Istilah NARKOBA sudahlah sangat familiar di kalangan masyarakat kita saat menyebut segala hal yang terkait dengan narkotika, psikotropika, dan obat-obatan terlarang lainnya. Masyarakat sudah sangat sering menggunakan istilah ini, bahkan di slogan-slogan untuk memerangi bahaya Narkoba khususnya bagi kaum muda penerus bangsa. Kaum muda sebagai cikal bakal budaya bangsa, diharapkan memiliki potensi yang luar biasa sehingga mampu mengangkat budaya bangsanya. Membekali diri dengan segala pengetahuan dan keterampilan untuk mengasah potensi yang mereka punya, sehingga mampu bersaing di dunia kerja yang sangat kompetitif. Namun sayangnya ketika dikaitkan dengan penyalah gunaan zat, masa remaja memiliki peringkat tertinggi sebagai pintu awal perkenalan mereka dengan Narkoba. Lebih dari 80% pengguna Narkoba memulai perkenalan mereka dengan Narkoba pada usia remaja antara 12 hingga 15 tahun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa fakta tentang remaja, proses hingga mereka dapat menjadi ketergantungan dengan narkoba, serta bagaimana terapi dan upaya mencegahnya.
Mengapa dari sebagian besar kasus penyalahgunaan Narkoba, remaja menduduki peringkat tertinggi? Faktor pertama adalah karakter khas remaja dan tahap perkembangan yang sedang terjadi di usia ini. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi. Lain halnya dengan pendapat Smith & Anderson (dalam Fagan, 2006), menurutnya kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol dan narkoba (Rey, 2002). Tiga jenis pengaruh yang memungkinkan munculnya penggunaan alkohol dan narkoba pada remaja:
1. Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orangtua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orangtua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orangtua.
2. Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
3. Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.
Saat remaja mulai mencoba mengkonsumsi narkoba, proses selanjutnya dijelaskan oleh pendekatan perilaku. Mengapa perilaku tertentu cenderung bertahan atau mungkin akan hilang? Prinsipnya adalah perilaku itu akan diperkuat atau bertahan ketika mendapatkan reinforcement atau penguatan, sebaliknya perilaku akan melemah atau hilang ketika mendapatkan hukuman. Saat pertama kali mencoba alkohol terasa pahit, mual atau mungkin pusing. Rasa tidak mengenakkan ini mungkin bisa menjadi hal negatif atau hukuman bagi seseorang untuk tidak mengkonsumsinya lagi. Namun mengapa tidak demikian? Mengapa perilaku mengkonsumsi alkohol justru meningkat? Sebab hukuman yang didapatkan tidak setara dengan penguatan perilaku yang diberikan oleh teman-teman atau kelompok mereka. Rasa pahit, mual atau pusing tidak seberapa jika dibandingkan dengan rasa bangga dipuji teman, mendapatkan pengakuan sebagai pribadi yang berani, atau sebagai rasa kebersamaan dalam kelompok. Atau bisa jadi, hukuman yang lebih besar yang mungkin akan ia dapatkan ketika tidak terlibat dalam perilaku mengkonsumsi alkohol, membuat perilaku “tidak minum alkohol” menjadi lemah. Saat “tidak ikut mengkonsumsi alkohol” maka seseorang akan dikucilkan, diejek, atau mungkin tidak mendapatkan pengakuan lagi. Sehingga perilaku “tidak mengkonsumsi alkohol” ini menjadi tidak diperkuat, dan sebaliknya “perilaku mengkonsumsi alkohol”lah yang diperkuat. Contoh lainnya misalnya saat mencoba meminum alkohol membuat seseorang lebih percaya diri, lebih ekspresif, kreatif, dan dapat mengemukakan pendapat dengan baik ketika berbicara di depan publik. Hal ini juga dapat menjadi sebuah penguat mengapa perilaku mengkonsumsi alkohol meningkat.
Proses ini terus berlajut dan sulit untuk dilepaskan ketika sudah menjadi sebuah pola perilaku dan kebiasaan. Diawali dengan proses di atas, lalu yang membuat susah lepas dari narkoba adalah konsekuensi negatif saat tidak mengkonsumsinya lagi. Kali ini konsekuensi negatif bukan lagi dari teman atau lingkungan, melainkan dari individu itu sendiri. Saat tubuh telah terbiasa mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan psikotropika, maka efek obat atau zat yang dirasakan setahap demi setahap akan meningkat ambang toleransinya. Jika semula cukup dengan 1 dosis, kali ini butuh dua hingga tiga dosis untuk dapat merasakan efeknya (intoksikasi). Hal inilah yang disebut dengan meningkatnya toleransi zat pada tubuh seseorang. Saat ingin berhenti mengkonsumsi, menurunkan dosis atau kembali ke dosis semula sangatlah berat karena tubuh akan merasakan kesakitan yang luar biasa. Inilah yang disebut dengan withdrawal effect atau sering kita kenal dengan istilah sakaw. Pada tahap inilah konsekuensi negatif didapatkan dari tubuh individu itu sendiri bukan lagi dari orang lain, oleh karenanya sulit sekali melepaskan ketergantungan pada narkoba ketika sudah pada tahap ini.
