetisi dan diskusi ilmiah dalam kehidupan sekolah untuk membangun tradisi ilmiah yang baik.
Keempat hal ini tidak dapat kita pisahkan apabila kita ingin membangun pembelajaran tanpa verbalisme. Sebab seorang futuris terkenal Alvin Toffler, pernah mengatakan bahwa “buta huruf di abad 21 bukanlah karena orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi dikarenakan mereka yang tidak bisa belajar, tidak belajar, dan tidak mempelajari kembali.” Maknanya, hidup kita sesungguhnya merupakan proses pembelajaran seumur hidup. Kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun, setiap pribadi dituntut untuk terus melakukan pembelajaran, kalau tidak ingin semakin tertinggal. Dengan demikian, belajar baik itu ilmu pengetahuan maupun ketrampilan memiliki peranan yang sangat penting dalam perjalanan kehidupan manusia

Sumber: netsains.com

0 comments:

Post a Comment

Adds

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More