Masih ingatkah pembaca semua dengan sebuah film berjudul Spiderman 2, yang merupakan bagian kedua dari trilogi Spiderman ? Film tersebut merupakan edisi Spiderman yang paling saya ingat. Kenapa ? Dalam satu bagian di film yang pernah menyedot jutaan penonton dan menjadi salah satu dari Box Office pada tahun 2004, saya menyukai sebuah kalimat bijak yang diungkapkan salah satu aktornya. Tidak melulu mengenai Peter Parker (Tobey Maguire) atau Mary Jane Watson (Kirsten Dunst), akan tetapi Dr. Otto Octavius (Alfred Molina). Yaitu sebuah kalimat, intellegence is not a privilege but a gift that should be used to the good of mankind.
Kecerdasan bukan merupakan sebuah keistimewaan pribadi akan tetapi sebuah pemberian yang seharusnya digunakan untuk kebaikan manusia. Mungkin pembaca berfikir, bahwa ini terlalu klise, terlalu melodramatis. Hei, itu hanya sebuah film. Ya, mungkin saja. Akan tetapi, saya selalu teringat apa kata istri saya, bahwa kita bisa belajar dari siapa saja, jangan melihat dari mana/dari siapa ilmu itu berasal tetapi apa isinya. Dia benar. Dan, saya mengambil hikmah dari sebuah film non-fiksi.
Dengan bekal itu, saya selalu mencoba untuk memberikan yang terbaik dalam setiap hal yang saya lakukan, dalam riset, dalam berorganisasi, dalam bersosialisasi. Akan tetapi, pemahaman itu berujung pada sebuah hal lain. Apakah itu ? Yaitu, obsesi. Ya, menginginkan sumbangsih hebat untuk umat manusia, atau minimal untuk negeri tercinta, saya melupakan satu hal penting yang akhirnya saya sadari.
Sederhana saja, saya selalu menginginkan yang terbaik. Hal tersebut membawa saya ke arah perfeksionis yang menjerumuskan. Tepatnya hari ini, saya membuat rekan satu laboratorium saya tersinggung. Singkatnya, kami diharuskan bekerja secara duo dalam sebuah eksperimen. Rekan saya tersebut memang memiliki pengalaman bekerja di lab yang lebih inferior dibanding saya sendiri. Itu yang menyebabkan saya meremehkan dia, dan ingin menyelesaikan semua pekerjaan.
Alhasil dia tersinggung dan pergi meninggalkan saya serta merta. Saya yang tersadar kemudian menarik nafas panjang sembari berkata what have i done ?. Ketika saya berfikir jernih dan memposisikan diri pada situasinya, saya memahami, bahwa dia ingin maju. Dia ingin menjadi seseorang yang lebih terampil dari sebelumnya. Lalu, kenapa saya menghambat dia ? Tanpa berfikir panjang, saya menghentikan pekerjaan saya dan menuju padanya. Sembari berkata, maafkan saya, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya akan mempercayaimu mulai sekarang.
Obsesi. Berhati-hatilah. Mungkin memang benar bahwa kita harus menggunakan kecerdasan untuk sebaik-baiknya umat manusia, akan tetapi harus dibarengi dengan pemahaman lain bahwa untuk menuju sebaik-baiknya umat manusia, kita harus menghargai orang lain dalam proses menuju kesana. Jika tidak, bukanlah sebaik-baiknya umat manusia, karena mencederai satu hati manusia.
Saya memberanikan diri menulis ini, agar, pembaca tidak membuat kesalahan yang sama. Kehidupan itu indah, ketika kita memaknai apa yang diberikan, belajar dari kesalahan, memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik meskipun hanya satu tindakan.
Sumber: netsains.com
0 comments:
Post a Comment