Banyak permasalahan yang terjadi di sekitar kita, mulai dari kenakalan remaja, Narkoba, bolos sekolah, kriminalitas, semuanya bersumber dari keluarga. Anak-anak yang dibesarkan dengan pengasuhan yang kurang tepat, kurang terpenuhinya kebutuhan psikologis mereka sesuai dengan tahap perkembangannya, menjadikan mereka tumbuh dan berkembang dengan cara yang salah. Kurangnya pengarahan dan penanaman nilai-nilai positif di dalam keluarga menjadikan anak kurang dapat menempatkan dirinya dengan benar di lingkungan. Keluarga sebagai sarana belajar pertama bagi anak dan pembentukan karakter anak, semestinya memfasilitasi anak untuk belajar menjadi pribadi yang penuh potensi dan membanggakan orangtuanya.
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang bagaimana harus memperlakukan anak-anak kita secara benar, kita akan sedikit membicarakan tentang karakteristik khas dari seorang anak. Perlu kita pahami bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Sehingga ketika kita akan memperlakukan mereka, janganlah menggunakan pola pandang kita. Anak dengan dunianya, memiliki keterbatasan dalam hal kognisi, kemampuan motoriknya, juga beberapa hal yang mungkin dilakukan orang dewasa. Hal ini berpengaruh terhadap proses belajarnya mengenai kehidupan. Bagaimana ia belajar kedisiplinan, menghargai orang lain, kasih sayang, atau hal-hal lain yang berguna bagi kehidupannya ke depan. Termasuk apakah ia kelak akan menjadi anak yang sangat pemalu, tertutu, atau cukup percaya diri dan mampu menyampaikan keinginannya secara terbuka. Semua ini berangkat dari keluarga yang membelajari anak secara tidak langsung tentang pola-pola perilaku di atas.
Lalu bagaimana anak belajar pola-pola perilaku ini? Karena memiliki keterbatasan dalam hal kognisi dan pemahaman, maka anak belum dapat menganalisa segala hal yang dilakukan orang tua padanya. Anak hanya dapat melihat, meniru, hal-hal apa saja yang dilihatnya tanpa dapat memikirkan hal itu baik atau tidak. Proses modelling dan imitasi sangatlah kental pada masa ini. Oleh karenanya, sedapat mungkin orang tua menstimulasi anak dengan hal-hal yang positif agar ia belajar perilaku yang positif pula. Mencontohkan beribadah lebih mudah diterima daripada memarahinya ketika ia tidak mengerjakan shalat atau tidak mau ke gereja. Mengajaknya gosok gigi bersama lebih mudah dilakukan daripada hanya menyuruhnya cuci kaki dan gosok gigi sebelum tidur. Modelling yang positif dari orang tua ke anak akan berdampak positif bagi perkembangan dan pembentukan karakternya.
Ayah sebagai figur otorita di rumah, menanamkan kedisiplinan pada anak. Mencontohkan bangun pagi, meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan bersikap tegas ketika anak melakukan kesalahan. Ibu sebagai figur yang lembut berusaha menyeimbangkan dengan mengajarkan pada anak nilai-nilai kasih sayang, menolong orang lain, kejujuran, kesederhanaan atau mendengarkan keluh kesahnya.
Prinsip kerja pola perilaku pada anak dibentuk lewat hadiah dan hukuman. Hadiah diberikan untuk perilaku-perilaku yang positif, tujuaannya untuk meningkatkan perilaku agar bertahan lama. Sebaliknya anak akan dihukum ketika ia melakukan tindakan negatif, yang bermaksud untuk menghilangkan perilaku tersebut. Kedua hal ini bekerja pada dimensi perilaku, yang bertujuan untuk membentuk habit atau kebiasaan pada anak.
Dimensi lain yang tak kalah penting adalah emosi. Anak juga bukan makhluk robotik yang hanya dibentuk lewat hadiah dan hukuman. Karena keterbatasan kognisinya pula, terkadang ia kurang dapat memaknai secara benar stimulasi yang diberikan orang tuanya. Orang tua memarahi anak dengan maksud agar ia tidak lagi berantem dengan adiknya atau untuk mengurangi perilaku agresifnya yang dinilai tidak sopan dengan harapan kelak agar ia lebih dihargai orang dan tahu sopan santun. Tapi sayangnya cara berfikir anak tidak sampai ke sini. Ia hanya melihat apa yang nyata di hadapan matanya bahwa ia dimarahi. Anak berfikiran jika orang tua jahat karena memarahinya. Konsep yang salah ini jika terus dibawa sampai remaja atau dewasa, akan menimbulkan figuring negatif anak terhadap orang tuanya. Dampaknya, jika anak laki-laki memiliki kerenggangan hubungan dengan ayah, maka ia akan kehilangan figur maskulin darinya. Sebaliknya, jika anak perempuan memiliki kesan negatif pada ibunya maka ia akan kurang mendapatkan figuring feminin dari ibunya.
Penerimaan tanpa syarat menjadi solusi akan semua permasalahan di atas. Biarkan anak melakukan apa saja yang menjadi kesenangannya, tetapi di bawah pengawasan dan kontrol. Hargai sekecil apapun hal-hal yang dilakukan anak, agar ia lebih percaya diri. Jangan terlalu banyak mencemooh atau meremehkannya, sebab ini akan berpengaruh pada kepercayaan dirinya kelak. Ajak ia berdiskusi dan memaknai setiap hukuman yang diberikan, agar ia belajar sesuatu dengan cara yang benar.
ANAK BELAJAR DARI KEHIDUPANNYA
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah.
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian.
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Jika anak dibesarkan dengan kententraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.
Dorothy Law Nolte
from netsains.net
0 comments:
Post a Comment