Namun, beberapa pendekatan psikososial mampu membantu individu untuk lepas dari ketergantungan zat. Kunci utama yang harus dipahami bahwa dalam kasus ketergantungan zat mengandung beberapa unsur yang harus diperhatikan, antara lain fisik, psikologis, dan sosial. Oleh karenanya kombinasi tiga komponen itu harus terlibat dalam proses penyembuhan. Fisik terkait dengan toleransi zat yang dirasakan dalam tubuh (misalnya sakaw), sehingga harus ada sebuah terapi untuk mengatasi hal ini. Misalnya penggunaan obat-obatan substitusi. Namun dalam penggunaannya harus dikendalikan agar tidak menimbulkan efek sekunder, misalnya menjadi ketergantungan dengan obat subtitusi. Terapi perilaku seperti kontrol diri atau kognitif terapi dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat-obatan substitusi untuk membantu managemen minum obat, menurunkan dosis pemakaian, termasuk mengubah dimensi kognitif seseorang tentang harapan atau ekspektasi dari penggunaan obat, juga persepsi yang salah jika obat tertentu akan dapat menimbulkan efek tertentu. Harapan atau ekspektasi seseorang akan obat tertentu yang dikonsumsi ternyata memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap efek obat tersebut ke tubuh seseorang (Nevid, 2003).
Aspek psikologis mencakup dimensi kognitif seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ada ekspektasi atau harapan dari pengguna zat akan efeknya, kemudian dimensi psikologis lain seperti masalah yang dihadapi sebelumnya atau konsekuensi yang didapatkan dari penggunaan zat. Misalnya saat menggunakan zat seseorang sedang menghadapi masalah tertentu, dan setelahnya ia menjadi lebih lega. Sehingga ia mengaitkan narkoba dengan terselesaikan masalahnya. Hal ini dapat membuat ketergantungan semakin meningkat sebab adanya konsekuensi positif yang didapatkan dari perilaku menggunakan zat. Padahal sebenarnya hanya pelampiasan emosi yang membuat kondisi psikologis seseorang menjadi lebih baik, lebih tenang, sehingga ia dapat berfikir lebih baik dan memecahkan masalahnya. Saat kondisi normal, seseorang kerap kali memendam masalahnya dan emosinya karena akan menimbulkan dampak buruk ketika dikeluarkan. Misalnya rasa marah, kecewa, benci. Saat menkonsumsi alkohol misalnya, efek intoksikasi (mabuk) didapatkan, dan dalam kondisi ini seseorang merasa bebas mengemukakan apa saja yang ada dalam benaknya. Proses katarsis atau meluapkan emosi-emosi negatif terjadi pada tahap ini, sehingga wajar jika setelahnya seseorang merasa lega dan mampu berfikir lebih jernih. Jika kita memahami hal ini, maka tanpa perlu minum alkohol pun kita dapat mengeluarkan emosi negatif kita dengan cara yang lebih sehat.
Dimensi terakhir yang perlu diperhatikan adalah faktor sosial, mencakup keluarga, masyarakat sekitar, atau teman-teman. Ada tidak keterkaitan antara penggunaan narkoba dengan masalah yang sedang dihadapi dengan keluarga atau teman-temannya. Misalnya konflik dengan orangtua menyebabkan ia selalu merasa tertekan dan melampiaskannya pada narkoba. Jika demikian, maka konflik dengan orangtua perlu diselesaikan juga sebagai bagian dari proses terapi. Atau pengaruh teman atau lingkungan sangat besar terhadap proses penyembuhan, maka perlu menciptakan lingkungan baru untuk meminimalisir pengaruh buruk dari lingkungan. Hal lain yang terjadang terkait dengan pecandu adalah riwayat perilaku negatif seperti pencurian, yang sarat akan stigma di masyarakat. Sehingga dalam proses penyembuhan yang dijalaninya terjadang mantan pecandu ini masih mendapatkan stigma ini. Misalnya anggota keluarga membuat pernyataan bahwa mereka harus berhati-hati jika menaruh barang berharga, sebab ada si X yang mantan pecandu. Hal ini terkadang juga dapat menurunkan mental pecandu yang mulai belajar memperbaiki diri. Oleh karenanya kerjasama yang baik dan dukungan dari lingkungan akan memberikan pengaruh yang luar biasa pada proses kesembuhan yang sedang dijalani oleh seseorang dengan ketergantungan zat.
Lalu apa yang dapat kita lakukan agar terhindar dari penyalahgunaan zat? Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orangtua, atau pendidik.
1. Ciptakan komunikasi yang harmonis antara anak dengan orangtua. Jangan terlalu mengatur dan menuntut anak, melainkan mengarahkan dan membimbingnya.
2. Berikan perhatian dah kasih sayang yang cukup pada anak.
3. Ciptakan suasana yang harmonis.
4. Jadilah teladan yang baik bagi anak.
5. Pendekatan yang ramah, terbuka dan saling percaya.
6. Penerimaan tanpa syarat, sehingga akan membuat anak lebih terbuka menyampaikan aspirasinya.
7. Tanamkan pendidikan agama.
Sedangkan bagi remaja itu sendiri, hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi terjerat dalam lingkaran narkoba adalah:
1. Memahami apa itu Narkoba, sebagai upaya pencegahan bukan untuk mencoba.
2. Kontrol diri yang kuat, sehingga bisa mengendalikan diri dengan baik saat berteman dengan siapa saja.
3. Hati-hati dalam memilih teman.
4. Mengenali potensi dan kelemahan diri, agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sebagai upaya menutupi kelemahan diri dengan cara yang positif.
5. Mengisi waktu luang dengan kegiatan positif.
6. Menemukan strategi koping atau cara pemecahan masalah yang tepat. Diskusi dan berbagi dengan teman atau orang yang dipercaya, untuk mendapatkan wacana atau wawasan baru dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Semoga bermanfaat..
From netsains.net